Antara Saya, Dan, dan Lengkung Bubungan

Kipas angin kecil adalah kami

Waktu sekolah telah usai. Anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing. Pun para guru dan pegawai. Saya sendiri masih di sekolah, terpasung sebuah rasa dalam kesenyapan siang. Rasa itu adalah betah.

Saya terbiasa bersunyi sendiri di ruang seluas 7×3 meter itu. Ya… sendiri dalam kesenyapan. Kadang menuntaskan sesuatu yang belum selesai atau rebahan di atas sofa butut milik sekolah sambil colak-colek screen smartphone yang kebal dari rasa geli. Kali ini saya bersama penjaga sekolah, Dan, yang baru menjalankan tugasnya dalam 1 (satu) bulan terakhir.

Sebuah kipas angin kecil di plafond ruangan melakukan kerja rotasi pada titik maksimal. Benda itu akan terus bekerja sampai ada tangan yang bersedia menghentikannya. Baling-baling yang hanya bersedia bekerja dengan asupan energi listrik itu akan berhenti bekerja ketika Perusahaan Listrik Negara melakukan pemadaman listrik karena satu dan hal lain. Atau bisa juga karena alat ukur penggunaan daya listrik sudah mencapai titik nol.

Dua hari yang lalu saya meminta Dan memanjat plafond salah satu ruang kelas untuk memeriksa bentangan bubungan yang sudah tampak melengkung. Saya menduga kayu bentangannya mulai rapuh, serapuh jiwa Napoleon di hadapan Desiree Clari, Josephine, Maria Louise, atau Marie Walewska.

“Dan…!” Saya menyapanya Dan. Nama lengkapnya Wildan.

“Iya?” tanggapan laki-laki yang sudah menikah dua kali itu singkat bernada tanya. Rupanya dia tahu saya ingin menyampaikan sesuatu.
“Bagaimana kondisi bubungan yang melengkung itu?” saya bertanya.
“Kayunya tidak rapuh hanya ada patahan. Karena tidak kuat menahan beban akhirnya melengkung,” katanya sambil menikmati signal WiFi sekolah yang tengah diaksesnya.
“Saya khawatir kalau dibiarkan bisa membahayakan anak-anak yang sedang belajar,” saya mengemukakan rasa was-was, “kalau dibiarkan ada kemungkinan ambruk?”
“Ya, jelas. Apalagi ini musim hujan. Bebannya bisa bertambah kalau terus-menerus diguyur air,” katanya tanpa melepaskan tatapan dari layar gawai miliknya.
“Terus?”

Diam. Entah tidak mendengarkan pertanyaan saya atau pikirannya telah mengabaikan semua hal yang ada di ruangan karena tumpah pada goyang artis dalam film Bollywood yang ditontonnya via yutup. Sayup terdengar tabuh irama musik India dan suara khas Negeri Tajmahal itu dari headset yang mungkin disetingnya pada titik maksimal.

Saya menatap dinding ruangan sambil memasang telinga untuk mendengar jawabannya. Tatapan saya tertumpu pada seekor serangga kecil yang terbang menjemput kematiannya dalam sergapan lidah seekor cecak. Binatang yang kakinya dilengkapi perekat itu baru saja usai melampiaskan birahi bersama pasangannya ketika sang serangga menyerahkan dirinya ditelan bulat-bulat

“Terus?” nada pertanyaan saya sedikit meninggi karena tidak ada jawaban.
“Terus bagaimana?” kali ini dia merespon tetapi belum memahami pertanyaan saya.
“Terus! Cara mengatasinya bagaimana?”
“Ya…! Diberikan topangan,” matanya masih tidak berpaling dari irama lagu Bollywood pada smartphonnya.
“Topangannya pakai apa?”
“Bambu.”
“Kuat?”
“Kuat sementara.”
“Kok sementara?”
“Sementara direhab total.”
“Sementara itu lama Dan.”

Dan hanya diam. Saya diam. Pada saat yang sama, kipas angin ukuran kecil yang terpancang di plafond terus berputar kencang, sekencang harapan saya memperbaiki lengkung bubungan atap ruang kelas itu. Namun hembus angin yang dihasilkan benda elektrik itu tidak membuat perubahan gerak apapun di tempat kami sedang duduk.

Kipas angin itu adalah kami. Kelompok kelas pekerja yang tidak memiliki energi dan kekuatan untuk mengubah sesuatu yang ada di luar jangkauan kami.

Tinggalkan Balasan