Pornografi; Tuntaskah diblokir?

 

Sejarah pornografi mungkin saja setua sejarah manusia walaupun referensi yang mendukung asumsi ini agak sulit ditemukan. Salah satu bukti sejarah mengenai ekspresi pornografik dalam kebudayaan Barat dapat ditemukan dalam nyanyian-nyanyian cabul pada masa Yunani Kuno untuk menghormati Dewa Dionysius.1

Pada abad ke 16, tiga seniman Italia di zaman renaissance membuat sebuah karya masyhur yang berjudul I Modi. Mereka adalah Aretino, Guiulo Romano, dan Marcantonio Raimondi. Tiga seniman itu melukis 16 gambar pada dinding gedung di Vatikan. Semua lukisannya menggambarkan berbagai adegan seksual yang mengundang reaksi keras dari pihak gereja pada waktu itu yaitu pope Clement VII. Tujuan utama Aretino mempublikasikan I Modi adalah menggambarkan adegan seks secara hidup dan sesuai dengan istilah pergaulan dan mengejek pengadilan agama yang terlibat korupsi. Karya Aretino ini dalam pandangan gereja Katolik telah memanfaatkan seks untuk mengekspos kasus korupsi di kalangan elit.2

Pornografi terus berkembang dan tidak saja tersaji dalam gambar. Jika pornografi bertujuan mendapatkan fantasi seksual maka remaja tahun 80/90-an tentu sangat mengenal novel-novel erotis Enny Arrow. Karyanya bisa jadi setara dengan tontonan video dalam kaset betamax yang penggunaannya berkembang pada masa yang sama atau sebanding dengan VCD saat ini yang sudah mulai jarang digunakan. Karya Enny Arrow merupakan novel “bawah tanah” yang tidak mudah didapatkan kala itu.

Sejauh ini batas pornografi dan seni fotografer sangat tipis. Seorang teman kuliah saya dan sekarang masih berteman via medsos menjalani hari-harinya sebagai fotografer. Sasaran kameranya pada saat tertentu menyasar keindahan kupu-kupu dan warna-warni bunga. Pada saat lain, dia menampilkan hasil jepretan serangga kecil yang diperbesar dalam ukuran maksimal sehingga serangga tersebut tampil menakutkan. Sesekali dia juga memotret kakek atau nenek dengan penampilan khas daerahnya. Belakangan dia kerap kali membidik keindahan tubuh perempuan dengan pose yang menantang. Dalam perspektif seni fotografi konon itu dianggap sah.

Dalam sebuah grup FB fotografer saya mendapati hal yang sama. Hasil jepretan fotografer yang mengeksploitasi keindahan tubuh perempuan menjadi sesuatu yang lazim. Memang keindahan fisik perempuan itu tidak ditampilkan tanpa pakaian sama sekali. Namun sisi vulgar atas seni fotografi seperti ini sangat memungkinkan bisa masuk ke ranah pornografi.

Aplikasi teknologi informasi dan komunikasi saat ini demikian bebas memberikan ruang setiap orang untuk berekspresi melalui media sosial seperti FB, Twitter, tik tok, dan sejenisnya. Kebebasan berekspresi itu seringkali harus melampaui batasan nilai moral yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Pengguna media sosial dapat dengan mudah mendapati pesan gambar dan video yang mengarah kepada pornografi.

Secara rekreatif fungsi seni sebagai media bertujuan untuk menghibur. Dalam fungsi ini seni bertujuan membangkitkan rasa senang bagi penikmatnya. Seni, dengan demikian, berperan sebagai penyegar pikiran, menghilangkan penat otak setelah bekerja, atau melepaskan diri dari tekanan hidup yang tak diharapkan. Pengertian seni ini tentu juga termasuk dalam seni fotografi.

Ansel Adams3 menggenapkan pengertian (seni) fotografi sebagai media berekspresi dan komunikasi yang kuat, menawarkan berbagai persepsi, interpretasi,dan ekseskusi yang tak terbatas.4  Seni fotografi dengan demikian memiliki fungsi sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan tertentu terkait dengan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaannya. Komunikasi seni tidak sekadar menyajikan hasil pengambilan gambar untuk menghasilkan nilai estetik tetapi juga nilai ekstra estetik termasuk nilai sosial dan moral.5 

Upaya menahan laju perkembangan perilaku cabul dalam dunia maya, Menkominfo mengklaim telah berhasil memblokir lebih dari 1 juta situs porno per 31 Desember 2019.6 Sejauh ini pemerintah hanya mampu memblokir situs terlarang dalam negeri walaupun belum sepenuhnya berhasil. 

Bagaimana dengan situs porno luar negeri? Di sinilah persoalannya. Konten pornografi dari berbagai negara masih bisa diakses oleh siapa saja. Jika anda menggunakan mesin google chrome tanpa login dengan akun gmail Anda bisa melenggang ke surga dunia itu dengan bebas. Saya pernah mencobanya. Tentu bukan sebagai upaya untuk menikmati tetapi untuk mencegah anak-anak nyasar ke area terlarang itu. Selebihnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk mendampingi anak-anak.

Lombok Timur, 12042022

Tinggalkan Balasan