Beberapa hari yang lalu saya masuk ke salah satu kelas untuk mengisi kekosongan karena guru kelas berhalangan. Hal itu biasa saya lakukan untuk mengganti guru yang berhalangan agar pelajaran siswa tidak tertunda atau waktu belajar siswa tidak sia-sia.
Karena tidak setiap hari ke kelas itu, saya tidak bisa mengingat nama siswa satu persatu. Apalagi mengenal kemampuan belajar masing-masing secara lebih detail karena tidak berinteraksi secara rutin setiap hari. Oleh karenanya, hanya sebagian dari mereka yang saya tahu nama dan karakternya. Tetapi secara keseluruhan saya mengenal wajahnya jika berjumpa di jalan atau di luar jam sekolah.
Saat saya memberikan tugas beberapa siswa dengan sigap mengerjakan dan menyerahkannya lebih awal. Siswa yang memahami materi pelajaran secara utuh dapat menyelesaikan dengan benar tugas yang diberikan. Sebagian lagi harus berjuang keras untuk menyelesaikan tugasnya.
Berbagai ekspresi tampak pada anak-anak itu. Ini tergantung pada hasil penilaian terhadap tugas mereka. Siswa yang belum mengerjakan tugas dengan benar saya tunjukkan kekurangan dan cara menyelesaikannya.
Salah satu siswa menarik perhatian saya. Siswa tersebut tampak terisak sambil memperbaiki tugas yang saya berikan. Sebelumnya, anak tersebut sempat menyerahkan tugasnya tetapi saya memintanya mengerjakan ulang karena secara keseluruhan salah. Saya mencoba mendekatinya dan menanyakan masalahnya. Anak itu hanya menangis.
Beberapa siswa lainnya menyampaikan bahwa dia menangis karena tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Saya mendekatinya untuk memberikan bimbingan agar dapat menyelesaikan tugas itu. Anak itu menggelengkan kepalanya sembari tetap menangis. Saya mencoba membujuk dan memberinya pengertian bahwa dia bisa kalau mau belajar serius sambil terus mengajukan tawaran untuk memberikan bimbingan. Anak itu tetap saja menggeleng.
Saya berpikir bahwa kemungkinan siswa tersebut merasa segan kepada saya maka saya meminta salah seorang temannya untuk memberikan bantuan. Ternyata dia lebih memilih tawaran temannya sendiri.
Tangisan anak itu merupakan ekspresi kerja mental karena tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Saya belum sempat melakukan dialog dengan siswa tersebut mengapa dia menangis. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan anak itu menangis sekaligus solusinya.
Pertama, anak itu menangis karena merasa tidak mampu untuk menyelesaikan tugas tersebut. Di balik tangisan itu ada hal positif yang dimiliki anak tersebut yaitu keinginan kuat untuk belajar. Hanya saja ketika mengalami jalan buntu, dia memilih menangis daripada bertanya kepada guru atau temannya.
Pada titik inilah peran guru sangat sentral. Guru harus dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada siswa dalam proses pembelajaran. Diperlukan pendekatan dan metode yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam hal kasus di atas, guru sebaiknya memberikan perhatian khusus untuk memberikan semangat belajar.
Kedua, siswa tersebut kemungkinan merasa bersalah berlebihan karena tidak dapat memenuhi harapan guru. Munculnya rasa bersalah itu sudah menjadi kecenderungan manusia bahwa setiap orang memiliki kecenderungan untuk memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang-orang tertentu. Bisa saja siswa tersebut menangis akibat rasa bersalah berlebihan karena tidak dapat melakukan hal terbaik untuk guru sekaligus untuk dirinya sendiri.
Menyikapi hal ini, guru harus hadir dan menempatkan siswa sebagai anak yang memerlukan bantuan. Guru harus memberikan pelayanan dengan memberikan bimbingan secara individual sekaligus memberikan motivasi untuk menumbuhkan semangat belajar dan rasa percaya diri.
Ketiga, ketidakmampuan siswa juga mengakibatkan rasa minder atau rasa rendah diri dimana dia merasa tidak lebih baik dari teman-temannya. Namun demikian, siswa yang merasa tidak mampu tidak selalu merasa minder. Di antara mereka ada yang mau berusaha untuk belajar dan bertanya. Siswa seperti ini biasanya memiliki motivasi yang kuat dan rasa percaya diri. Dia akan berani mengakui ketidakmampuannya dan berusaha mengatasi permasalahan dirinya.
Siswa lainnya mengalami rasa minder atau rendah diri saat merasa tidak mampu untuk mengikuti proses pembelajaran. Siswa seperti ini biasanya memilih diam dan menyendiri. Tangisan anak di atas juga dapat dipicu oleh rasa minder.
Maka, lagi-lagi peran guru menjadi penting dan dominan. Diperlukan pendekatan personal dengan membangun komunikasi yang lebih intens. Anak-anak yang minder memerlukan pendampingan dan rekan berbicara untuk menumbuhkan rasa percaya diri mereka.
Apa yang terjadi pada siswa di atas ternyata tidak dapat dilakukan oleh guru secara mandiri. Beberapa siswa tidak segan bertanya kepada gurunya. Beberapa siswa lain terlihat enggan karena bisa jadi merasa tidak nyaman.
Dalam situasi seperti ini, guru perlu melibatkan pihak ketiga untuk menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi belajar, dan hal-hal positif lainnya. Salah satu dari pihak ketiga itu adalah teman sebaya mereka.
Lombok Timur, 30 Mei 2023