Bertemu Kyai Said Aqil Siradj

Terbaru0 Dilihat

“Kami Siap Mengabdi” adalah motto yang digaungkan oleh LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) untuk para awardee, nama julukan buat orang-orang yang mendapatkan beasiswa dari Lembaga ini. Sejak saya mendapatkan kabar kelulusan dari tes LPDP Santri beberapa waktu lalu. Group wa yang awalnya mengumpulkan teman-teman yang ikut seleksi LPDP di Surabaya, mulai mengerucut anggotanya.

Teman-teman yang tidak lulus seleksi substansi mulai keluar dari group, hanya tersisa yang lolos saja dan bakal menjadi awardee LPDP. Dari group inilah, akhirnya saya dipertemukan dengan seluruh penerima beasiswa LPDP dari jalur santri dari wilayah seluruh Indonesia, mulai dari Aceh hingga Sulawesi. Hampir semua wilayah dari Indonesia ada. Saya disatukan di dalam group wa khusus penerima beasiswa afirmasi santri.

Penghuni group berjumlah 114 orang. Di sinilah kami berbagi informasi perihal langkah selanjutnya yang akan ditempuh. Informasi yang kami terima, setelah seseorang lolos seleksi substansi LPDP, yang harus dilalui lagi adalah PK, Persiapan Keberangkatan. Di group sudah ramai membahas bagaimana pelaksanaan PK nanti. Ada beberapa anggota group yang dulu sudah pernah ikut PK pada saat mendapatkan beasiswa di S2 dan sekarang mendapatkannya kembali untuk S3.

Teman-teman yang aktif di group wa PK Santri 144, group yang teman-teman namakan sesuai dengan informasi angkatan Persiapan Keberangkatan yang kami lakukan, mendapatkan informasi untuk mengirimkan perwakilan beberapa anggotanya agar datang di kantor LPDP di Jakarta Pusat. Saya yang berdomisili di Banyuwangi hanya menjadi penggembira saja, mendukung langkah teman-teman yang ada di Jakarta. Diantara beberapa yang berangkat adalah Mas Gilang yang diterima di Universitas Indonesia.

PIC LPDP yang nantinya akan bertanggung jawab pada saat PK adalah Bapak Sabahal Arafi. Dari rapat yang dilakukan di kantor LPDP, salah satu hasil keputusannya adalah agar kami memilih kepengurusan PK Santri 144 ini. Kami semua melakukan pemilihan dengan cara meng-klik google form yang sudah dibuatkan oleh Mbak Ana Yulvia dan timnya. Sebagaimana layaknya dalam pemilihan organisasi, suara terbanyak terpilih menjadi ketua. Dia adalah Mas Gilang.

Sejak kepengurusan PK Santri 144 terbentuk, mulai banyak informasi untuk Persiapan Keberangkatan yang kami dapatkan. Walaupun info untuk PK di Jakarta belum kami dapatkan, tapi tiap harinya Pak Rafi selalu mengirimkan tugas banyak sekali berupa pertanyaan yang berupa google form yang harus kami isi. “Keaktifan dalam mengisi form tugas ini akan menjadi pertimbangan buat kalian diterima bisa kontrak mendapatkan beasiswa dari LPDP”, pesan Pak Rafi yang beberapa kali disampaikan Mas Gilang sebagai ketua kepada kami.

Bahkan, tugas google form yang dikirimkan, dalam satu hari terkadang bisa sampai tiga kali. Tema tugasnya juga bermacam-macam, mulai dari pengetahuan umum hingga pengetahuan khusus tentang LPDP. Skor akan diakumulasi dari beberapa tugas yang sudah dikumpulkan nantinya. Dari beberapa tugas yang saya kerjakan, beberapa minggu setelahnya diumumkan, saya mendapatkan nilai yang selalu tidak istimewa, seringkali berada di posisi bawah, karena menjawabnya sekenanya, tanpa pengetahuan memadai yang saya miliki.

“PK di laksanakan mulai tanggal 19 Juli di Jakarta, hingga satu minggu setelahnya”, Mas Gilang memberikan pengumuman di group PK Santri 144. Saya posisi masih sedang jalan-jalan di Surabaya, di rumah seorang teman bernama Pak Udin, yang punya Yayasan Bina Bangsa 2. Sementara acara di Jakarta akan dilaksanakan 3 hari lagi. “Njenengan punya saldo di mobile banking Pak?, untuk beli tiket pesawat, saya adanya uang cash”, tanya saya ke Pak Udin.

“Pertanyaan yang kurang tepat ketika diutarakan. Saat ini pas lagi kosong”, jawabnya. Akhirnya saya langsung booking pesawat Citylink dari bandara Banyuwangi menuju Jakarta untuk penerbangan hari sabtu pagi besok lewat traveloka, pembayaran saya lakukan lewat ATM setor tunai. “Bisa tadi beli tiketnya?”, tanya Pak Udin. “Alhamdulillah sukses. Sabtu pagi langsung meluncur ke Jakarta. Berarti hari ini saya sekalian berpamitan untuk pulang”.

Awalnya saya ingin bersantai dulu di Surabaya, namun karena adanya kabar mendadak dari Mas Gilang di group, saya harus berpamitan kepada Pak Udin. Saya pulang bersama istri naik travel jaya abadi pada malam hari dari rumahnya Pak Udin, sampai Banyuwangi jumat dinihari. Istri saya paginya mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama di Jakarta.

Ada beberapa seragam yang perlu dibawa. Itu adalah aturan kesepakatan teman-teman yang ada di group PK Santri 144 dan sudah disetujui oleh Pak Rafi sebagai PIC LPDP. Diantara aturan itu adalah harus bawa dua jenis sepatu, satu sepatu resmi untuk kantoran, satunya sepatu olahraga. Membawa pakaian hitam polos, celana hitam, baju batik, pakai kopiah hitam, sarung, dan beberapa aksesoris lain yang wajib dipersiapkan dan dibawa, termasuk membawa jas.

Sabtu pagi, Kang Amin sudah siap untuk mengantarkan saya ke Bandara Banyuwangi yang ada di Blimbingsari. Istri menemani saya bersama dengan Khilni, anak saya. Jadwal penerbangan adalah jam 10. Kami berangkat jam 8. Perjalanan dari rumah di Sumberberas menuju Bandara hanya memakan waktu sekitar 30 menit saja.

“Le..aku titip surat kangge Yai Said Aqil PBNU, kekno langsung yo. Asistene Yai Said wes tak tlp”, “Nak..saya titip surat untuk Kyai Said Aqil di PBNU. Langsung kamu kasihkan ya. Asisten Kyai Said sudah saya telpon”, abah memberikan amplop berisi surat bertuliskan “Kepada yang Terhormat Kyai Said Aqil Siradj” dengan ditulis bahasa jawa pegon. “Injih bah..mangke kulo aturaken langsung dumateng Kyai Said teng PBNU”, “Ya bah..nanti saya berikan langsung ke Kyai Said di PBNU”, jawab saya dengan penuh kepercayaan diri bisa bertemu dengan Kyai Said di PBNU Nantinya.

Keberanian saya untuk percaya diri bisa menemui Kyai Said setidaknya beralasan. Kyai Said adalah temannya abah, KH. Fakhruddin Mannan, saat dulu sekolah dan mengaji di Makkah, di Universitas Ummul Quro. Saat beberapa bulan yang lalu, Kyai Said Aqil berkunjung untuk mengaji di beberapa pondok pesantren di Banyuwangi, abah juga yang selalu menemani Kyai Said Aqil keliling. Termasuk juga abah sudah konfirmasi secara langsung kepada asisten pribadinya Kyai Said Aqil untuk memberitahukan bahwa saya akan ke Jakarta dan menemui beliau di PBNU. Beberapa alasan inilah yang menjadikan saya yakin bisa bertemu dengan beliau di PBNU.

“Jaga diri ya di Jakarta”, pesan istri saya saat bersalaman di bandara, untuk berpisah beberapa hari. Saya check in masuk menuju ruang tunggu di bandara Banyuwangi. Ada pemandangan yang aneh, banyak sekali tas menumpuk, padahal penumpangnya hanya ada dua yang sedang duduk di samping saya, saat saya foto selfie, tiba-tiba orang yang duduk di depan saya yang awalnya menoleh membelakangi saya, tiba-tiba mengarahkan pandangan ke saya, “Benar saja barangnya banyak, ternyata dia seorang artis yang sedang berlibur”, batin saya.

Dia adalah suami dari Raisa, seorang penyanyi tanah air yang terkenal itu. Berlibur bersama timnya, saya hanya melihat dia dan satu orang temannya saja dan puluhan tas yang berada di troli. Hanya sebentar saya duduk berdekatan dengan dirinya, saya memutuskan untuk masuk di ke ruang boarding pass. Saya adalah orang yang malas ribet saat melakukan perjalanan, hanya satu tas ransel yang saya bawa dan satu kardus berisi makanan pesanan teman-teman PK Santri 144, karena masing-masing yang berasal dari daerah disuruh untuk membawa oleh-oleh khasnya.

Baru beberapa menit menunggu, panggilan untuk naik pesawat saya dengarkan. Saya menunjukkan tiket dan KTP. Kami semua berjalan menuju pesawat yang berjarak dari ruang boarding pass sekitar 100 meter. Pesawat citylink sudah menunggu. Karena ini adalah pesawat kecil dan hanya melayani rute di pulau jawa saja, kami tidak terlalu lama menunggu untuk pesawat take off. Saya menggunakan kesempatan perjalanan terbang dari Banyuwangi ke Jakarta dengan membaca pesan di WA  yang belum terbaca dengan kondisi handphone mode pesawat tanpa jaringan internet.

Tiba di Jakarta setelah waktu dhuhur, menjelang sore. Saya langsung keluar bandara. Mencari bus damri untuk jurusan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Titik pertama untuk berkumpulnya teman-teman PK Santri 144 adalah di kantor PBNU, beberapa hari lalu Mas Gilang sudah meminta izin kepada pengelola gedung, alhamdulillah diizinkan. Rencananya kami menginap di PBNU malam minggu ini higga minggu sore. Acara inti PK pada hari seninnya dilaksanakan di hotel dekat PBNU.

Awalnya saya mencegat bus damri yang lalu Lalang di depan pintu keluar bandara, “Jurusan Gambir bang?”, tanya saya ke kondektur dari setiap bus. “Tunggu dulu, habis ini datang”, jawaban yang sama dari banyak kondektur sampai sekitar 30 menit saya menunggu. Saat bus damri jurusan Gambir datang. “Mana tiketnya mas?”, tanya sopir kepada saya saat naik.

“Tidak langsung bayar di sini Pak?”, tanya saya balik. “Itu dibaca mas pengumumannya”, kata dia. Saya menoleh ke sebuah tulisan bahwa penumpang tidak bisa bayar langsung di bus, harus sudah memesan tiket di loket damri depan bandara tadi. Rupanya, saat saya turun dari bus, ada seseorang yang kasusnya sama dengan saya. Akhirnya, dia mengajak saya berjalan bersama menuju loket damri, kami kembali ke depan bandara tadi yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 75 meter dari tempat saya menunggu tadi.

Pesawat dari Banyuwangi ke Jakarta hanya menghabiskan waktu 1 jam lebih sedikit, sedangkan perjalanan saya dari bandara di Jakarta, yang lebih tepatnya di Tangerang, Banten menuju PBNU lebih dari tiga jam. Kami keluar dari dari bandara setelah mengambil penumpung di beberapa titik di bandara sudah hampir jam 4 sore. Lalu melewati jalanan Jakarta yang macet. Masuk di stasiun Gambir sudah lebih jam 7 malam, usai sholat isya’.

Akhirnya saya sadar saat di Stasiun Gambir. Melihat gerobak yang menjual KFC di dalam area stasiun, perut saya keroncongan merasakan lapar. Saya masuk ke dalam antrian orang-orang yang hendak membeli. Hanya ada empat kursi dan dua meja yang disediakan. Setelah membayar, saya duduk di taman bersama bersama beberapa orang. Dua porsi ayam saya habiskan dengan lahap.

Usai makan, aplikasi grab saya buka. Mencari arah dari Stasiun Gambir menuju gedung PBNU yang ada di Kramat Jati. “21.000”, tertera jelas di sana tarifnya. Saya klik sebagai bentuk persetujuan. Saat di Banyuwangi tadi, saldo grab sudah saya top up 200.000, mempersiapkan untuk ketika jalan-jalan di Jakarta.

“Boleh duduk depan mas?”, tanya saya ketika taksi grab berhenti. Dia sedikit kaget, karena kursi depan sampingnya terlihat berantakan, namun dia tidak bisa menolak permintaan saya. “Silahkan mas”, jawabnya. Kami berbincang-bincang biasa. Jalanan di Jakarta jam segini memang selalu macet, apalagi ini adalah pusat kota. Walaupun stasiun Gambir dan kantor PBNU sama-sama di Jakarta Pusat, perjalanan saya tetap memakan waktu lebih dari 10 menit lamanya.

“Ini mas buat beli rokok”, saat sampai di kantor depan PBNU, saya kasih bonus sedikit kepada mas taxi grab yang mengantarkan saya. Ungkapan terimakasih keluar dari mulutnya, karena dia tadi bilang, hari ini katanya orderan tidak sebanyak biasanya, apalagi Jakarta di mana-mana macet, sehingga waktu habis di jalan untuk menjemput penumpang.

“Posisi di mana Mas Gilang?”, saya mencoba menelpon Mas Gilang yang ketika saya baca di group teman-teman PK Santri 144, dia sudah berada di PBNU. “Langsung ke lantai 8 mas, saya bersama Mas Rizki”, jawabnya. Mas Rizki lumayan aktif di group, dia akan kuliyah di S2 Universitas Jember. Saya naik ke lantai 8, melewati Lorong PBNU yang penuh dengan poster para ulama NU terkemuka. Masuk lift, saya pencet lantai 8. “Assalamu’alaikum…”, liftnya benar-benar khas NU, islami. Bisa bunyi salam dan ketika berhenti, bisa mengucapkan “Alhamdulillahirobbil ‘alamin”.

“Bisyri Mas”, saya memperkenalkan diri ke Mas Gilang dan Mas Rizki. Rupanya Mas Gilang punya seorang teman satu almamater yang bertugas di kantor PBNU ini di bagian kesehatan. Malam ini, saya diajak mereka untuk menginap di ruangan kesehatan ini di lantai 8. Sekitar jam 10 malam, group WA PK Santri 144 mulai ramai, “Posisi di mana?”, mereka menanyakan posisi Mas Gilang dan Mas Rizki yang memang paling aktif.

“Gak usah dijawab mas, nanti malah ke sini semua. Gak cukup ruangannya. Biarlah mereka tidur di masjid PBNU lantai 1”, kata Mas Rizki. Karena saya di sini adalah tamu, saya ikut saja opini mereka. Kami tidur lebih awal, karena minggu pagi besok, rencananya sudah ada agenda yang perlu dilaksanakan. Diantaranya acara welcoming dari pengurus PBNU yang akan dilaksanakan di lantai 9 paling atas yang menjadi aula ruang pertemuan.

Setelah sholat subuh, saya ingin menuju ke lantai 1. Saat menuju lift ternyata masih mati. “Hidupnya nanti jam 8 mas, jam segini kalau ingin ke bawah, lewat tangga darurat”, kata salah satu orang yang baru keluar ruangan di depan ruang tempat saya menginap, dia menunjukkan lokasi tangga darurat yang ada sebelah kanan saya. Saya membuka pintunya, “Wah lumayan olahraga, dari lantai 8 ke lantai 1”, saya membatin.

“Nginep di mana mas tadi?, kami di sini memberi makan gratis para nyamuk”, kata Mas Anwar dari Malang sembari kami bersalaman. “Di Lantai 8 Mas, bareng Mas Gilang dan Mas Rizki”, “Saya tanya dari tadi malam di group, mereka gak menjawab”, kata dia lagi. Saya menjelaskan kepadanya karena tempatnya sempit, takutnya banyak yang ikut nginep di atas, tempatnya tidak muat.

Pada hari minggu jam 9 pagi, saya bertemu dengan salah satu awardee, dulu dia juga belajar di Mesir, bernama Bintan yang menjadi istri dari teman saya waktu di Mesir juga. “Mana Fadlan, suamimu?”, saya bertanya kepadanya. “Katanya jam 10 mau ke sini, nanti saya kabari ya”. Saya juga mencoba menghubungi nomornya Fadlan secara langsung. Jawaban dia sama dengan istrinya.

Saya menuju lantai 9 mengikuti acara pembukaan dan perkenalan bersama seluruh teman-teman PK Santri 144 yang berjumlah 114 orang. Selama ini kami hanya komunikasi lewat WA saja, beberapa ada yang sudah bertemu pada saat seleksi computer dan substansi beberapa bulan yang lalu. Namun, baru kali benar-benar bertatap muka dan memperkenalkan satu persatu.

Setelah acara perkenalan satu persatu selesai. Saya mengikuti acara serius perbincangan dengan beberapa tokoh yang dihadirkan oleh teman-teman pengurus PK Santri 144. Sehingga rencana saya yang akan bertemu Fadlan pada jam 10 pagi hari, mundur sampai jam 3 sore. “Kamu di mana bro?”, ada pesan masuk di WA saya dari Fadlan. “Kamu di mana?, saya meluncur ke sana”, saya balik nanya.

“Saya di lantai 2, kantor LAZISNU. Saya menuju lift menuju ke sana. Keluar dari lift. Fadlan sedang berbicara bersama istrinya. Tau saya datang, istrinya Fadlan, Bintan mohon izin untuk ke atas lagi bertemu dengan teman-teman LPDP. “Kamu bisa bantu saya ketemu Kyai Said hari ini? karena besok senin sudah acara resmi PK di hotel”, saya langsung to the point meminta tolong kepadanya.

“Hah! Sekarang? Kyai Said itu orang sibuk bro. Setingkat Menteri saja harus janjian dulu kalau untuk bertemu beliau. Kamu ini siapa kok mintanya hari ini”, jawab dia sambil tertawa. Saya mencoba menjelaskan kronologinya seperti pesan abah kemarin. “Ini amanat dari abah bro. Saya harus berikan surat ini kepada Kyai Said langsung. Insya Allah Kyai Said berkenan menemui”, sambil menunjukkan surat yang ditulis oleh abah, saya tetap percaya diri menjawab seperti itu, seperti jawaban saya terhadap permintaan abah kemarin.

“Coba saya telpon Sofwan, asistennya Kyai Said ya? Dia adek kelas saya dulu di pondok”, kata Fadlan. Saya hanya mendengar jawaban satu arah dari Fadlan yang sedang menelpon asistennya. “Ayo sekarang kita ke lantai 3, Kyai Said ada di kantornya”, jawaban yang tidak saya duga. Asisten Kyai Said menyuruh kami untuk menuju kantor Beliau sekarang juga.

Lantai 3 di PBNU terkenal dengan ‘keangkuhannya’, karena di lantai inilah letak kantor ketua PBNU berada. Mulai dulu zaman Almarhum Gus Dur, almarhum Kyai Hasyim Muzadi, dan sekarang Kyai Said Aqil. Sampai di depan pintu, Mas Sofwan bersalaman dengan Fadlan. “Silakan masuk”, katanya. “Assalamu’alaikum Romo Yai”, saya mencium tangan Kyai Said Aqil dengan penuh hormat dan ta’dhim.

“Dalem ngaturaken salam dugi abah Yai, dalem putrone KH. Fakhruddin Mannan, pengasuh Pondok Pesantren Minhanjut Thullab, Muncar, Banyuwangi. Riyen teng Makkah, rencange panjenengan, kaleh maringaken amanat surat dugi abah”. “Kyai, saya menyampaikan salam dari abah. Saya anaknya KH. Fakhruddin Manan, Pengasuh Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi. Dulu waktu di Makkah, beliau teman panjenengan. Juga memberikan amanat titipan surat dari beliau”.

Kyai Said membuka surat yang saya berikan. Beliau membaca secara perlahan lalu memberikan surat itu ke Mas Sofwan, “Mengisi acara haul di pesanten pada bulan syawwal besok ya?”, tanya beliau. “Injih Kyai, bulan syawwal besok”. Saya mengulang kembali informasi yang ditulis oleh abah di surat itu, bahwa Kyai Said diminta untuk mengisi pengajian pada saat Haulnya KH. Abdul Mannan pada bulan syawwal nanti. “Surat ini kamu simpan. Jangan sampai lupa jadwalnya”, perintah Kyai Said ke Mas Sofwan.

Setelah berbincang-bincang menanyakan tentang LPDP ke saya dan Fadlan. Mas Sofwan menawarkan ke kami untuk mengambil foto bersama Kyai Said. Alhamdulillah ini adalah kesan yang tidak pernah saya lupakan. Saya berada di rumah besar Nahdlatul Ulama’ dan bisa berkunjung ke presidennya. Tidak ada janjian sebelumnya. Juga tidak menyangka sama sekali. Semuanya ada rezeki. Saat foto kebersamaan saya dan Fadlan, saya unggah di WA dan IG, teman-teman pada heboh.

Pada malam hari, sekitar setelah isya’, teman-teman mengirim foto serupa di group. Mereka berfoto dengan Kyai Said di lantai 1 PBNU, ketika Kyai Said hendak pulang ke rumah. Alhamdulillah, mereka mendapatkan kesempatan yang hampir sama dengan saya. Kami melanjutkan aktifitas hingga jam 12 malam, mempersiapkan segala acara yang akan ditampilkan pada saat PK nanti.

Sekitar jam 10 malam, saya diajak Fadlan ke kantor LAZISNU, diminta untuk menginap di sana saja. “Beliau Ustadz Ahmad Sudrajat bro, presidennya LAZISNU se-Indonesia, kakak kelas kita, dulu di Mesir”, saya bersalaman dengan beberapa orang yang ada di kantor dan salah satunya adalah seperti yang dikenalkan oleh Fadlan. Termasuk bertemu dengan orang LAZISNU bagian lapangan yang sering dikirim ke banyak daerah di Indonesia, dia adalah Wawan. Kami berbincang hingga dinihari. Sekali lagi, alhamdulillah, saya bisa bertemu dengan Kyai yang sangat saya hormati, terimakasih Kyai Said Aqil Shiradj.

Tinggalkan Balasan

1 komentar