Ngofi ke 4 : Ngobrol Sufi

Terbaru114 Dilihat

 

“Kenapa kami memanggil Sayyid Muhammad Alwi dengan sebutan Abuya? Karena beliau itu selalu mengatakan kepada kami bahwa hubungan kami dengan beliau itu bukan antara ustadz dan murid, bukan antara kyai sama santri, tapi lebih dari itu adalah hubungan antara bapak sama anak. Terbukti, dalam dua puluh empat jam, beliau itu berkumpul ke keluarganya hanya mulai jam 12 malam sampai jam 3 pagi. Mulai jam 3 pagi sampai jam 12 malam, semua waktunya beliau habiskan untuk ngopeni, mendidik santrinya. Jam 3 pagi saat tahajjud, seringkali beliau membangunkan sendiri para santrinya. Itulah kenapa kami memanggil dengan sebutan Abuya”. — KH. Abdillah Mukhtar

“Barang siapa menganggap dengan bersungguh-sungguh, dia mendapatkan apa yang dia inginkan, maka dia telah mengkhayal. Begitu juga barang siapa dengan berpangku tangan tanpa usaha, dia mendapat apa yang dia inginkan, dia juga telah mengkhayal”, itulah sepenggal pesan hikmah yang saya dan para jama’ah yang ikut ngaji kemisan di kitab Al-Mukhtar min Kalamil Akhyar. Pesan itu seakan mengajarkan untuk selalu menyandarkan sesuatu kepada Allah Swt. dengan selalu menyelaraskan antara tawakkal dan ikhtiyar, sikap pasrah dan berusaha.

Dari banyaknya peserta pengajian kamis pagi di pesantrennya KH. Abdillah Mukhtar yang biasa disapa dengan Gus Dillah, yang biasanya teman-teman menyebutnya dengan ngaji kemisan, ada dua orang yang menjadi sorotan saya. Mereka berdua tiap kamis pagi selalu datang bersama. Keduanya masih satu keluarga dan putra dari seorang Kyai yang sudah tidak asing namanya di Banyuwangi. Kedua anak muda itu adalah Gus Nawwal dan Gus Imdad.

Gus Nawwal merupakan putra dari KH. Saifuddin yang mengasuh Pondok Pesantren Bustanul Makmur 2, sedangkan Gus Imdad putra dari KH. Muwafiq yang mengasuh Pondok Pesantren Bustanul Makmur 1 yang ada di Kebonrejo, Genteng. Saat pengajian kamis pagi, dimana ada Gus Nawwal, Gus Imdad juga akan tampak. Tempat duduk mereka mengaji juga sering berdekatan dengan kami yang suka mengambil lokasi paling barat dekat asrama dan pemakaman keluarga pesantren.

“Lokasi ngofi ke 4 besok, silahkan di rumah saya saja Gus”, selesai pengajian kamis pagi ditutup dan minuman kacang hijau dibagikan ke semua yang menghadiri pengajian, Gus Nawal membuka percakapan untuk penawaran ngofi bulan november ini. Bulan oktober lalu ngofi dilaksanakan di rumah Mbah Dalijo dengan pembicaranya Gus Makki, Ketua PCNU Banyuwangi. Bulan ini kami belum menemukan pembicara, begitu juga tempatnya. Tawaran Gus Nawal bisa menjadi solusi.

Gus Aan yang ketika mengaji kamis pagi, suka mengambil foto-foto untuk dibuat sebagai bahan membuat meme pengajian, mendekati kami yang sedang asyik mengobrol membahas ngofi ke empat, “Pembicaranya nanti Gus Dillah saja, saya yang akan meminta kepada beliau”, katanya setelah menyalami kami. Lokasi ngofi keempat yang rencananya berada di rumah Gus Nawwal berada di wilayah Genteng, jadi harapannya pembicaranya juga berasal dari lokasi yang sama.

Alasan selanjutnya kenapa memilih Gus Dillah sebagai pembicara adalah karena beliaulah yang menjadi pengisi acara setiap ngaji kamis pagi selain Gus Makki dan beberapa Kyai yang lain. Beliau juga menjadi salah satu pengurus di PCNU Banyuwangi. Termasuk juga karena Gus Dillah pernah mondok di Pesantrennya Sayyid Muhammad Alwi di Makkah Mukarromah.

“Terus nanti temanya apa Gus kalau Gus Dillah bersedia sebagai pembicara?”, tanya saya kepada Gus Aan yang sudah siap untuk memberitahukan Gus Dillah. “Khusus ngofi ke empat ini, tidak usah ada tema. Temanya ya langsung Ngofi, ngobrol sufi. Biar Gus Dillah ngobrol perihal sufi yaitu Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasany”, terang Gus Aan dengan penuh keyakinan. “Cocok Gus”, Gus Arif seketika setuju dengan pendapat Gus Aan. Untuk tanggalnya kapan, kami masih menunggu persetujuan dari Gus Dillah, karena Gus Nawwal kapan saja bisa.

Sampai beberapa hari saya menunggu kabar selanjutnya dari Gus Aan, “Sudah fix tanggalnya Gus? Kapan Gus Dillah bisanya? Biar segera dibuatkan meme sama Gus Rizki”, tanya saya ke beliau. “Gus Dillah masih mengatur jadwalnya, karena bulan November ini bertepatan dengan maulid Kanjeng Nabi, jadi banyak pengajian yang mengundang beliau untuk mengisi acara”, tanggapan dari Gus Aan.

Lebih dari seminggu sejak masuk bulan November, saya belum mendapatkan kepastian tanggal dari Gus Aan. Gus Nawwal, juga teman-teman dari Muharrik MATAN Banyuwangi juga masih menunggu kabar yang sama. Pada saat tanggal 10 November, Gus Aan mengirim pesan ke WA saya, mengabarkan bahwa Gus Dillah siap mengisi acara pada sabtu malam minggu, 17 November mendatang. Artinya memiliki waktu 7 hari untuk mempersiapkan dan mengabarkan acara ngofi keempat ini ke khalayak umum. “Imam tahlilnya siapa Gus?”, pertanyaan muncul di group Muharrik. “Langsung tunjuk saja. Mbah Munji.”, kata Gus Ulil.

Gus Rizki saya beritahu untuk segera membuatkan memenya. Informasi pembicara, imam tahlil, tanggal dan waktu pelaksanaan, serta lokasi sudah lengkap semua, “temanya apa Gus?”, tanya dia ketika ada satu yang belum saya berikan informasinya. “Tanpa tema. Temanya yang ngofi itu, ngobrol sufi”, jawab saya mengikuti jawaban yang sudah diutarakan Gus Aan beberapa waktu lalu. “Siap”, seperti biasa Gus Rizki akan bilang seperti ini dan langsung menggarap memenya.

Meme informasi kami sebarkan. Kamis pagi, tiga hari menjelang pelaksanaan ngofi, setelah pengajian kitab Al-Mukhtar min Kalamil Akhyar, Gus Nawwal dan Gus Imdad mengajak kami untuk berkunjung ke rumahnya, mengecek persiapannya. Karena rumah Gus Nawwal berada di dalam area pondok pesantren Bustanul Makmur 2, kami diajak untuk mencari lokasi yang tepat dari banyak tempat yang bisa dijadikan tempat ngofi ke empat nantinya.

Saya memakai motor sendirian, Gus Arif bersama Mbah Karyo, Bang Syem bersama temannya dari Pondok Pesantren Al-Azhar Sempu, Gus Naim membawa motor vario berwarna pink miliknya, Gus Ulil membawa motor varionya juga, termasuk beberapa anggota MATAN Banyuwangi yang ikut ngaji kamis pagi,  berjalan beriringan menuju ke rumah Gus Nawwal. Kami berjalan di belakang motor Gus Nawwal, karena beberapa dari kami belum pernah ke sana.

Keluar dari area pesantrennya Gus Dillah, kami menuju jalan raya melewati bangunan SMK Muhammadiyah Genteng, terus melaju sampai pertigaan, lalu belok ke kiri lewat kampus Ibrahimy, sekitar lima puluh meter setelah kampus Ibrahimy, ada tulisan yang terpampang di kanan jalan, yang menunjukkan arah menuju Pondok Pesantren Bustanul Makmur dua.

Kami semua berbolak ke kanan, menyusuri jalan aspal kecil yang tidak semuanya mulus, hanya beberapa ratus meter saja yang ternyata ada aspalnya, selebihnya adalah jalalan tanpa aspal dengan kanan kiri jalan adalah persawahan. Sekitar 500 meter dari jalan raya, tampak banyak bangunan-bangunan sekolah dan asrama. Kami sudah memasuki kawasan Pondok Pesantren Bustanul Makmur 2.

Saat di dalam pesantren, motor Gus Nawal terus menuju ke gumuk, gundukan besar tanah yang diatasnya ada bangunan dua lantai. Kami mengikutinya dan memarkirkan motor di depan bangunan itu. Gus Nawwal langsung mengajak kami menuju lantai dua. Saat melewati tangga menuju lantai dua, saya melihat ke arah luar dari jendela yang ada, di sebelah kanan bangunan ini, ternyata adalah asrama untuk santri putri.

“Ini adalah calon lokasi tempatnya. Kira-kira bagaimana. Cukup apa tidak untuk menampung para Ashab MATAN Banyuwangi yang hadir ngofi ke empat besok malam minggu?”, tanya Gus Nawwal ke kami. “Kecukupen, terlalu cukup Gus”, jawab saya. Gus Nawwal menunjukkan ruangan luas yang menjadi aula, serta berfungsi sebagai musholla untuk santri putri. Terkadang juga dipakai sebagai ruangan mengadakan manasik umroh dan haji dari group jama’ah yang dimiliki oleh keluarganya, terbukti ada foto gambar bangunan ka’bah yang dipasang di dinding-dindingnya.

Setelah mengecek lokasi yang ada, kami bersantai di balkon luar bangunan ini, di sana ada kursi yang biasa buat nongkrong Gus Nawwal bersama teman-temannya, beberapa kopi sudah disuguhkan. “Jangan lupa besok syishanya dibawa ya Gus?”, ucap Gus Nawwal kepada saya. “Pasti Gus, itu yang menjadi ciri khas acara ngofi MATAN Banyuwangi selama ini. Ngaji sambil nyisha”, jawab saya.

Usai adzan dhuhur berkumandang, kami sholat berjama’ah bersama di ruangan yang akan menjadi lokasi ngofi ke empat ini, setelah sholat, masing-masing dari kami memohon diri untuk berpamitan. “Ketemu malam minggu besok Gus”, saya menyalami Gus Nawwal dan Gus Imdad. Motor yang saya tumpangi, saat menuruni jalan ke bawah yang tidak beraspal yang berada di luar gedung ini lumayan sulit, harus benar-benar berhati-hati, kata Gus Nawwal sudah sering terjadi motor terpeleset ketika melewati jalan ini, apalagi pada saat musim hujan yang licin.

Saat yang ditunggu telah tiba. Sabtu sore saya berangkat ngofi ke empat dari Berasan menggunakan motor sendirian. Gapron saya telepon agar tidak lupa membawa syisha. Kang Ari juga saya WA agar membawa syisha yang ada di Pondok Pesantren Mambaul Huda, Krasak, markas kedua yang sering menjadi tempat kami berkumpul. “Siap Gus”, jawaban yang seragam dari mereka berdua.

Saya datang di lokasi menjelang adzan isya’, saat para santri di PP. Bustanul Makmur 2 sudah persiapan melaksanakan shalat isya’ di musholla yang berada di bawah gumuk. Kali ini saya tidak memarkirkan motor di depan bangunan atas sebagaimana kemarin, motor saya parkir di depan musholla di bawah pohon. Saya berjalan kaki menuju ke bangunan atas, “Jalanan ini memang licin, wajar kalau terkadang ada yang terpeleset saat melewatinya. Karena banyak pasirnya dan tanahnya berupa lempung”, batin saya berucap sambil berhati-hati berjalan.

“Langsung menuju ke lantai dua Gus”, itulah jawaban Gus Nawwal ketika saya memberitahu lokasi saat ini. Sampai di lantai dua, ternyata semua sudah disiapkan. Banner sudah terpasang, jajanan sudah ditata di lantai. Lantunan sholawat sudah diputar. Gus Nawwal mengajak saya minum kopi di kursi balkon sambil menunggu teman-teman yang belum hadir. Saya bukan hanya ditemani oleh Gus Nawwal saja, ada Gus Imdad dan Gus Birbiq, putra dari rektor Institut Agama Islam Ibrahimy, Genteng, yang juga menjadi teman akrab Gus Nawwal.

Sekitar jam 8 malam, para Ashab MATAN Banyuwangi mulai banyak yang hadir. Gus Naim bersama para santri dan alumni Pondok Pesantren Al-Azhar, Sempu. Gus Ulil bersama santri dan alumni Pondok Pesantren Mambaul Huda, Krasak. Gus In’am bersama santri dan alumni dari Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Krikilan, dan banyak lagi dari Ashab MATAN Banyuwangi yang hadir malam ini. Gapron dan Kang Ari juga datang dengan menenteng tas yang berisi syisha. Mereka langsung meracik untuk menyiapkannya.

“Itu ada kompor portable Gus, biar tidak bolak bolak ke dapur di rumah bawah”, Gus Nawwal menunjukkan kompor yang sepertinya sering dia gunakan untuk membuat kopi saat nongkrong bersama temannya di balkon sini. Sambil menunggu syisha diracik selesai, saya mempersilahkan Gus Arif untuk membuka acara, biar tidak terlalu malam, Mbah Munji yang bertugas sebagai imam tahlil juga sudah siap.

Acara dibuka, Mbah Munji memimpin tahlil sampai selesai. Usai Mbah Munji menutupnya dengan salam, ternyata Gus Dillah yang menjadi pembicara belum datang. Saya dipersilahkan Gus Arif untuk memberikan sambutan sebagai ketua MATAN Banyuwangi. Kebetulan sekali ada info dari MATAN Pusat yang perlu saya sampaikan kepada Ashab MATAN Banyuwangi.

Mumpung kita sudah berada di bulan yang sangat mulia, yakni bulan Maulidnya Kanjeng Nabi, mari kita perbanyak membawa sholawat. Coba lihat! Saat Allah Swt. memerintahkan shalat, Dia tidak shalat, perintah puasa, Dia tidak puasa. Tapi, saat Allah Swt. memerintahkan kita bersholawat, Dia juga ikut memberikan sholawatnya kepada Kanjeng Nabi. Itu menunjukkan kepada kita begitu agungnya nilai sholawat itu”, Saya memberikan pesan kepada semuanya, termasuk tentunya pesan untuk diri saya sendiri yang pernah saya dengar dari Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Pekalongan.

“Tanggal 3 Desember besok ada undangan dari JATMAN dan MATAN wilayah Jawa Timur. Ada acara Maulid Akbar yang dilaksanakan di lapangan KODAM Surabaya. Banyuwagi diberikan jatah 3 bus. Tidak ada biaya alias gratis. Satu bus diambil oleh jama’ah JATMAN Banyuwangi, kita MATAN Banyuwangi dapat jatah 2 bus. Yang bersedia untuk ikut, bisa berkordinasi dengan Gus Naim sebagai ketua panitia”, ucap saya setelah memberikan muqodimah. Setelah saya memberikan informasi, Gus Dillah datang. Kami semua menyalami beliau. Sambutan saya tutup, microfon saya berikan kepada Gus Arif kembali.

Gus Dillah membuka pembicaraannya dengan mengatakan bahwa kehadiran beliau di acara ini awalnya karena dipaksa oleh Gus Aan. “Alhamdulillah berkah ngaji kemisan, kita dipertemukan kembali di acara ini. Ngofi, ngobrol sufi. Karena judulnya ngobrol, jadi kata Gus Aan saya suruh mengobrolkan pengalaman saya waktu mondok di Makkah di pesantrennya Abuya Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliky”, ungkap beliau.

“Ceritanya, saya dulu lulus SD tahun 1973. Lalu melanjutkan mondok di Jember, tepatnya di Kencong sampai tahun 1982. Tahun 1983, saya ketiban pulung. Panjenengan semua tahu pulung? Apa itu pulung? Sejenis keberuntungan. Saya menjadi satu-satunya santri di Kencong yang mendapatkan kesempatan untuk bisa melanjutkan mondok di Makkah. Pada waktu itu anak Kyai saya di Kencong lebih dulu mondok di Makkah, beliau pulang ke Jember dan mencari satu santri yang bisa diajak mondok ke Makkah, santri itu adalah saya”.

Gus Dillah melanjutkan ceritanya bahwa beliau mondok di Makkah selama 10 tahun. Pada tahun 1983 itu Saudi Arabia sedang ketat-ketatnya urusan visa atau izin tinggal, sehingga pada waktu itu Sayyid Muhammad Alwi memberikan persyaratan kepada santri yang baru mondok untuk tidak boyong, pulang untuk jangka waktu yang lama.

“Mondok, belajar di pesantrennya Abuya Sayyid Muhammad Alwi itu secara konsep berbeda dengan mondok di Indonesia. Kalau kita di Indonesia, tiap bulan harus bayar SPP sendiri. Belum lagi uang untuk kebutuhan hidup. Kami di sana, tiap bulan justru dibayar sama Abuya, waktu itu beliau memberikan setiap santri sebanyak 75 riyal, bahkan semua kebutuhan harian, gratis sudah tanggung semuanya oleh Abuya. Malah, setiap hari raya dibelikan baju baru semuanya”, lanjut beliau.

“Baru di pesantrennya Abuya ini saya mengenal ada banyak sekali hizb, bacaan-bacaan doa yang beraneka ragam yang tidak saya temukan waktu  mondok di Kencong dulu. Di sana baca wirid itu 24 jam, setiap santri bergiliran membaca dimulai dari jam 3 pagi pada saat tahajjud. Pada saat wirid kok ada yang mengantuk, Abuya sangat marah, bahkan biasanya ada yang sampai dihantam sama gelas. Padahal di sini yang namanya ngantuk saat wirid itu seakan menjadi rukun ya,  la yasihhu al wirdu bila nu’asin, tidak sah wirid itu kalau tidak ada bumbu ngantuknya. Hehe”.

“Kenapa kami memanggil Sayyid Muhammad Alwi dengan sebutan Abuya? Karena beliau itu selalu mengatakan kepada kami bahwa hubungan kami dengan beliau itu bukan antara ustadz dan murid, bukan antara kyai sama santri, tapi lebih dari itu adalah hubungan antara bapak sama anak. Terbukti, dalam dua puluh empat jam, beliau itu berkumpul ke keluarganya hanya mulai jam 12 malam sampai jam 3 pagi, mulai jam 3 pagi sampai jam 12 malam, semua waktunya beliau habiskan untuk ngopeni, mendidik santrinya. Jam 3 pagi saat tahajjud, seringkali beliau membangunkan sendiri para santrinya. Itulah kenapa kami memanggil dengan sebutan Abuya”.

Gus Dillah terus bercerita tentang guru yang sangat beliau cintai. Bahkan saat Gus Dillah baru pulang ke Indonesia setelah 10 tahun menimba ilmu di Makkah dan menikah di usianya yang ke 35 tahun, beberapa tahun berikutnya beliau masih mendapatkan kiriman uang dari Sayyid Muhammad Alwi. Begitu luar biasa perhatian Abuya kepada seluruh santrinya, entah itu santri dari golongan Saadah, secara nasab darah masih keturunan dari Kanjeng Nabi, maupun dari golongan ‘aajam, orang umum seperti Gus Dillah yang dari Indonesia.

Setelah satu jam bercerita. Gus Dillah menutupnya dengan memberikan buku yang dihadiahkan kepada Ashab MATAN Banyuwangi dan diwakili pemberian itu kepada Gus Arif. Setelah ditutup doa, kami mengakhiri acara ngofi ke empat malam ini dengan makan bersama dengan daun pisang yang dijejer secara memanjang. Makan bersama dengan piring daun pisang seperti ini mengajarkan kepada kami akan arti kebersamaan dan egalitas. Semua pada posisi yang sama. Tidak ada perbedaan antara santri dan kyai, antara guru dan murid. Penilaian yang dilakukan oleh Allah Swt. adalah berdasarkan amal dari masing-masing pribadi yang ada.

Gus Aan menemani Gus Dillah yang berpamitan usai acara makan malam. Saya bersama Ashab MATAN Banyuwangi yang lain asyik bercengkrama sambil menghisap syisha di balkon dengan ditemani hembusan angin malam kota Genteng. Kami mengobrol hingga dinihari. Sekitar jam 2 dinihari, teman-teman banyak yang pulang. Saya memutuskan untuk menginap. Malam ini kami benar-benar mengimplementasikan tema yang kami buat, yakni ngofi; Ngobrol Sufi. Sufi itu adalah Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasany Rohimahulloh Ta’ala.


Ini adalah salah satu artikel yang ada di calon Buku saya yang ke 4 dengan judul buku “NGOFI”.

Tinggalkan Balasan