PK Santri

Terbaru0 Dilihat
“Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan dan Kesempurnaan”, beberapa kata ini tertulis secara besar sekali dengan banner yang terpasang di dalam aula hotel Arkadia yang senin nanti menjadi tempat dilaksanakannya PK, Persiapan Keberangkatan para awardee LPDP, termasuk saya salah satunya. Kami semua masih di gedung PBNU pada minggu sore. Informasi yang kami dapatkan, “kita boleh latihan di hotel sore sekarang, tapi maksimal sampai jam 9 malam. Ayo kita kompak ke sana”, Mas Rizki mengajak kami untuk latihan di aula hotel Arkadia.
Segala alat yang diperlukan untuk pembukaan PK besok senin kami bawa semua, termasuk mascot lebah yang menjadi symbol untuk angkatan PK 144 ini. Maskot ini yang membuat adalah Kyai Shobihan, seorang pengasuh pesantren di kota Jogja. Aula yang megah, mewah, berada di tengah Jakarta Pusat, menyambut kami. “Lewat pintu samping hotel mas”, Mas Gilang menulis sebuah pesan di group WA PK Santri 144, ketika ada beberapa teman yang bingung mencari aula hotel Arkadia.
Teman-teman langsung berlatih sesuai tugasnya masing-masing. Saya hanya melihat mereka berlatih, sesekali ikut membantu menyusun tatanan dalam ruangan aula ini. Kami juga mempraktekkan gerakan koreografi dari lagu angkatan yang diciptakan oleh Mbak Ana Yulvia tentang Cantrika Binaya Nagarajaya dengan Mas Anwar sebagai pemimpinnya yang berada di baris paling depan.
“Nanti malam nyisha ayo bro, mulai besok saya sudah full ikut kegiatan PK di hotel dan gak akan bisa ke mana-mana sampai hari kamis”, saya mengirimkan pesan WA kepada Fadlan. “Siap bro, agak maleman dikit ya. Kamu selesaikan dulu urusanmu dengan teman-temanmu”, jawab dia. Dia memberitahukan sedang mengurus proyek yang sedang dilakukan oleh LAZISNU PBNU bersama dengan Wawan. Lebih tetapnya proyeknya bagaimana, saya tidak bertanya secara mendetail, hanya sampai disitu informasi yang saya dapatkan dari dirinya.
Kami semua terus berlatih di aula hotel Arkadia hingga malam hari. Kyai Shobi bersama timnya terlihat sangat sibuk sekali menata panggung. Desain panggung, teman-teman sendiri yang menatanya, walaupun di beberapa titik, ada peran dari timnya Pak Shabahul Arafi yang menatanya. Banner besar yang sudah terpasang juga menarik sekali, bergambar peta dari Sabang sampai Merauka dengan beberapa display rumah adat daerah di bawahnya. Hal itu menunjukkan begitu beragam para penerima beasiswa pada angkatan PK 144 ini.
Jam 9 malam, beberapa pekerja hotel memberitahu kami bahwa waktu sudah habis. Kami dipersilahkan untuk kembali lagi ke PBNU. “Untuk jadwal check in di hotel adalah mulai jam 7 pagi besok mas”, Mas Rizki mengabarkan ke teman-teman sebagaimana info yang dia dapatkan dari Mas Gilang. Di PBNU lantai 9, teman-teman masih melanjutkan latihannya. Masing-masing kelompok diberikan tugas. Termasuk kelompok yang saya ikuti adalah bernama Sultan Agung dengan ketuanya Mas Anwar.
“Mas Bisyri di mana? kita sedang di lantai 9 untuk latihan gerakan koreografi kelompok kita yang maju besok waktu acara PK”, Mas Anwar mengirimi saya WA. Sejak pulang dari hotel Arkadia barusan, saya tidak menuju ke lantai 9, tapi langsung ke lantai 2, untuk menemui Wawan yang sedang bekerja bersama Fadlan. Kami ngobrol-ngobrol santai bercerita tentang pengalaman dulu saat belajar bersama di universitas Al-Azhar Mesir.
“Siap mas, bentar lagi saya ke atas”, setelah lebih satu jam membaca pesan dari Mas Anwar, akhirnya saya menjawab pesannya. “Wah, ke mana aja mas. Kita sudah latihan macam-macam di sini”, Aljabar berkata demikian ke saya. Beberapa nama teman yang ikut kelompok Sultan Agung adalah Mas Anwar, Burhan, Aljabar, Mahsus, Mas Fajar, Ika, Khoiro, Bintan, Khanan, Luluk, Mas Lutfi, Mbak Ruah, Umar, Fadli, Mbak Fida, Wirda, Mahsus dan Afi. Mereka semua berasal dari berbagai daerah yang ada di Indonesia dan hendak melanjutkan studi di kampus dalam negeri dan luar negeri.
“Jadi tidak bro kita nyisha?”, WA saya dapat pesan, dari siapa lagi kalau bukan Fadlan. “Siap bro”. “Mas Anwar saya izin ke bawah dulu ya. Teman-teman silahkan dilanjut latihannya”, saya meminta izin ke Mas Anwar, karena dia sebagai ketua kelompoknya. Jam saya lihat juga sudah hampir jam 11 malam, sehingga saya merasa pantas untuk undur diri dari latihan bersama ini. “Ya mas, silahkan. Gak apa-apa”, jawab dia sembari melanjutkan latihan yel-yel untuk kelompok Sultan Agung. Mbak Fida paling heboh dalam mempraktekkan yel-yel ini.
Di bawah, Fadlan sudah menunggu di depan gedung PBNU. “Rencananya nyisha di mana?”, tanya Fadlan. “Yang saya tau di sekitar sini, ada Al-Jazeera Café dan Omar Café, kita lihat sambil jalan saja” Fadlan mengajak saya untuk berjalan saja menuju lokasi yang sudah direncanakan. “Wawan ke mana?”, tanya saya. “Masih ada urusan dia, nanti juga nyusul katanya”. Kami berjalan keluar area kantor PBNU, karena ini Jakarta Pusat dan malam senin, jalannya ramai sekali. Saya yang biasa hidup di desa Banyuwangi, terasa aneh saja.
Kami menyusuri trotoar, bangunan dekat PBNU, walaupun sebenarnya pada siang hari adalah perkantoran, rupanya saat malam hari beralih fungsi depannya digunakan sebagai café dan warung. Banyak orang-orang nongkrong sambil ngopi di sana. Sampai pertigaan, kami berbelok ke kiri sampai berjalan di depan kantor PKB. “Al-Jazeera Café dekat sini bro. Itu dia sudah kelihatan”, kata Fadlan menyemangati saya untuk terus berjalan, karena jarak dari PBNU ke sini, menurut perkiraan saya sudah lebih dari satu kilometer.
“Ada syisha di sini bang?”, Kami memasuki café Al-Jazeera dan bertanya ke kasirnya. “Maaf mas, lagi kosong, biasanya ada. Coba besok malam mas ke sini lagi”, katanya sambil memohon maaf. Keluar dari Al-Jazeera yang belum rezeki untuk mendapatkan syisha, Fadlan bertanya ke beberapa café yang ada di sampingnya, jawabannya justru, “tidak menyediakan syisha mas, rata-rata sudah bawa vape sendiri-sendiri”, jawab beberapa petugas yang jaga.
“Capek jalan bro, kita naik taksi saja ya?”, pinta saya ke Fadlan setelah berjalan menyusuri trotoar di sekitar Al-Jazeera yang rusak berat karena sedang ada renovasi untuk kabel yang mau ditaruh di gorong-gorong. Trotoarnya rusak, belum lagi ditambah para pedagang yang jualan di trotoar, jadi lengkap sudah, kami harus berjalan pelan-pelan di pinggir jalan raya yang sangat ramai sekali.
“Saya pesankan grab bro, langsung ke Omar Café ya?”, kata saya ke Fadlan. Sebuah mobil hitam Calya berhenti, memastikan kami yang memesannya. Kami berjalan kembali menuju Omar Café yang dimaksud. Ternyata tidak terlalu jauh, walaupun kalau berjalan kaki, tentu akan capek sekali. “Sudah sampai Pak”, kata sopirnya saat memarkirkan kendaraannya di depan sebuah swalayan dan banyak sekali café yang ada di dalamnya, terlihat dari luar. “Bayar pakek OVO tadi ya pak?”, tanya saya memastikan pembayaran grabnya. “Siap”.
Belum Fadlan bertanya ke petugas cafenya, saat petugas membukakan pintunya, di dalam sudah banyak sekali orang arab yang asyik ngobrol bersama teman-temannya dengan memegang syisha masing-masing di tangannya. Kami mencari tempat duduk yang belum berpenghuni dan seorang pelayan datang dengan membawa buku pesanan. “Syisha 2, teh satu teko, dan beberapa makanan ringan”, saya mencatat beberapa pesanan ini setelah Fadlan membacakan pesanannya.
Sesaat setelah pesanan kami sampai, Wawan menelpon Fadlan, dia mengabarkan sudah berada di bawah depan Omar Cafee seperti yang diberitahukan lokasinya oleh Fadlan. Dia keluar menghampiri Wawan. “Sudah selesai bro urusannya?”, tanya saya. “Kalau nunggu beres semua ya tidak bisa nyisha di sini bro. Dinikmati saja, waktunya kerja, kerja. Waktunya nongkrong, ya nongkrong”, kata dia santai. Kami mengobrol perihal pengalaman masing-masing. Wawan bercerita tentang perjalanannya bisa berada di LAZISNU PBNU. Dia sering diperintah Ust. Sudrajat sebagai Presiden LAZISNU untuk terjun di daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Fadlan bercerita tentang calon pekerjaan baru yang diterima akhir-akhir ini, dia ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Syariah di salah satu Bank daerah di Indonesia. Kegiatan hariannya adalah menjadi dosen di salah satu universitas di Jakarta, juga menjadi dai dari PBNU, termasuk memiliki lembaga privat mengaji dan kajian keislaman untuk keluarga-keluarga elit yang ada di Jakarta. “Di Jakarta harus aktif bro. Harus mengambil peran. Seng obah mamah. Yang bergerak dialah yang makan”, katanya.
Kami berbincang sambil menghisap syisha dan minum teh khas arab hingga menjelang jam 2 dinihari. “Besok pagi kamu acara PK. Kalau sampai tidur waktu acara, bisa hangus beasiswamu di LPDP”, kata Fadlan mengajak untuk pulang. Fadlan adalah teman yang memberitahu saya perihal informasi beasiswa santri yang dibuka pertama kali oleh LPDP pada bulan Oktober 2018 lalu. Saya mendaftar bersama istri, Fadlan juga daftar bersama istrinya, Bintan. Namun yang lolos hanya saya dan Bintan. Istri saya dan Fadlan tidak lolos. Dulu dia juga pernah mendapatkan beasiswa dari LPDP ketika S2 di Universitas Indonesia.
Kami pulang dengan mengendarai grab. Sampai di gedung PBNU, saya diajak untuk istirahat di kantor LAZISNU, namun saya tolak. “Kalau saya istirahat di kantor LAZISNU, bisa bangun kesiangan nanti, saya tidur di masjid PBNU lantai 1 saja, bersama teman-teman PK 144 yang lain”, jawaban saya atas tawaran Fadlan dan Wawan. Walaupun saya datang di masjid PBNU sudah hampir menjelang subuh, rupanya ada teman-teman masih banyak yang ngobrol dan belum istirahat. “Maklum, mereka semua adalah santri yang ketika di pesantren memang ada tradisi melek bengi, bangun tidak tidur malam”, batin saya berkata.
“Ayo mas, semua barang-barang kita bawa semua. Kita pindah ke hotel Arkadia. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Karena kita tidak menginap lagi di sini. Selama lima hari ke depan, kita di hotel Arkadia”, Mas Gilang memberikan pengumuman berulang kepada seluruh teman-teman yang mulai sibuk mengemasi barangnya. Saya hanya membawa satu tas ransel, kardus yang berisi jajalan khas Banyuwangi sudah saya serahkan ke Mas Rizki sebagai salah satu kordinator teman-teman. Jadi tidak terlalu ribet, ketika disuruh untuk pindah tempat.
Kami berjalan menyusuri trotoar di depan gedung PBNU, halaman depan kantor yang semalam saya melihatnya adalah café dan warung, saat ini semuanya kembali ke asal lagi, menjadi kantor dengan banyak pekerja yang baru datang untuk mengisi hari senin. Kami seperti para rombongan dari negara lain yang hendak mengungsi. Semuanya sudah memakai seragam putih untuk pakaian dan hitam untuk celana. Saya sebenarnya ingin membantu mbak-mbak yang membawa koper, Cuma belum terlalu akrab.
“Boleh saya bawakan satu tasnya mbak?”, saya menawarkan diri untuk membawa salah satu tas yang dibawa oleh mereka. Kasihan buat mbak-mbak awardee yang sebagaimana layaknya perempuan, biasanya memang barang yang dibawa banyak sekali, apalagi kami di Jakarta rencananya lebih dari satu minggu. Sampai di lobi hotel Arkadia, barang-barang dikumpulkan sesuai kelompoknya masing-masing, dengan diberi tanda pita yang warnanya berbeda-beda sesuai kelompoknya. Untuk kelompok Sultan Agung yang menjadi group saya, pitanya dikasih warna kuning.
Rupanya hari pertama check in masih nanti siang, kami langsung diarahkan ke aula hotel untuk mengikuti acara pembukaan PK, Persiapan Keberangkatan. Tas-tas yang sudah kami kumpulkan di lobi disuruh untuk dipindahkan kembali, “Semuanya dikumpulkan di ruangan depan aula ya”, kata Mas Rizki dengan suara lantangnya. Musik menggema ketika kami memasuki aula. Lampunya sangat terang. Kami seakan sedang memasuki gedung bioskop tapi dengan lampu yang terang sekali. Juga seperti menonton konser, dengan musiknya yang sangat nyaring. Maklum saja, ini hotel mahal.
“Selamat Pagi”, dua orang presenter maju ke depan. Mereka memperkenalkan diri bernama Mas Mukhlis dan Mas Jufri. “Kalau kami ucapkan Selamat Pagi, kalian jawabnya Pagi. Kalau Semangat Pagi, kalian jawab Pagi Pagi Pagi. Jika kami bilang LDPD, dijawab Jaya. Kalau kami bilang Indonesia, jawabnya Aku Pasti Mengabdi”. Dengan penuh semangat kami mengikuti instruksi dari kedua pembawa acara yang sudah seperti MC yang ada di televisi nasional ini.
“Tak kenal maka tak sayang”, itu adalah ungkapan yang diutarakan oleh Mas Jufri sambil memegang bunga. Tiba-tiba dia berjalan ke arah satu awardee sambil memberikan bunganya, “Tapi kok saya sudah sayang, padahal belum kenal”, terlihat awardee yang diberi bunga itu tersipu malu, dia bernama Hanna. Di WA group PK Santri 144, namanya tertulis Hanna Kembar Tiga. Katanya teman-teman, dia memang memiliki kembaran 3. Semuanya kembar.
Nilai-nilai LPDP yang dipasang dengan banner yang sangat besar yang saya lihat tadi malam, ternyata akan kami baca dan harapannya kami praktekkan dalam kehidupan sehari-hari nanti. Nilai pertama adalah Integritas. “Kalau saya bilang Pemimpin Masa Depan, nanti kalian jawabnya Integritas, sambil berdiri dengan menghentakkan kaki kanannya dan tangan kanan terkenal di arahkan ke dada kiri”, kata duo pembawa acara. Mas Mukhlis dan Mas Jufri juga memanggil Gus Fathan dan Mas Rizki untuk memperagakan yel-yel yang diajarkan di awal tadi.
Setelah pemanasan dirasa cukup. Kedua pembicara memanggil pembicara selanjutnya yang ditunggu-tunggu. Beliau selama ini berada di balik layar dari tugas-tugas yang banyak sekali yang dikirimkan oleh Mbak Ana Yulvia di Group WA PK Santri 144. Beliau jugalah yang beberapa kali mengundang teman-teman kordinator untuk rapat urusan PK di kantor LPDP. Beliau adalah PIC, yang berarti Person in Charge, atau penanggung jawab untuk acara PK ini. Bernama Bapak Shabahul Arafi.
Kami semuanya berdiri. Hentakan irama penuh semangat dibunyikan. Mas Mukhlis dan Mas Jufri secara serentak memanggil nama beliau, “Bapak Shabahul Arafi”. Seketika teman-teman semuanya tepuk tangan terus menerus. Pak Rafi, begitu kami memanggilnya, berjalan memasuki aula dengan menelungkupkan tangannya, pertanda memberikan penghormatan kepada semuanya dan salam pertemuan.
“PK Santri ini adalah PK yang berbeda. Baru kali ini LPDP mengadakan PK tanpa ada dari jenis afirmasi lain. PK ini khusus untuk Santri saja dan berasal dari perwakilan seluruh Nusantara, dari mulai Aceh sampai ujung timur ada semua, yang tidak ada hanya dari Papua saja. Keseluruhan PK ini adalah 114 awardee”, beliau memberikan informasi dan motivasi buat kami semua.
Beliau melanjutkan pesannya, bahwa kami semua harus mengambil peran sebagai pemimpin di masyarakat nantinya. Sesulit apapun rintangan yang akan dihadapi, kami harus selalu menghadapinya. Karena kami tidak tahu dititik mana, dari perjuangan itu, yang bisa menginspirasi orang lain. Tugas kami adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mengambil peran.
Video dari PK-PK sebelumnya beliau putarkan. Banyak kisah yang ada di dalamnya, dari beberapa video itu, ada seorang awardee yang wajahnya sangat tidak asing bagi kami semua, dia adalah Habiburrahman El-Shilrazy, seorang penulis yang karyanya banyak dijadikan film di tanah air. Kang Abik merupakan angkatan PK sebelum kami. “Selama di PK, tinggalkan segala bentuk ketokohan. Semuanya melebur menjadi satu. Sama-sama awardee LPDP”, pesan Pak Rafi.
Pak Rafi juga menunjukkan fenomena peserta PK Selama ini, “Ada tiga tipe seseorang yang mengikuti PK ini, yang pertama adalah dia yang ikut PK hanya untuk menggugurkan kewajiban saja. Jadi ya biasa saja, tidak istimewa. Yang kedua adalah ikut PK karena terpaksa, sehingga dalam mengikutinya dia bermalas-malasan. Yang ketiga adalah yang ikut PK murni karena ikhlas dan tulus untuk mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir sampai tuntas. Silahkan dipilih kalian mau menjadi kriteria peserta yang mana”.
Menjelang dhuhur, Pak Rafi mengakhiri pesan-pesan yang disampaikan, namun beliau mengatakan akan melihat secara langsung proses acara PK ini sampai akhir, yang rencananya hingga hari kamis nanti. “Yang tidak bersungguh-sungguh mengikuti acara PK, akan kami undang untuk mengikuti PK lagi tahun depan”, kata beliau, yang artinya kami tidak bisa kontrak beasiswa dengan LPDP, karena syarat kontrak beasiswa LPDP adalah harus sudah lulus kegiatan wajib yang berupa PK, Persiapan Keberangkatan ini.
Istirahat shalat dhuhur, saya sekalian sholat jama’ dan qoshor, menggabung shalat dhuhur dan ashar di awal waktu. Tadi juga diumumkan oleh Mas Mukhlis dan Mas Jufri, usai shalat dhuhur masih ada waktu makan siang di restoran hotel. Saya makan dengan lahap, saya lihat teman-teman juga sama, maklum kami semua santri. Menu yang disajikan juga lengkap. Ketika hendak memulai acara kembali yang rencananya diisi langsung oleh Direktur LPDP, saya minum kopi terlebih dahulu, dengan harapan supaya tidak mengantuk nanti. Kami menunggu panggilan untuk masuk ruangan kembali di depan pintu aula yang megah ini.

Tinggalkan Balasan