Berkah Maulid

Terbaru0 Dilihat

“Prak…”, seketika aku kaget. Botol tumbler dijatuhkan sama anakku, Khilni, mengenai tepat ke layar laptop macbook Apple ketika aku sedang khusyuk mengedit naskah buku “Ngofi – Ngobrol Sufi”. Aku menoleh ke belakang, istriku yang awalnya asyik bermain dengan hpnya, langsung beranjak dari tempat tidurnya. Dia terlihat ketakutan. Khilni berdiri diam.

“Minta maaf ke Baba”, istriku meminta kepada Khilni untuk meminta maaf kepadaku. Aku masih menoleh kepadanya. Secara manusiawi, dalam kondisi seperti ini, aku bisa saja memarahinya. Namun, dia masih bocah umur 2 tahun, sedang aktif-aktifnya bermain. Sedang tumbuh kreatifitasnya. Untuk ukuran anak-anak seusianya, dia sangat aktif sekali.

Menoleh ekspresi wajahnya, aku tidak tega. Aku teringat dengan pesan Kanjeng Nabi yang pernah aku dengar dari seorang guru, bahwa anak umur 0 sampai 7 tahun adalah masanya dia untuk bermain. Biarkan dia bermain sekehendak dirinya, memuaskan untuk menghabiskan masa indah yang nantinya tidak akan pernah terulang. Jangan sampai ketika dewasa nanti, dia masih sibuk bermain, karena masa kecilnya kurang bahagia. Aku juga masih teringat dengan pesan Kanjeng Nabi bahwa orang yang kuat, bukanlah yang bisa mengalahkan orang lain dengan kekuatannya, tapi diantaranya adalah dia yang kuat menahan amarah padahal bisa melampiaskannya.

Tangan mungilnya disodorkannya padaku dengan berkata, “Baba…minta maaf”, aku tidak bisa menolak permohonan maafnya. Tangan milikku juga kusodorkan padanya, dia mengecup tanganku lalu lari ke pelukan mamanya. Aku masih terdiam. Layar di laptopku sudah tidak terbentuk. Hanya guratan-guratan putih yang bisa aku lihat di depanku. Kalau laptop windows biasa, mudah saja mengganti layarnya, seperti waktu lalu ketika aku hendak mengganti layar laptop Sony, aku tanyakan di Sumberayu, habisnya sekitar 1,5juta.

Namun, ini laptop Macbook Apple. Aku pernah mendengar beberapa kali dari langgananku di Surabaya perihal laptop ini, “Layarnya jangan sampai rusak mas, kalau bisa. Kalau layarnya kena, hampir sama dengan membeli laptop baru”, pesan dia waktu itu. Kata-kata ini muncul kembali dalam ingatanku. Yang awalnya Khilni yang meminta maaf kepadaku, gantian istriku yang meminta maaf, “Maaf Mas, aku teledor dalam mengurus anak”, katanya dengan memohon.

Secara pribadi aku sudah memaafkan keduanya. Tidak ada yang salah dengan istriku, apalagi dengan anakku. Sudah beberapa minggu ini, waktu sering aku habiskan di depan laptop untuk menulis dan mengedit beberapa naskah yang harapannya akan menjadi sebuah buku. Laptop yang ada di depanku sudah menghasilkan 4 karya buku Serial Mesir yang berjudul “926 Cairo”, “Cairo Oh Cairo”, “Umroh Koboy”, dan “80 Coret Mesir”. Hari ini aku sedang mengedit naskah ke lima dan tiba-tiba peristiwa pecahnya layar terjadi.

Entah mengapa, walaupun aku sudah menyadari bahwa aku sudah memaafkan keduanya. Aku ibarat anak kecil yang sedang asyik-asyiknya bermain layang-layang, ia habiskan waktunya sehari semalam, lalu ditariklah layang-layang itu darinya. Aku ibarat orang yang sedang hobi sekali menggayuh sepeda, ke mana-mana bawa sepeda, bahkan ikut beberapa club sepeda, lalu diambillah sepeda itu dengan cara dan waktu yang tidak tepat.

Aku fokus berfikir, “apa hikmah di balik kejadian ini?”. Aku tidak memarahi istriku maupun Khilni. Aku percaya sekali dengan konsep takdir. Segala sesuatu yang terjadi, semua sudah dituliskan dalam Lauh Mahfudz, buku catatan Tuhan. Hanya saja, aku tidak bisa berbohong dengan diriku sendiri, ada rasa jengkel yang aku rasakan. Ibarat anak kecil yang kehilangan layang-layang tadi, tapi aku sulit sekali mengendalikannya.

Dari pada ketika bicara, aku bisa melampiaskan kejengkelanku, akhirnya aku diam. Istri dan anakku keluar dari kamar. Istriku faham betul, ketika aku diam seperti ini, berarti menunjukkan kalau aku tidak mau diganggu oleh siapapun. Lampu kamar aku matikan, aku memilih untuk tidur, walaupun sebenarnya saat ini masih barusan selesai shalat isya dan waktunya para santri di pesantren mengaji takror.

Mata aku pejamkan, tapi hati masih bergejolak. Aku lebih banyak berdzikir membaca istighfar dan sholawat. Aku melawan diriku. Akalku sangat sadar dengan kejadian barusan, hatiku juga sudah memberikan pengertian, namun nafsuku seakan berperan sebagai provokator untuk menyalahkan istriku yang kurang memberikan pengawasan kepada anakkku, Khilni disaat aku sedang sibuk bekerja.

Istriku masuk ke dalam kamar, Khilni ia titipkan di mbak-mbak santri agar bisa diajak bermain oleh mereka. Dia menghampiriku, meminta maaf kembali. Aku mengangguk sekali lagi yang menunjukkan aku memaafkannya. Hatiku sudah sadar secara jelas, bahwa kejadian pecahnya layar laptop ini adalah kejadian biasa saja. Memang sudah takdirnya, pada detik ini, hari ini, tanggal sekian, layar laptopku akan pecah. Aku sudah sadar dengan konsep ini.

“Tolong jangan membenci Khilni ya Mas, sepenuhnya aku yang salah. Aku kurang bisa menjaga Khilni. Aku yang salah”, sambil mengatakan ini, dia sesenggukan menangis. Aku paling tidak tega ketika melihat istriku menangis. “Tidak apa-apa. Uang bisa dicari, laptop bisa beli lagi. Khilni mungkin tadi sedang cari perhatian kepadaku, karena beberapa minggu ini, aku lebih sibuk di depan laptop dari pada mengajaknya bermain”, kataku kepadanya sambil memeluk untuk menenangkannya.

Suasana kembali mencair. Kami mulai berbicara perihal yang realistis. Hitung-hitungan kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengganti layar laptop atau beli laptop baru. Sambil menunggu untuk beli laptop baru, aku akan memakai laptop Sony Vaioo milikku yang dulu aku pakai pada saat melanjutkan studi S2 di Jember dan saat ini sering dipakai oleh istriku dan mbak-mbak santri yang ikut di rumah.

Alhamdulillah, baru beberapa jam setelah kejadian Khilini memecahkan layar laptop, ada sms masuk ke hpku. Perihal sms banking dari BNI, LPDP sebagai lembaga beasiswa yang membiayaiku selama kuliyah S3 di UIN Malang mencairkan dana untuk biaya hidup selama tiga bulan ke depan. Dia menjadi dewa penolong disaat yang tepat sekali.

“Maa..gak apa-apa uang LPDP ini yang seharusnya buat biaya hidup bulanan, aku belikan laptop baru?”, tanyaku kepadanya. Selama ini, aku berusaha terbuka soal apa saja termasuk keuangan kepada istriku, bahkan dialah yang selama ini bertugas mengatur keuangan di keluarga kecilku. Semua uang keluar dan masuk, dia catatkan dan aku juga melaporkan kepadanya. Aku percaya, dua insan yang disatukan dalam hubungan pernikahan, dia ibarat satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga perlu adanya keterbukaan.

“Silahkan Mas. Asal kamu bisa terus berkreasi dan menghasilkan karya, aku akan mendukungnya”, katanya dengan lirih. Entah menyetujui karena terpaksa, masih merasa bersalah dengan yang sudah dilakukan anakku, atau memang mendukung terhadap langkahku. Aku tidak mau berspekulasi, lebih baik aku berbaik sangka saja. Istriku adalah orang pertama yang selalu mendukungku untuk terus menghasilkan karya, dengan bukti beberapa minggu ini, waktu lebih banyak aku habisku di depan laptop untuk menulis segala sesuatu.“Terimakasih ya Ma..”, aku memeluk dia kembali.

Travel Jaya Abadi yang biasa menjadi langgananku ketika pergi ke Malang dan Surabaya, langsung dia telepon. Aku bilang ke istriku untuk segera pergi ke Surabaya untuk tukar tambah laptop yang lama dengan yang baru, dari pada hanya sekedar mengganti layarnya saja yang harganya hampir sama dengan membeli yang baru.

“Ya Mbak, atas nama Bisri Ihwan”, dia mengobrol dengan seseorang untuk memesankan kursi di travel. Aku dijadwalkan berangkat ke Surabaya malam rabo, seperti biasa aku akan menunggu di depan MI Miftahul Mubtadiin Pondok Pesantren Minhajut Thullab.

Ketika menjelang waktu maghrib, istriku menyiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan untuk pergi ke Surabaya. Aku menghubungi toko langgananku beli laptop yang ada di Surabaya, juga sahabatku yang biasa menjadi tempat persinggahan ketika aku sedang berada di luar kota dan melewati wilayahnya. Mereka semua sudah menunggu kehadiranku.

“Jaga diri baik-baik ya. Kalau sudah selesai urusannya, langsung pulang”, sembari bersalaman dan berpelukan, istriku sering sekali mengucapkan kata-kata ini pada saat aku hendak keluar kota, termasuk setiap kali pergi ke Malang untuk kuliyah S3. Mobil travel barusan sudah menelepon dan mengabarkan posisinya berada di depan gerbang Pesantren putra. Aku segera bergegas untuk berangkat.

Sampai Surabaya tepat pukul 04.00 pagi. Bacaan qira’at subuh bersahut-sahutan di banyak masjid. “Jadinya turun di mana mas?”, tanya sopir travel yang duduk di sebelahku. Satu mobil sejak istirahat di pemberhentian untuk makan tengah malam tadi, penumpang travel hanya 3 orang saja, padahal kapasitas mobil yang kami tumpangi, biasanya hingga 10 orang. “Krembangan Mas, setelah Kantor DPRD Surabaya”, jawabku kepadanya.

Aku mengirimkan lokasi kepada Pak Udin, sahabatku. Beliau adalah pemilik Yayasan Bina Bangsa 2 di Surabaya. Posisi lokasi berdiri aku kirimkan ketika aku turun dari mobil travel. Dia langsung menjawab  pesan WA yang terkirim. “Wah, seorang Kyai memang jam segini waktunya tahajjud dan membaca wirid”, kata batinku. Saat di depan rumahnya dan mengirimkan pesan lagi, ternyata dia sudah nongol keluar dari rumahnya. Dia terlihat sedikit kaget. “Aku kira kamu masih di depan sana mas”, katanya.

Kami langsung berjalan menuju gedung sekolah Bina Bangsa yang tidak jauh dari rumahnya. “Mau shisya mas?”, beliau tahu kebiasaanku, sehingga syisha menjadi menu pertama yang hendak beliau siapkan. Dengan aku tersenyum, sudah memberikan jawaban atas tawarannya. Sambil menunggu beliau menyiapkan syishanya, aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan menunaikan shalat subuh.

Tidak terasa, kami mengobrol hingga menjelang jam 8 pagi. Beliau mengabarkan akan nada rapat bersama para guru di yayasannya hingga sore hari. Agenda hari ini pada saat sore adalah mengantarkanku untuk membeli laptop macbook yang lokasinya berada di kawasan Rungkut. “Kamu istirahat dulu Mas. Sore kita keluar”, katanya.

Sekitar jam 14.00, saat aku sedang duduk santai mengobrol bersama Azwar yang menjadi salah satu guru di Yayasan Bina Bangsa, Pak Udin tiba-tiba datang. “Kok cepat Pak selesainya?”, tanyaku. “Yang penting urusan beres, ya langsung pulang”, katanya dengan jawaban santai yang selama ini menjadi ciri khas beliau. Sambil menikmati syisha yang sudah diracik oleh Azwar, kami mengobrol hingga selesai adzan asar.

Usai shalat asar, kami bergegas untuk ke toko laptop macbook yang ada di Rungkut. “Hari ini libur tapi malah semakin padat jalan rayanya”, kata Pak Udin sambil membawa motornya. Kami membelah macetnya Surabaya yang bagiku, setiap kota besar pasti mengalami permasalahan macet yang hampir sama saja.

“Bisyri Mas, yang pesan lewat WA tadi”, aku mengucapkan salam kepada pemilik toko dan dia langsung mempersilahkan kami masuk. Sudah ada beberapa laptop yang menjadi display barang dagangan. Satu persatu aku melihatnya sekaligus menanyakan harganya. “Itu 27 juta Mas, yang ini 23 Juta”. Aku menoleh ke Pak Udin dan menunjukkan wajah yang sedikit kaget dengan harga yang ditawarkan dari produk laptop macbook seri yang agak terbaru, padahal laptop-laptop ini adalah second bukan baru.

“Aku mencari macbook seri terakhir yang logo applenya bisa menyala Mas”, melihat harga yang ditawarkan barusan, aku mundur teratur dan berkata dengan pertanyaan ini. “Stoknya tinggal 2 ini Mas”, sambil membawa dua laptop seperti yang aku cari, dia menawarkannya kepadaku. “Yang fullset ini harganya 14 juta 800 ribu, yang tanpa box ini harganya 13juta 880 ribu”.

Sambil melihat-lihat dan mengecek ke dalam isi laptop, aku berusaha bernegosiasi harganya. Laptop yang aku bawa dan layarnya pecah aku tunjukkan kepadanya, dia melihat-lihat dan memperkirakan harga yang akan dia beli. “Berapa Mas harga yang aku bayar untuk tukar tambah laptop ini?”, tanyaku kepadanya. “Nambahnya 10jt Mas, aku beli laptop rusak layar ini maksimal dengan harga 3 juta”, katanya menjawab dengan mantap.

“Aku hanya ada uang cash 9 juta mas, bagaimana?”, negosiasi tetap aku lakukan. Yang namanya pedagang, inginnya tentu mencari untung. Begitu juga namanya pembeli, inginnya mencari diskon. Aku berada di posisi pembeli yang menginginkan diskon, dia di posisi pedagang yang ingin mencari untung. Kami sedang membuat simbiosis mutualisme, bagaimana sama-sama menang.

“Belum bisa Mas kalau 10jt, aku masih rugi. Kalau Mas mau bayar 9jt, hardisnya laptop lama dipindah ke laptop yang baru, kalau seperti itu bisa harga 9jt. Karena laptop lama SSD 128 Gb, laptop baru SSD 256 Gb”. “Bisa dipindah Mas?”, tanyaku. “Bisa dan Masnya tidak usah install ulang lagi, semua data juga masih utuh”. “Oke deal, gitu saja mas”, aku menyetujui permintaannya.

Alhamdulillah aku mendapatkan laptop pengganti setelah layar laptop dipecahkan oleh anakku, Khilni. “Mampir dulu di rumah di Siwalankerto Mas”, Pak Udin memberikan informasi kepadaku sebelum pulang kembali ke Krembangan. Kami berjalan kembali menembus macetnya kota Surabaya. Semakin sore semakin macet. Sampai di Siwalankerto sudah terdengar adzan maghrib.

“Wah…baru dapat Berkah Maulid Mas”, Daniyal yang menjadi adik Pak Udin menyalamiku dan kami berbincang-bincang santai sambil melihat kembali laptop yang baru aku beli. Dia berkomentar seperti itu. “Khilini itu menjadi tawassul, lantaran kamu Mas untuk mendapatkan berkah maulid yang jatuh malam ini”, lanjutnya.

Benar saja. Tepat malam 12 Robi’ul Awwal, dimana hari ini adalah hari spesial yang dulu pernah dilahirkan manusia terbaik sealam semesta yakni Baginda Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘alayhi wasallam. Pada hari ini aku mendapatkan laptop baru. Second sih sebenarnya, tapi rasa baru, baru beli maksudnya.

Alhamdulillah, lewat lantaran Khilni, aku bisa belajar untuk bersabar, aku bisa belajar untuk bersyukur, belajar bagaimana cara ikhlas, kalau semua yang dimiliki hanya titipan Tuhan. Aku belajar mengerti akan arti kasih sayang. Dia masih membutuhkanku untuk lebih sering mengajaknya bermain.

Terimakasih Khilni, Terimakasih istriku, Terimakasih LPDP. Aku juga mengucapkan permintaan maaf buat LPDP, karena uang yang seharusnya aku pergunakan untuk biaya hidup selama 3 bulan ke depan, aku gunakan untuk membeli laptop. Aku berharap dari laptop baru ini akan lahir beberapa karya baru berupa buku dan bisa memberikan manfaat dan inspirasi buat orang yang membacanya. Aaamin Ya Robbal ‘Alamin.

Tinggalkan Balasan