Pada PK LPDP Santri angkatan pertama juga menjadi PK 144 untuk seluruh nomor angkatan PK dari para penerima beasiswa LPDP, di hari kedua PK (Persiapan Keberangkatan) ini, Prof. Dr. KH. Said Aqil Shiradj, MA. sebagai ketua umum PBNU dijadwalkan hadir mengisi acara. Saya bersama teman-teman satu angkatan sudah mendapatkan infonya sewaktu mengadakan acara di kantor PBNU.
Setelah melaksanakan shalat maghrib dan isya’ secara jama’ qoshor di musholla hotel Accacia yang mungil, kami melanjutkan dengan menunaikan hasrat logistic tubuh, menyantap makanan mewah yang disediakan oleh hotel. Malam ini adalah sesi terakhir dari hari kedua PK. Sambil menikmati makanan, saya mengobrol dengan Mas Rizki dan Mas Isep, ngobrol ringan tentang materi hari ini yang disampaikan oleh para pembicara yang luar biasa.
Sedang enak-enaknya menikmati makanan penutup yang berupa salad, buah-buahan dan tidak lupa juga sambil minum kopi. Di samping tempat kami duduk, Mahsus memberitahu saya, bahwa lagu sudah diputar di ruangan aula tempat PK, yang menunjukkan sebagai kode bahwa acara lekas dimulai. “Segera dihabiskan kopinya mas”, ujar Mas Rizki.
Ruang makan hotel menuju ruang aula PK hanya sekitar 50 meter saja, melewati lorong panjang dan toilet yang ada di samping kirinya. Saat saya berjalan menuju aula, saya sempatkan mampir di toilet, sekalian mengambil air wudlu, harapannya ketika materi disampaikan nanti, saya tidak merasakan kantuk. Saat memasuki ruang toilet, rupanya tradisi antri berlaku. Di setiap depan pintu ada satu hingga dua orang yang sedang mengantri. Mau tidak mau, saya juga ikut antri bersama mereka, karena kalau ke atas, menuju kamar hotel, takutnya terlambat.
Selesai mengambil air wudlu dan buang air kecil, saya agak berlari menuju ruang aula. Walaupun music yang menjadi tanda acara sudah berhenti, namun pembicara terakhir malam ini belum tampak hadir. Group yang saya ikuti, kelompok Sultan Agung masih duduk di deretan kursi paling depan sebelah kanan. Jangan sampai ada yang mengantuk, itu harapan saya saat ini, karena kalau duduk di depan seperti ini, sangat kelihatan sekali oleh pembicara.
Hingga saat yang ditunggu tiba. Bu Rumtini, sebagai kepala divisi Rekrutmen dan Seleksi Beasiswa LPDP memasuki ruangan aula PK bersama dengan seseorang. Bukan seperti yang kami inginkan, yang sedianya malam ini adalah KH. Said Aqil Shiradj sebagai ketua umum PBNU. Yang hadir bersama Bu Rumtini belum saya kenal sosoknya.
Keduanya langsung menuju ke atas panggung kebesaran PK Santri dengan tulisan “Cantrika Binaya Nagarajaya” yang sangat besar di depan bawahnya, yang berarti Santri bisa berperan untuk menjadikan negara ini jaya. Bu Rumtini membuka sesi akhir dari acara PK hari ini, setelah terlebih dahulu kami menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars LPDP. Beliau memperkenalkan pembicara yang ada di sampingnya. Nama beliau adalah Prof. Dr. Ir. Mochammar Maksum Mahfoedz, M.Sc., wakil ketua umum PBNU.
Ternyata malam ini Kyai Said sebagai ketua umum PBNU tidak bisa hadir, wakilnya yang maju sebagai pembicara PK. Prof. Maksum menjabat sebagai wakil ketua umum PBNU. Pada saat mengisi PK ini, beliau juga sebagai rektor UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Jakarta. Beliau juga menjadi dosen di fakultas teknologi pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Setelah dirasa perkenalan yang diawali oleh Bu Rumtini cukup, beliau mempersilahkan Prof. Maksum untuk mengisi acara.
Prolog beliau sampaikan. Prof. Maksum bercerita bahwa sebenarnya beliau bukanlah orang pesantren dan belum pernah mondok. Namun, prinsip hidup beliau adalah sami’na wa atho’na, mendengar dan taat terhadap perintah Kyai dan para gurunya. Waktu itu beliau dipanggil oleh Kyai Said untuk diajak mengurus Nahdlatul Ulama’, beliau ditunjuk sebagai wakil ketua umum. Beliau sendiko dawuh, taat terhadap titah Kyai Said.
Pada saat masa kecil dulu, meskipun beliau bukan orang pesantren, pernah bercita-cita menjadi seorang Kyai. Beliau terinspirasi saat melihat sosok Kyai di kampung wilayah Blitar bernama Kyai Yasin Yusuf. Kyai Yasin di Blitar disamping sebagai seorang Kyai pendidik di kampung, juga sering diundang menjadi dai yang menyampaikan nasehat-nasehat di masyarakat. Melihat peran Kyai Yasin, Prof. Maksum kecil ingin sekali seperti Kyai Yasin, “Cita-cita saya itu diwujudkan oleh Kyai Said dengan menunjuk saya menjadi wakil ketua umum PBNU sekarang, berkat barokahnya Khidmah, melayani NU”. Para peserta bertepuk tangan dengan penjelasan Prof. Maksum.
Prof. Maksum mengawali presentasinya dengan menyebutkan bahwa NU adalah ormas yang saat ini menjadi garda terdepan dalam menolak sekolah 5 hari yang sedang diwacanakan oleh Menteri Pendidikan, Bapak Muhajir Efendi. Sabtu dan Minggu akan diliburkan. Kalau sampai wacana sekolah 5 hari goal, maka yang akan menjadi korban pertama kali adalah sekolah-sekolah diniyyah yang ada di puluhan ribu pesantren yang ada di Indonesia.
Sekolah diniyyah di pesantren-pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama’ rata-rata dilaksanakan setelah sholat dhuhur, sekitar jam 1 siang hingga sore hari. Jika sekolah 5 hari jadi dilaksanakan, maka setiap harinya, sekolah formal akan bersekolah mulai pagi sampai sore hari, menjadi full day, lambat laun secara otomatis akan tidak ada sekolah diniyyah lagi. Maka dari itu, untuk melindungi kegiatan pesantren berupa sekolah diniyyah yang sudah ada sejak zaman Belanda ini, NU terdepan dalam menolak kebijakan full day sekolah 5 hari.
Timnya Pak Rafi mulai menunjukkan slide power point yang sudah disediakan oleh Prof. Maksum. Ada dua layar besar yang ada di samping kanan dan kiri panggung. Saya bisa melihat dengan jelas kedua layar itu, yang berisi materi-materi yang disampaikan oleh pembicara di atas panggung. Slide pertama berupa gambar-gambar kerusuhan yang objeknya adalah tempat-tempat ibadah, ada masjid, gereja dan tempat ibadah agama lain.
Prof. Maksum sembari menunjukkan slide itu, beliau memberikan penjelasannya. Dari yang saya fahami, beliau menekankan agar kita semua, khususnya warga NU mengambil peran dengan menyebarkan kedamaian, bukan malah menambah ruwet suasana. Masih banyak ruang kosong di masyarakat yang memerlukan sentuhan dari orang-orang NU. Untuk kasus gereja, penjagaan gereja pada saat hari raya natal oleh rekan-rekan Banser (Barisan Serbaguna) GP Ansor NU, salah satu tujuannya juga untuk mengisi kekosongan ini. Antisipasi keamanan dari gangguan yang tidak diinginkan.
Jas Merah. Seperti kata Bung Karno. Jangan sampai melupakan sejarah. Prof. Maksum melanjutkan presentasinya dengan bercerita awal mula berdirinya Nahdlatul Ulama’ (NU). NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926. Faktor pertama yang menyebabkan NU berdiri adalah paling tidak adanya dua factor, pertama dari dalam negeri sendiri, factor kedua adalah yang bersifat internasional.
Di dalam negeri, pada saat NU berdiri, masih dalam cengkraman penjajahan Belanda. Umat Islam di Nusantara belum sepenuhnya bebas melaksanakan amalan ibadahnya. Belanda datang ke Indonesia bukan hanya untuk urusan menjajah dan mengambil harta kekayaan negara ini saja, ada ungkapan yang sangat terkenal, yakni Gold, Glory dan Gospel. Mereka mengeruk kekayaan, namun pada saat yang sama pula, juga menyebarkan agama yang dibawa oleh para pasukannya yaitu agama Kristen. NU berdiri di saat yang tepat, melindungi umat dari ajaran agama lain ini.
Lalu factor kedua di dalam negeri adalah membentengi umat dari faham-faham radikal yang sedang tren menyebar di dunia Islam, terkenal dengan nama faham wahabi. Faham ini suka sekali menyalahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh umat Islam yang berada di basis NU. Ziyarah kubur, tradisi tahlil, sholawatan bersama, semuanya mereka salahkan dan dianggap telah menyalahi aturan yang dibuat oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. NU menjadi garda terdepan meluruskan pemahaman penganut wahabi yang salah faham ini.
Untuk factor internasional sendiri, NU berdiri berawal dari Komite Hijaz yang dikirimkan ke Saudi Arabia. Raja Abdul Aziz bin Saud menggunakan faham wahabi sebagai ajaran resmi di negara Saudi Arabia. Membuang segala bentuk madzhab Ahlussunnah wal jama’ah yang sudah ribuan tahun berlaku, juga melarang untuk berziarah di makam Rasulullah, termasuk beberapa kebijakan lain yang dianggap bertentangan dengan faham aswaja. Dari Komite Hijaz inilah yang akhirnya melahirkan organisasi Nahdlatul Ulama’.
Beberapa factor di atas tidak bisa dilepaskan dari peran Nahdatul Ulama’ sampai sekarang. NU masih konsisten dengan perannya. Bahkan hingga saat ini, NU menjadi garda terdepan dalam menyangkal segala bentuk faham yang disebarkan oleh wahabi. Hal ini tidak bisa terlepas dari asal mula NU berdiri dulu. Sampai kapanpun NU akan berada di jalur ini.
Nahdlatul Ulama’ mengambil peran di semua bidang. Secara akidah menganut ajaran yang dibawa oleh Syeikh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Syeikh Abu Manshour Al-Maturidi. Secara ilmu fiqih, amalan sehari-hari yang dilakukan oleh umat Islam, NU menggunakan salah satu dari empat madzhab yakni Madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Madzhab Imam Hambali. Untuk ajaran tasawwuf sendiri, NU mengambil dari Imam Junaid Al-Baghdady dan Imam Ghozaly.
Ajaran itulah yang dinamakan oleh NU sebagai ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Sumber yang digunakan adalah dengan mengambil bukan hanya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits saja, tetapi juga menggunakan Ijma’ dan Qiyas. NU senantiasa berpegang pada prinsip “Al-muhafadhotu ‘alal qodimis sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah”, “Menjaga tradisi lama yang baik, serta mengambil tradisi baru yang lebih baik”.
Itulah beberapa pesan yang disampaikan oleh Prof. Maksum yang bisa saya tangkap dan fahami. Intinya, NU selalu mengambil peran di masyarakat. Manjadikan masyarakat tetap berfaham Aswaja. Organisasi yang didirikan oleh Mbah KH. Hasyim Asy’ari ini hingga sekarang tetap konsisten dengan jalannya. Malam ini kami menikmati hidangan ke-NU-an yang diikuti oleh teman-teman PK Santri yang berasal bukan hanya dari organisasi NU saja, tetapi lintas ormas yang ada di Indonesia. Saya NU, mereka harapannya juga mengenal NU juga.
Sebagaimana kemarin malam, acara malam ini juga selesai hingga jam 10 malam. Usai acara, kami semua tidak bisa langsung istirahat di kamar hotel masing-masing. Masing-masing kelompok harus membuat daily report, laporan harian dan harus dikumpulkan di timnya Mas Gilang dan Mbak Ana hingga batas waktu jam 3 dinihari. Kelompok yang tidak mengumpulkan daily report bisa kena diskualifikasi dan mengulang PK tahun depan.
Saya bersama kelompok Sultan Agung, sama dengan semalam mengerjakan PR ini sambil duduk di lorong hotel yang memanjang. Untung saja ada karpet sangat tebal layaknya karpet masjid istiqlal dan hangat sekali. Sambil tiduran, teman-teman mulai mengetik laporannya satu persatu. Saat sedang khusyuk berdiskusi dan mengetik, Pak Rafi keluar dari lift dan hendak ke kamar beliau.
“Kok mengerjakan di lorong hotel?”, tanya beliau. “Katanya tidak boleh kholwat, menyendiri cewek cowok Pak?!”, jawab Bintan yang dari kemarin akrab dengan Pak Rafi karena sama-sama satu daerah di Kediri. “Tidak apa-apa mengerjakan di kamar hotel, tapi syaratnya pintu kamarnya tidak boleh ditutup, tetap dibuka”, lanjut Pak Rafi. “Gitu ya Pak. Terimakasih Pak Rafi”, jawab kami serentak. Akhirnya, kami semua gembira, bisa mengerjakan sambil tiduran di kamar hotel namun dengan syarat seperti yang sudah disebutkan Pak Rafi.
Hingga jam 2 dinihari, tugas baru kami selesaikan. Saya mengerjakan tugas bersama Mahsus dan Khoiro dari Aceh. Mata sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Capek badan juga capek otak. Kami memutuskan untuk beristirahat. Terimakasih buat LPDP, nantinya acara PK ini pasti akan terkenang seumur hidup, kenangan yang luar biasa dan tidak akan terulang kembali. Terimakasih LPDP, terimakasih Indonesia.