Merantau. Sudah menjadi suatu tradisi masyarakat minangkabau sejak dahulu kala. Seperti pepatah minangkabau berikut ini:” Karatau madang dihulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dikampuang paguno balun.” Pepatah ini umumnya ditujukan kepada anak laki-laki. Namun beberapa dekade terakhir banyak juga perempuan minangkabau yang juga ikut merantau. Pepatah ini menegaskan bahwa anak laki-laki yang masih bujangan atau belum menikah tidak mempunyai peranan atau posisi dalam adat. Keputusan dalam keluarga pun tidak bisa diputuskan oleh anak tersebut. Hal ini dikarenakan anak dianggap belum memiliki pengalaman. Oleh sebab itu, si anak harus mencari pengalaman dengan cara pergi merantau. Dengan suatu harapan mereka akan kembali dengan segudang pengalaman untuk memajukan kampung halaman.
Namun, yang banyak terjadi adalah banyak mereka yang pergi merantau tidak lagi pulang ke kampung halaman, yang diistilahkan untuk mereka ini adalah “merantau cino.” Mereka ini beranak pinak di rantau hingga ajal menjemput. Mereka ini kalau ada pun pulang paling hanya sesekali untuk membezuk orangtua, jika orangtua sudah tidak ada lagi, atau saudara kandung sudah tidak ada lagi dikampung halaman, maka mereka ini tidak akan pernah pulang lagi.
Nah, yang menjadi pertanyaan; “apakah mereka ini akan tetap menjadi orang minang di rantau orang tersebut? mempertahankan segala budaya dan adat istiadat minangkabau di tempat mereka merantau?” Jawabannya adalah tergantung bumi yang mereka pijak atau tinggali. Jika mereka tinggal diperantauan dikelilingi sesama orang minang maka budaya minang akan terus mereka lestarikan. Mereka akan membentuk perkumpulan-perkumpulan orang minang. Namun, jika mereka tinggal di sekeliling orang bukan minang, maka mereka akan membaur sebagaimana budaya setempat. Seperti pepatah minang “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”
Nah, lalu bagaimana dengan anak-anak mereka, yang masa kecilnya tidak hidup di lingkungan budaya minangkabau? Nah, bagi orangtua yang rajin memperkenalkan budaya minangkabau kepada anak-anaknya dan menerapkannya pada kehidupan maka mereka akan tetap menerapkan budaya minangkabau dalam kehidupan, namun bagi orangtua yang tidak memperkenalkan budaya minangkabau atau terikut budaya setempat maka mereka terputuslah budaya minangkabau kepada mereka ini. Inilah kenapa, ketika suatu ketika dibawa pulang kampung untuk mengenal tanah leluhur mereka, maka mereka akan memanggil ” Pak de” kepada orang tua di kampung. Yang seharusnya mereka memanggilnya “Mak Dang” atau “Pak tuo”.
Oleh karena itu bagi perantau minang, hendaknya terus memperkenalkan budaya dan adat istiada minang kepada keturunannya. Walaupun istri atau suami bukan orang minang sekalipun, tidak ada salah nya juga memperkenalkan adat istiadat minang kepada mereka. Karena suatu mereka jika dewasa mereka akan mencari jati diri mereka. Ketika mereka akan tahu latar belakang mereka, kita berharap muncul kebanggaan terhadap budaya leluhur mereka. Lebih dari itu tentu saja agar budaya dan adat istiadat minang terus lestari sampai kapanpun!