MENJADI PENGANTAR UNDANGAN (1)
Oleh: Nanang M. Safa’
Mengantar undangan sepertinya suatu pekerjaan mudah yang bisa dilakukan oleh siapapun. Tinggal berangkat menuju alamat yang tertulis di surat undangan, beres. Sayapun awalnya punya anggapan seperti itu. Hingga pada hari itu ….
Saya mendapatkan tugas untuk mengantarkan undangan ke beberapa alamat. Saya hitung ada 15 amplop berwarna coklat yang harus saya antar hari itu. Tidak banyak, hanya 15. Dengan penuh percaya diri, saya berangkat diboncengkan teman saya. Saya pikir tidak sampai dua jam, tugas tersebut akan bisa saya bereskan. Toch alamat yang tertulis di surat undangan itu hanya di satu desa saja. Ya, hanya satu desa. Bayangan saya, akan sangat mudah mencarinya. Kalaupun belum tahu sama sekali, saya bisa bertanya kepada orang-orang yang saya temui di sepanjang perjalanan saya, dan saya yakin mereka juga akan menunjukkannya. Bukankah pola kehidupan di desa tidak seperti pola kehidupan di kota yang konon dengan tetangga samping rumahpun tidak saling kenal. Jadi, apa sulitnya?
Pertama kali yang kami tuju adalah alamat RT 02, bukan RT 01. Pertimbangannya, RT 02 ada di jalur kiri, jadi kami tidak harus menyeberang jalan yang pada jam-jam sibuk cukup ramai. Maklum saja, jalan di wilayah Desa Tasikmadu adalah jalur utama menuju ke arah wisata pantai Prigi yang cukup ramai pengunjung di akhir pekan.
Sesampainya di perbatasan Desa Prigi dan Desa Tasikmadu (kawasan edar undangan), saya ajak teman yang memboncengkan saya berhenti. Lalu saya bergegas turun dari boncengan sepeda motor maticnya. Kebetulan ada seorang bapak paruh baya sedang membersihkan rumput di halaman samping rumahnya. Saya langsung menanyakan alamat rumah yang tertulis di sampul undangan berwarna coklat di genggaman saya. Dan memang sesuai harapan, bapak itu langsung menunjukkan arah rumah yang tertulis di undangan. Biarpun tidak tepat betul, setidaknya hanya meleset satu rumah saja. Lancar ….
Sekembalinya dari rumah yang saya tuju, saya kembali menemui bapak tadi. Saya tunjukkan amplop yang lain. Di amplop itu tertulis sebuah nama beralamat di RT 01. Bapak itu menunjukkan arah sekitar 300 meter menyeberang jalan ke sisi kanan. Setelah mengucapkan “matur nuwun”, saya bergegas kembali ke boncengan motor teman saya.
Sesampainya di tempat yang kami tuju, saya segera turun dari boncengan karena saya lihat bapak si pemilik rumah hendak keluar rumah. Buru-buru saya menemuinya. Sekali lagi dengan penuh percaya diri, saya menyerahkan amplop coklat di tangan saya. Bapak itu menerimanya dengan ragu.
“Benar ini nama Bapak, kan?” tanya saya meyakinkan.
“Benar nama saya yang depan, tapi yang belakang bukan nama saya”
“Ooo …” hanya itu komentar saya.
“Bapak tahu alamat ini?”
“Kalau melihat alamatnya sich di sekitar sini. Coba di rumah sebelah. Namanya juga sama dengan nama saya”. Bapak itu menunjuk rumah bercat coklat muda yang terhalang dua rumah dari rumahnya.
“Terima kasih, Pak” ucapku lantas bergegas menuju rumah yang ditunjukkannya. Saya tinggal teman saya yang masih setia menunggu di motor maticnya.
Aku lihat sekilas teman saya dengan ekpresi mulai ragu. Saya melambaikan tangan sebagai isyarat jawaban “bukan”.
Sesampainya di rumah bercat coklat muda, saya ucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum!” Kebetulan pintu rumah itu terbuka dan saya lihat dari pintu itu, ada seorang lelaki sedang bersantai di kursi panjang ruang keluarga. Jaraknya sekitar 10 meter dari tempat saya berdiri. Penyinaran di ruangan itu memang tidak terlalu terang, namun mata saya masih cukup tajam mengenali lelaki itu.
Saya tunggu beberapa detik tak ada suara.
“Assalamu ‘alaikum!” Saya ulangi salam saya lebih keras. Saya tunggu beberapa detik, tetap tidak ada jawaban. Mungkin suara saya kalah keras dengan suara lagu dangdut koplo di ruangan itu.
“Assalamu ‘alaikum!”
Saya ucapkan salam untuk ketiga kalinya. Masih juga tidak ada jawaban. Namun saya lihat lelaki itu menoleh ke tempat saya berdiri, lalu berjalan menuju ke arah saya. Biarlah salam saya tidak dijawab, yang penting tujuan saya tercapai. Demikian pikir saya.
Ternyata laki-laki itu bertubuh gempal. Dia menemui saya dengan hanya memakai sarung dan bertelanjang dada. Di dada bagian kanan dan lengannya ada tato, entah gambar apa. Saya tidak mencermatinya, khawatir jika saya memandangnya lama-lama, bisa membuat lelaki itu tersinggung dan urusannya jadi panjang. Saya banyak belajar tentang macam-macam karakter manusia. Ada memang tipe orang yang bisa tersinggung cuma gara-gara dipandang di bagian tertentu dari tubuhnya. Dan mungkin saja lelaki ini termasuk tipe orang seperti itu. Prinsipnya, undangan bisa segera tersampaikan, itu sudah cukup.
Sesampainya lelaki itu di depan saya, langsung saya tunjukkan amplop berwarna coklat. Dengan ekspresi dingin lelaki itu meliriknya, ya hanya meliriknya, lalu berucap, “Bukan!” Lalu tanpa menunggu lama dia langsung meninggalkan saya.
Anda pasti bisa membayangkan apa yang saya rasakan saat itu. Dalam kebingungan saya, saya kembali menemui teman saya yang memandangi saya dari motor maticnya. Kembali saya melambaikan tangan sebagai isyarat “bukan”.
Setelah berada di boncengannya kembali, saya sampaikan secara singkat apa yang saya alami barusan. Teman saya hanya mengucap, “Sudah saya duga,”
“Lo, apanya yang sampean duga?”
“La itu lo, …” teman saya berbisik di telinga saya.
“Hah! kok sampean tadi ndak ngasih tahu,”
“Bagaimana ngasih tahu. La sampean langsung jalan ke sana gitu kok…”
“Iya, ya …” kalah argumen saya menyerah.
“Ya sudahlah, yang ini sudah mentok. Mending sekarang kita antar yang lain saja, daripada kehabisan waktu untuk satu undangan. Kita tinggal dulu yang ini. Nanti kalau masih ada waktu, kita cari lagi” ajakku.
Akhirnya kami menuju ke wilayah RT 06. Saya pikir di RT 06 ini tidak akan terlalu sulit untuk menemukannya. Itung-itung untuk menebus kesulitan pertama tadi. Rasa optimis saya dilandasi bahwa teman yang memboncengkan saya itu juga bermukim di wilayah RT 06.
Saya nurut saja diajak masuk ke gang yang menjadi batas RT 05 dan 06. Namun ternyata dugaan saya meleset. Rasa optimis saya tadi lagi-lagi harus tergadai. Teman saya yang juga warga RT 06-pun seperti orang linglung ketika harus mencari beberapa nama yang tertulis di amplop berwarna coklat itu.
“La wilayah Tasikmadu ini luas lo. Banyak gang-gang masuk yang membingungkan,” begitu alasannya.
“La kalau sampean saja yang orang sini bingung apalagi saya …” begitu tanggapan saya.
“Sudah, pokoknya saya ngikut sampean. Intinya tiga alamat ini harus ketemu”. Penegasan saya.
Akhirnya saya diajak berhenti di jalan dekat sebuah masjid. Kebetulan di situ ada 4 pemuda sedang membuat atap galvalum. Saya langsung turun dan mendekati salah satu dari mereka yang sedang duduk di teras masjid. Saya tunjukkan tiga amplop sekaligus. Harapan saya minimal ada salah satu alamat yang dia ketahui.
Bingung juga si pemuda ini. Tapi dia membantu saya dengan menanyakannya kepada temannya. Beberapa menit kemudian, si pemuda ini kembali ke tempat saya dan menunjukkan arah (perkiraan) nama dan alamat seperti yang tertulis di amplop. Biarpun dia sendiri belum yakin setidaknya kami harus mencarinya ke arah yang ditunjukkan.
“Terima kasih, Mas,” basa-basi saya.
Kami langsung menuju puthuk yang ditunjukkan pemuda tadi, belok kiri lalu berhenti. Kebetulan ada seorang wanita setengah tua sedang belanja di ethek. Saya bertanya padanya, dan alhamdulillah… dia menunjukkan rumah baru setengah jadi. Saya bergegas menuju rumah itu. Dan … benar. Plong rasanya. Satu amplop lagi sudah sampai kepada tuannya. Dua amplop yang lain dengan alamat RT 06 belum tersampaikan.
Teman saya mengajak saya menemui koleganya yang pernah satu komunitas ketika menjadi Panitia Pemungutan Suara (PPS) pilpres tempo hari. Katanya, dialah yang bertugas mengantarkan undangan pemilih. Jadi hampir bisa dipastikan dia banyak tahu nama-nama warga RT 06.
“Lah, kok ndak sejak tadi ta sampean bilang,” begitu seloroh saya.
“La ketemunya ide baru sekarang kok” dia menjawab enteng.
Dan benar saja, dua amplop sekaligus langsung ketemu, dan baiknya lagi dia bersedia membantu mengantarkan 2 amplop coklat itu.
Kami melanjutkan misi.
Kali ini saya siapkan dua amplop coklat yang tertulis alamat RT 07. Saya pikir RT 07 ini bersebelahan dengan RT 06, eh, ternyata tidak. RT 07 bernama dusun Kampung Baru. Sesuai namanya, dusun ini dihuni oleh para pendatang dari berbagai daerah. Sebagian besar awalnya mereka adalah para nelayan pendatang hingga akhirnya mereka menetap di wilayah desa Tasikmadu dan dusunnya disebut “Kampung Baru”.
Catatan:
Matur nuwun = terima kasih
Sampean = kamu
Puthuk = tanah posisi agak tinggi dari sekitarnya
Ethek = pedagang sayur keliling
#kmab#01