Pemimpin itu Panutan

istockphoto-1095046980-1024x1024

Sumber Foto: istockphoto-1095046980-1024×1024

Pemimpin itu Panutan

“Besok lagi kalau butuh apa-apa langsung bilang ke saya saja. Yang penting ada bonnya. Tidak perlu Pak Santoso yang bilang di group. Dia kan setingkat Manager.” Suara bu Ike sedikit meninggi ke mba Sita.

Mba Sita menjawab, “Kita kan sudah laporan ibu kalau ATK sudah habis. Ibu tidak segera kasih kita uang. Saya tidak punya uang Bu untuk beli.”

Bu Ike terus menggerutu tidak mau disalahkan. Melihat hal itu bu Ana yang duduk di depan bu Ike merasa sedikit risih dan segera menjelaskan. “Bu Ika, mba Sita dan staff lain diminta untuk ngeprint surat oleh Pak Santoso namun karena tidak ada tinta, mereka bilang belum beli tinta. Begitu Bu Ike. Saya rasa Pak Santoso berinisiatif sendiri mengirim pesan di group whatsapp karena bu Ike kan pemegang anggaran.”

Bu Ike masih tidak mau mendengarkan penjelasan bu Ana dan diam sambil terus cemberut. Bu Ana segera meninggalkan ruangan pindah ke ruangan staf.  Dia tidak ingin memperkeruh suasana.  Bu Ana membuat teh manis hangat untuk menciptakan mood untuk bekerja. Beberapa pertanyaan seputar kantor di whatsapp dia segera jawab. Bekerja melalui gawai sangat mudah. Rekam jejak bekerja dapat terlihat dari kordinasi via whatsapp.

Pak Santoso masuk ke ruang staff dan bertanya, “Bu Ana kok duduk disini? Apakah ada masalah dengan bu Ike?’ Ekspresi wajah Pak Santoso yang lucu membuat bu Ana tertawa. “Ada gencatan senjata Pak di ruangan kita.” Jelas bu Ana sambil sedikit nyengir.

Pak Santoso berusia lebih muda dari bu Ana. Jabatan Pak Santoso satu tingkat diatas bu Ana dan bu Ike. Hubungan mereka baik-baik saja karena saling meledek dalam keseharian sudahlah biasa. Kali ini sedikit berbeda, jika berkenaan dengan uang bu Ike orang yang paling sensitif. Padahal sebagai bendahara dia cukup melaporkan saja kepada bapak bos besar segala pengeluaran yang masih terkait dengan keperluan kantor.

Satu hari itu ruangan staff personel bidang pendidikan sunyi, tidak ada canda tawa seperti biasanya. Pak Santoso tidak bisa dengan suasana yang terasa kaku. Seperti biasanya dia on-kan tabnya dan tidak berapa lama lagu-lagu lama yang dinyanyikan oleh para penyanyi muda dengan musik kentrung memecah keheningan. Lagu “Cintaku tak terbatas waktu dan Apa kabar mantan,” sering diputar oleh Pak Santoso. Karena sering mendengarkan lagu-lagu itu bu Ana jadi tertarik untuk menghafalkan.

Kedua lagu selesai diperdengarkan dilanjutkan dengan lagu-lagu gembira lainnya, namun karena suasana gencatan senjata masih berlangsung, tidak ada obrolan atau perbincangan diantara individu-individu di ruangan yang tidak terlalu besar namun bersih itu. Personel di ruangan masih tenggelam dengan pikiran masing-masing.

Mereka berusaha mengerjakan tugas pokok sehari-hari. Bu Sita mulai mengetik surat, bu Ana membaca surat-surat resmi yang dikirim dari kantor lain dan bu Ike dengan wajah cemberut menyusun berapa file di atas mejanya. Sementara pak Santoso meninggalkan ruangan berkordinasi dengan bagian lain.

Waktu berlalu terasa lama sekali. Suara adzan dzuhur berkumandang. Penghuni ruangan bangkit dari duduk bersiap-siap untuk mengambil wudlu dan sholat berjamaah. Hanya bu Ike yang kebetulan non muslim yang tinggal di ruangan. Bu Ana juga mengambil wudhlu namun bu Ana memilih sholat di bilik di ruangan sendiri karena kaki Bu Ana yang kadang-kadang terasa sakit tidak nyaman jika berjamaah. Bu Ana tidak bisa mengikuti gerakan sholat personel lainnya.

Pukul 13.00 para staf dan pak Santoso sudah kembali ke ruangan dan mulai makan siang. Bu Sita yang hobi memasak mulai mengeluarkan makanan rumahan yang dia bawa pagi hari.  Dia hangatkan di pantri sambil membuat dadar telor. Kebersamaan untuk menikmati makan siang mencairkan suasana kaku dan kurang nyaman. Hanya ibu ike yang tidak beranjak dari tempat duduknya. Dia masih asik duduk di depan komputernya.

Bu Ike, makan Bu!“ Bu Ana mengajak makan bu Ike tapi tidak ada sahutan. Sekali lagi bu Ana mengulangi ajakan untuk makan namun tiada ada respon. Akhirnya bu Ana tidak lagi menawari makan bu Ike namun bergabung dengan staf lain menyantap makan siang sayur asem, ikan goreng dan dadar telor. Alangkah indahnya kebersamaan itu.  Namun di dalam hati bu Ana bertanya-tanya apakah bu Ike masih marah kepadanya dan staf.

Karena rasa penasarannya kenapa tidak ada sahutan dari bu Ike, bu Ana bertanya kepada bu Sita kenapa bu Ike diam saja ketika dia ajak makan. Bu Sita menjelaskan kalau sedang marah bu Ike memasang penyumbat telinga (Earplug ) agar tidak mendengar pembicaraan orang lain.

Hari berlalu cepat setelah pukul 14.30. Bu Ana dan staf lain merapikan meja dan tas yang akan dibawa pulang. Bu Ike beranjak dari tempat duduknya menuju meja tempat menaruh makanan dan membawa 3 pack makanan untuk dibawa pulang karena ada dua staf lain yang sedang dinas luar.

Para staf lain hanya diam melihat bu Ike membawa makanan dan kembali ke ruangannya. Tidak ada pembicaraan lagi. Bu Ike permisi pulang ke pak Santoso dan bu Ana. “Pulang dulu ya Pak San dan Bu An.” Ucap bu Ike dengan suara sedikit melunak sambil meninggalkan ruangan. Bu Ana dan Pak Santoso mengangguk tanpa berucap melihat bu Ike pergi.

Pak Santoso dan bu Ana saling berpandangan dan tersenyum namun tidak berbicara. Mereka berdua tidak mau membahas kejadian di pagi hari.

“ Saya juga mendahului ya pak Santoso dan bapak ibu semua. Takut ketinggalan bus.” Begitu pamit bu Ana sambil membawa bagpack hitam berisi laptop kesayangannya keluar ruangan.

Sepanjang jalan bu Ana masih mengingat kejadian yang sebenarnya tidak perlu diributkan, hanya perlu penjelasan dan sikap saling memahami.  Menjadi pemimpin memang tidak mudah terlebih menjadi pemimpin yang menjadi panutan anak buahnya. Bersikap bijaksana dan mau mendengarkan orang lain adalah kunci seorang pemimpin.

Selamat membaca, tunggu kisah-kisah lainnya.

 

Jakarta, 1 Maret 2024.

Nani, pecinta literasi.

 

Tinggalkan Balasan