Ujian Lima Tahun Perkawinan (6)

KMAA#18

Setelah Mas Aro menceritakan semuanya padaku, aku merasa sedikit lega, meski rasa marah dan kecewa belum hilang. Bahkan semenjak dia tak bekerja lagi aku muak melihat mukanya. Beberapa hari tidur kami berpisah kamar. Aku lebih senang tidur dengan Alif anakku, dia di kamar yang lain. Sebenarnya aku merasa kasihan juga melihatnya. Sehari-hari dia diam di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci, menyetrika dan mengepel lantai. Dia jarang keluar rumah, tidak punya pekerjaan, terlilit hutang, dan sekarang dibenci istrinya.

“Mas cobalah untuk mencari kerja. Kerja apa saja yang penting halal”, kataku sore itu membuka percakapan dengan Mas Aro.

“Iya, Dik. Besok aku akan cari kerja “, jawabnya pendek.

“Kalau Mas hanya diam di rumah, mana ada pekerjaan menghampiri kita. Carilah rezeki yang halal, kehidupan yang normal, jauhkan dari yang mistis. Kalau kita mau berusaha, Allah akan memberi kemudahan kalau kita memohon kepadaNya”, kataku lembut. Aku tidak ingin suamiku tersinggung karena aku menasihatinya.

“Iya, Dik. Terima kasih sudah mengingatkan.”

Aku tidak mau suamiku hanya di rumah saja. Tentu kewajiban suami adalah menafkahi keluarga. Aku risi saat bapak dan ibu menanyakan kenapa Mas Aro sekarang kelihatan kurus dan sering melamun, seperti tidak punya gairah hidup.

“Mas jangan terlalu memikirkan uang yang sudah hilang. Yang sudah hilang, biarlah hilang tidak usah disesali. Biarlah mereka menipu kita. Kalau Mas terus mengejar, waktu Mas akan habis, hilang percuma.  Mereka seperti jaringan yang saling menyalahkan, tidak mau bertanggung jawab, dan berbelit. Kita tidak bisa menuntut mereka karena kita tidak punya bukti hitam di atas putih. Lagipula orang yang sudah mendapatkan uangnya pasti sudah kabur. Yang terpenting ini menjadi pelajaran bagi kita, jangan mudah percaya sama orang yang tidak kita kenal. “

Sebentar lagi anak kita akan lahir. Aku tidak ingin ayahnya bersedih terus dan terpuruk. Semenjak Mas Aro tidak bekerja, tetangga, teman dan saudara menjauhinya. Tetangga sebelah yang biasanya menyapa, kini enggan menyapa. Mungkin mereka mendengar bahwa Mas Aro sering didatangi orang untuk menagih hutang. Ini menjadikan Mas Aro sering mengurung di kamar dan meminta aku menemui mereka yang datang mencarinya. Aku yang menjelaskan pada mereka bahwa suamiku tidak bekerja, tapi mereka tetap ngotot uang yang dipinjam harus dikembalikan, dan mereka tidak mau tahu. Meski suamiku tidak bekerja, aku harus membayarnya, karena aku istrinya bekerja. Maka aku minta tempo pembayaran dan akan kucicil. Kadang aku juga berbohong kalau suamiku tidak ada di rumah, ketika aku enggan menemui mereka. Astagfirullah..ampuni kami ya, Allah.

Ternyata tidak saja uang perusahaan yang dipakai suamiku, tapi dia juga pinjam beberapa rentenir. Tentu saja pengembaliannya berlipat karena berbunga dan beranak pinak. Barang-barang berharga di rumah sudah tidak ada. Sudah aku jual. Jangankan televisi atau kulkas yang sudah disita, karena aku tidak bisa membayar, kalung emas milikku dan cincin pernikahan kami pun sudah berpindah tangan. Apalagi motor satu-satunya alat transpot kami pun sudah kami jual. Terpaksa aku harus naik angkot bila ke sekolah dan ke rumah ibu saat menitipkan Alif.

Ya, harus bagaimana lagi, semua harus kuikhlaskan. Aku hanya bisa menangis dan berharap kami bisa melewati ujian ini. Karena bagaimanapun Mas Aro adalah suamiku. Suami pilihanku. Pernah aku berpikir di usia lima tahun pernikahan kami, mengapa begitu berat ujian yang kurasakan. Mas Aro tidak bekerja, terlilit hutang yang banyak, kadang-kadang kami hanya makan sehari satu atau dua kali. Bila kulihat dan kudengar teman-teman kuliah dulu yang kini hidupnya sukses, pekerjaannya mapan, aku menangis dan mengeluhkan nasibku yang tidak sama dengan mereka. Ya, Allah…kuatkan hamba dengan semua ujianMu ini. Hamba yakin Engkau tidak akan menguji hamba di luar batas kemampuan hambaMu. Engkau Maha Pengasih dan Penyayang.

bersambung …

Tinggalkan Balasan