Antologi Buku Aku dan Corona : Roda Kehidupan

Oleh: Sekar Ayu Wardhani dan Khaesya Amru Nafisanadi (pelajar SMP Semarang)

 

Pernahkah kau memikirkan tentang kekayaan?

Status sosial?

Usia?

Karena semua itu sekarang tidak berlaku. Dunia ini telah memasuki fase yang baru. Fase dimana semua orang dipaksa untuk tunduk kepada keadaan, mereka dipaksa untuk melepas status sosial dan kekayaan mereka. Parahnya lagi, ketika mereka harus merelakan nyawanya, karena adanya terror dari sebuah makhluk hidup berjenis virus yang bernama corona.

Ya, corona adalah makhluk hidup. Keberadaan mereka di dunia ini, adalah suatu hal yang sudah ditakdirkan. Banyaknya nyawa yang melayang karenanya juga sudah diatur oleh takdir. Kita memang tidak bisa melawan takdir, tapi apakah kalian pernah berfikir untuk mengubah takdir?

Untuk dirimu yang membaca cerita ini, aku ucapkan selamat. Selamat karena telah berhasil melewati masa masa sulit dan masih bertahan hingga sekarang! Namun kukatakan satu hal, perjuangan itu masih belum selesai. Masih ada berbagai cobaan yang harus kalian lewati kedepannya nanti. Jangan terjebak dalam jebakan corona yang mengintai. Karena sekali kau terjebak, kau akan sulit keluar, dan apa yang terjadi denganmu? Entahlah… mati mungkin? Tapi aku tidak mengatakan bahwa mustahil untuk keluar bukan? Aku hanya mengatakan sulit, dan jika kita mau berusaha, semua kesulitan itu bisa teratasi.

Roda kehidupan terus berputar. Bahkan jika kita menunggunya berhenti, mungkin kita sudah ditelan kematian terlebih dahulu.

Karena itu, jangan sia siakan kesempatan hidupmu, karena hidup itu hanya sekali. Yah, kau mungkin akan mengalami reinkarnasi, tapi ada hal yang harus kau ingat. Reinkarnasi, berarti kita terlahir kembali, menjadi orang yang baru. Kita melupakan semua ingatan kita di kehidupan sebelumnya, dan memulai kehidupan yang baru di lingkungan yang baru pula. Jika tidak ada corona, kau mungkin lupa seberapa berharganya nyawamu. Baik bagimu, maupun bagi orang orang di sekitarmu.

Anjing hitam menggonggong, mencari generasinya selama masa pandemi. Banyak anak depresi karena pemahaman miliknya yang tidak mencukupi. Keinginan melalaikan tugas sekolah menghantui setiap harinya. Bahkan pertemuan rutin yang diadakan secara online melalui Google Meet pun kerap ditinggalkan dengan berbagai alasan yang logis.

Aku merenggangkan otot ototku yang pegal karena terlalu lama menggenggam HandPhone dengan posisi yang sama. Telingaku menangkap kata umpatan yang bersahutan sana sini ketika guru mapel meminggalkan meet. Aku menyinggungkan senyum kecil ketika mereka mengungkapkan ketidakpahamannya mengenai pelajaran yang baru saja dibahas. Maksudku, jika saja mereka mau berfikir, mereka pasti mengungkapkannya sejak awal bukan? Sehingga mereka bisa mendapat penjelasan yang lebih jelas.

Ketukan pintu yang berasal dari luar kamar berhasil menyita atensiku. Aku mendapati Ibuku berdiri di depan kamar ketika membukanya, mengingatkan untuk mengerjakan tugas. Aku mengangguk singkat dan kembali menutup pintu. Kasur menjadi tujuan utama untuk merebahkan tubuhku. Dua pertanyaan terbesar saat ini mampir di pikiranku sejenak, menyita atensiku saat itu juga.

“Mengapa murid sangat malas mengerjakan tugas?”
“Mengapa guru dengan mudahnya memberi tugas?”

Aku mendengus pelan, memikirkan keadaan kedua belah pihak. Disana, para guru bingung bagaimana cara memberikan yang terbaik untuk para muridnya, bingung bagaimana cara agar muridnya terepas dari belenggu kemalasan. Sementara disini, para murid bingung bagaimana cara membalas kebaikan dari guru, yang diwujudkan dengan cara mengerjakan tugas.

Beberapa berpendapat, “materi saja tidak paham, bagaimana cara mengerjakan tugas?”
Ada juga yang berpendapat, “mengapa oranglain tidak ingin berusaha memahami materi, bahkan ketika mereka sebenarnya memikili kemampuan untuk memahaminya?”

Kedua pendapat itu tidaklah salah, namun ada satu hal yang harus diingat. Kemampuan orang itu berbeda beda, kita tidak bisa membuatnya sama dalam sekejap mata.

Daripada memikirkan itu, lebih baik kita sudahi konflik tanpa dasar ini. Pandemi seharusnya menjadi hal yang tak pernah dilupakan, sekaligus titik tolak perubahan bangsa. Entah itu positif atau negatif. setiap orang wajib mengambil berbagai arti yang berbeda dari pandemi ini. Segala hal akan menjadi baik jika kita memikirkannya dari sisi yang positif.

Bagi beberapa orang, pandemi ini mengajarkan banyak hal. Ada yang memanfaatkannya untuk mengembangkan bakat, menyukseskan karir, namun ada pula yang menganggap pandemi ini adalah bencana yang tiada akhirnya. Sederet pendapat sudah kutuliskan di atas. Lalu, apa yang kulakukan? Entahlah, akupun tak tahu. Orang lain yang bisa menilai. Daripada memikirkan diriku, bagaimana dengan dirimu? Apa pendapatmu mengenai pandemi ini, dan apa yang kau lakukan selama pandemi?

Buanglah ego yang tak berguna dari konflik tak berarti. Kita, generasi muda seharusnya menerangi masa lalu yang suram ini, agar masa depan bisa bercahaya. Layaknya malam, yang berubah menjadi pagi. Meskipun masa depan masih terlihat fana, setidaknya kita sudah berusaha. Seperti kata pepatah, hasil tidak akan menghianati usaha.

Tinggalkan Balasan