Pandemi di Mataku – sebuah catatan Corona bagi pelajar

Terbaru31 Dilihat

Oleh: Lathifa Drupadi

 

Hari terus berlalu. Detak dan detik terus berpacu. Berpacu dalam kejamnya pandemi yang tak kunjung usai. Manusia angkatan pandemi sama-sama meraih kenangan pahit. Kita yang lahir dan diberi waktu untuk hidup hingga pandemi ini selesai, adalah seorang pejuang sejati. Yang nantinya kisah kehidupan kita akan didengar oleh anak cucu sebelum tidur. Memandang hamparan bumi yang sempat tersakiti.

Wabah virus Corona memunculkan wabah virus lain. Tak terkecuali wabah rindu. Kehilangan orang tersayang bukanlah hal yang mudah diterima. Kala situasi masih darurat, kita terperanjat bila orang yang biasanya ada di sebelah kita, kita ajak makan bersama, menonton film bersama, pergi begitu saja ke liang lahat. Virus Corona bukan virus yang bisa dilihat menggunakan mata telanjang. Kehadirannya yang tanpa wujud di tengah lalainya manusia tentu sangat mengejutkan.

Tak disangka pandemi membuat kita melihat dunia tidak hanya dari satu kacamata. Kita mulai dilatih untuk menggunakan waktu sebaik mungkin. Menjadikan pandemi sebagai bahan untuk terus berkreasi selaku generasi. Jeritan-jeritan pelajar yang berkali-kali terdengar dan terlontar menghiasi tahun 2020. Ruang kelas yang menjadi ruang rindu hanyalah sekadar bank memori. Bercakap dengan teman tak lagi melalui mulut sebab mulut menjadi mematikan. Bertanya seorang anak pada ibunya. Menarik pakaian yang dikenakannya sambil menunjuk gedung sekolah impiannya. “Bu, besok adek berangkat sekolah, kan?” tanyanya berwajah polos, tak tau bila nyawanya dibantai oleh Corona.

Tersurat segala isi hati tentang Corona dalam berbagai bentuk. Orang-orang tidak hanya akan diam di rumah tanpa membuat sesuatu untuk mengisi kantuk. Beratus-ratus elegi baru pengisi Perpustakaan Nasional muncul. Mengapa? Sebab bila manusia tak lagi bisa menyeru melalui suara, mereka akan menyeru melalui tulisan. Di balik abjad-abjad yang mereka pilih ada sebuah luka perih yang menjadi motivasi mengapa ia menulis di waktu sedih.

Mencetus nama Corona bukan lagi hal yang asing. Tak disangka dalam sehari kita bisa mendengar kata “pandemi” lebih dari satu kali. Angka pasien yang terus meningkat, menyempitnya lahan untuk mengubur mayat, krisis makanan dan air, bencana alam tahunan yang tak selalu datang sesuai jadwal, membuat bumi yang berlangit cerah terus ditutup masa depan mendung.

Tetapi kita tidak bisa hanya menunjuk-nunjuk pandemi. Tak ada yang berubah jika kita menyalahkannya terus setiap hari. Yang ada malah imun kita melemah, karena dihabiskan hanya untuk memuncratkan amarah. Kita pasti tau, walau ini adalah musim pandemi, tetapi kehidupan harus tetap dijalani. Menjadikan pandemi sebagai pendorong bagi kita untuk terus maju adalah hal yang istimewa. Berapa lama waktu telah berlalu? Berapa GB kuota yang telah kita habiskan selama ini? Berapa karya yang berhasil kita ciptakan? Seharusnya ini yang kita pertanyakan pada diri kita sendiri.

Pandemi telah memunculkan berbagai penyakit aneh lainnya. Seperti serakah akan bansos (bantuan sosial), insecure kurangnya bersyukur, bermalas-malasan tingkat akut, gejala penyakit lainnya seperti kenangan yang muncul di saat heningnya malam, atau bahkan dorongan hati untuk mengakhiri hidup ini.

Pada tanggal 10 Oktober lalu, kita merayakan hari mental internasional. Bagaimana mental kita? Apakah sudah siap menatap Corona si lokawigna? Seharusnya sudah karena kita sudah menjalani ujian ini hampir satu tahun lamanya. Apa kabar wahai jiwa pemuda 2020? Apakah kau baik-baik saja? Masih adakah jiwa juang tunas bangsa 45 dalam nadimu?

Tetapi setelah aku membuka mata, banyak sekali anak-anak yang merebah malas tanpa berbuat apapun. Asyik menikmati pandemi di saat semua orang berjuang mati-matian tanpa henti. Tidakkah kita tau betapa besarnya beban yang diderita pasien COVID-19? Mungkin karena Tuhan tidak menimpakan Corona kepada kita sehingga kita tak peduli perasaan mereka. Beberapa dari kita memang hanya percaya dengan apa yang kita lihat. Tetapi Corona adalah barang yang tak nampak, gejala penyakitnyapun juga menjadi rahasia serahasia dokumen negara.

Untuk kalian yang mengalami galau tingkat provinsi semasa pandemi, bangunlah. Gerakkan tubuhmu. Keluar ke depan rumah sambil melihat sekeliling. Meskipun memakai masker kalian masih bisa melihat, kan? Pikirkan. Apa yang bisa kalian lakukan di saat-saat seperti ini? Pandemi adalah waktu emas sekaligus waktu bebas untuk berkarya tanpa batas. Manfaatkan yang ada di sekelilingmu. Buktinya banyak kok orang-orang yang mampu menciptakan hal baru meski dengan protokol kesehatan. Manusia zaman sekarang inginnya yang instan. Ingin sekali permintaan mereka cepat terkabulkan. Pemikiran ini memang manusiawi dan kita bisa mencari celah-celah yang ada di dunia ini. Masih ada tidak aktivitas manusia yang kurang efisien ketika pandemi? Bagaimana cara mengatasinya?

Bila kalian bertanya padaku, aku selaku hobi menulis tentu menjawab dengan cara melalui tulisan. Selama ini kita hanya asyik berkhayal, ketika di sekolah ketika jam istirahat hanya menjadikan ide-ide mengalir dalam pembicaraan obrolan dengan teman. Lalu kita lupakan ide tadi dengan alasan memikirkan sekolah. Nah, sekarang kan tidak ke sekolah lagi. Mau alasan apalagi? Waktu sudah disediakan. Kuota internet sudah dapat dari pemerintah. Kalimat apalagi yang akan kita ucapkan jika tiba-tiba kita ditanya Tuhan tentang selama kita dikarantina apa yang kita lakukan? Aku tulis ide yang sempat terkurung dalam kepalaku, olahraga jari di depan layar laptop setiap hari. Menginspirasi dan membangkitkan jiwa saudara Indonesia melalui donasi puisi. Mencetak prestasi dengan menjadikan pandemi sebagai bahan masakan untuk menulis dan mendapatkan berbagai apresiasi.

Tidak ada yang sulit bila kita belum selesai mengerjakannya. Tidak ada yang berubah bila kita masih suka menunda-nunda. Bumi semakin tua dan kita hanya memutari zona nyaman? Maka masa depan kita bisa-bisa diambang kehancuran sebab kita sendiri tidak bisa memprediksi apa yang terjadi pada kita di hari esok. Kalian pasti punya impian. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila impian itu tercapai. Sekarang lihatlah ke cermin, kalau tidak ada lihatlah ke kamera HP, atau lihatlah dirimu di atas air yang akan kau minum. Kira-kira, ada tidak peluang untuk menggapai cita dengan keadaan kalian yang sekarang?

Kesuksesan bukan hal yang instan. Hidup kita tidak seperti yang di novel maupun sinetron. Kisah di novel maupun sinetron yang membuat penulis, sedangkan kisah hidup kita yang membuat Tuhan. Tuhan memberikan kesempatan bukan untuk disia-siakan hanya memenuhi nafsu demi kesenangan. Kita diberi waktu untuk mengumpulkan amal di dunia, bukan mengumpulkan dosa. Hobi tidur dan hobi makan tidak membuat negeri ini maju. Apakah kalian tidak mendengar kabar pemuda dari luar negeri? Apakah kalian tidak malu?

Penyakit pemuda zaman sekarnag bukan lagi panas atau diare. Penyakit pemuda zaman sekarang adalah penyakit mental. Banyak sekali anak manja dan anak malas. Mental anak muda zaman sekarang mental kerupuk, begitu yang aku degar dari ibuku. Tidak bisakah kita membuktikan kepada dunia, “hei, ini loh anak Indonesia yang masih bisa berkarya meski pandemi. Hei, ini loh anak Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa. Hei, ini loh anak Indonesia yang bermental baja, walau pandemi berkreasi tetap tidak berhenti.”

Tidak bisakah kita membuktikannya pada dunia? Jika kita memandang dunia semakin salah, maka benarkanlah! Leluhur memberikan kita kemerdekaan bukan hanya untuk mengeluh, mengkritik jalannya dunia yang semakin tidak adil. Bagaimana caranya dunia bisa berubah seperti yang kita inginkan bila kita sendiri saja tidak berubah. Mari berbenah. Buka lembaran baru. Perhatikan hal-hal yang ada di rumah. Pasti ada sesuatu yang bisa kita ciptakan. Barangkali peninggalan orang tersayang bisa dijadikan barang berguna.

Alam ibu pertiwi akan selalu mendukung kita, Kawan. Jangan biarkan tanah air terus menangis melihat tanah digali untuk menguburkan mayat-mayat orang-orang jenius yang berpengaruh bagi bangsa ini. Kita tunjukkan pada ibu pertiwi, bila kita sebagai angkatan Corona masih bisa membahagiakan bangsa. Kita buat senang bukan kita buat bimbang.

Pandemi di mataku, adalah suatu cahaya kesempatan bagiku untuk terus menyentuh papan huruf dan terus beropini tanpa henti. Sebagai pemuda, kita seharusnya teliti dengan keadaan sekitar. Ini Indonesia kita, ini bumi kita. Bagaimana jika upacara 17 Agustus milik Indonesia tahun ini adalah upacara terakhir? Bagaimana jika terlanjur melebur nama Indonesia sebab pemudanya takabur? Tulisan ini adalah wujud dari bentuk pandemic di mataku. Bagaimana bentuk pandemi di mata kalian? Aku ingin melihatnya melalui karya yang berhasil kalian ciptakan. Dengan begitu, pandemi di mata kita adalah waktu yang berharga untuk mengharumkan nama bangsa bukan waktu yang berharga untuk menghabiskan kuota.

Tinggalkan Balasan