Pagi ini langit sangat cerah. Udara ku rasakan sangat panas seakan menembus kulit. Panas dan silau pandannganku karena pantulan sinar matahari di aspal jalan yang aku lalui. Sinar matahai mengenai kaca helm yang aku kenakan. Namun semua tak mengurangi niatku untuk pergi ke acara sembilan hari meninggalnya anak sahabatku.
Dalam perjalanan, yang ku ingat hanya kematian. Sepanjang jalan aku tidak henti-hentinya membaca surah dalam Al AQur’an dan doa-doa. Semua akan kembali kepadaNya. Kembali kepada yang memiliki hidup ini, Allah SWT, demikian ucapku perlahan.
Si Vario pink milikkku yang sudah menemaniku sejak 14 tahun yang lalu sangat setia padaku. Meskipun berapa kali ia membawaku jatuh bangun, namun si pink tetap ku biarkan menemaniku ke mana saja aku pergi. Baik pergi untuk menyelesaikan urusan keluarga maupun urusan pekerjaan dinasku.
Dalam perjalananku ke acara sembilan hari meninggalnya anak sahabat karibku itu, kembali ingatanku melayang ke beberapa tahun sebelum berpulangnya ayahandaku. Ingatanku kembali karena aku melihat seorang pengendara motor yang melaju tepat di depanku.
Mulutku langsung bergumam,” Sosok itu.” Perawakannya sama persis dengan ayahku. Baju yang dikenakan sama warnanya dan modelnya dengan ayahku. Baju lengan pendek, sedikit berwarna coklat dan bergaris kotak-kotak. Sepeda motor yang dikendarainya juga sama persis dengan milik ayahku. Sepeda motor tua yang merupakan pemberian dari suamiku.
Aku menangis, menyesali diri. Sepanjang perjalanan, air mataku terus mengalir. Tak ku lepaskan pandanganku dari pengendara sepeda motor yang di depanku. Ayah! gumamku, Maafkan aku, yang tidak bisa membahagaikan ayah.
Aku menyesal karena tidak membelikan ayaku sepeda motor baru yang laik untuk dipakai. Ayah hanya memakai sepeda motor tua untuk pergi ke sawah dan ke kebun. Sementara aku dan saudara-saudaraku mengendari sepeda motor bagus. Ayah ingin suatu saat mengendarai sepeda motor bagus dan baru,”kata ayahku suatu ketika padaku. Aku mengiakan kata-kata ayahku. Dalam hati aku berjanji untuk membelikan ayahku sepeda motor baru.
Niatku dan rencanaku yang tidak ku sampaikan pada ayahku ini, aku sampaikan pada suamiku. Suamiku mendukung keinginanku itu. Akan tetapi ketika aku sampaikan niat ini pada anakku dan adik perempuanku, justru niatku ini ditentangnya. Akhirnya niat dan rencana tinggallah menjadi niat yang ku sesali. Niat itu tidak lu wujudkan sampai ayahku pergu untuk selama-lamanya dari kami.
Duhai adik laki-lakiku. Engkaulah penyebab ketakukan anakku dan adik perempuanku ketika aku akan membelikan sepeda motor untuk ayah. Engkau yang sudah dewasa namun masih saja membuat ayah repot dengan urusanmu. Sepeda motor dan lainnya jika kau lihat ada pada ayah, engkau akan mengambilnya dengan dalih meminjam.
Pikiranku yang melayang ke masa sebelum ayahku berpulang seketika lenyap dengan istigfar. Astagfirullahal Azim, mengapa kelakuan adik yang ku anggap kurang tepat menjadi penghalang aku membahagiakan orang tuaku? Mengapa aku tidak berpikir jika adikku meminta dari ayahku atau ibuku maka ibu dan ayah adalah jalan rezeki adikku meskipun ia sudah dewasa. Mengapa aku tidak berpikir jika orang tuaku bahagia memberikan kepada adikku mesikpun itu sesuatu yang kuberikan pada orang tuaku? Beragam penyesalan yang muncul ketika aku melihat pengendara sepeda motor yang mirip ayahku.
Penyesalan yang tak berujung, satu demi satu bahkan mungkin tak terhitung penyesalan ini.
Sampai di tempat acara sembilan hari, tangis kembali pecah mendengar cerita sahabat karibku tentang kepergian putrinya. Tangisku karena kepergian ayahku setahun yang lalu dan kesedihanku melihat wajah lesu sahabat karibku. Semoga sahabat karibku tidak punya penyesalan karena niat atu rencana yang belum terwujud seperti aku.
Lombok. 28 Juli 2023
Cintaku pada lelaki pertamu….Ayahku