Selamat pagi sobat,
Di pagi hari yang cerah ini saya mengangkat topik di rubrik NGETEH MORNING tentang Tulungagung, Kota Dengan Seribu Kenangan.
Semalam (Selasa, 15/06/2021), saya mengikuti acara bedah buku rutin yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD) dengan tema “Cara Sakti Hobi Nulis” dengan penulis ibu Sakti (Sri Saktiani), pembahas bapak Andi Kafila dan moderator bapak Haji Thamrin Dahlan.
Yang menarik perhatian saya adalah bu Sakti yang tinggal di Tulungagung adalah seorang ibu dengan multi talenta sebagai pemerhati, praktisi, konsultan pendidikan, penulis dengan banyak buku dan sekaligus juga sebagai pengusaha/wirausaha.
Sungguh beruntung Tulungagung memiliki seorang ibu yang begitu banyak kegiatan terutama dalam mendorong dan mengembangkan literasi di kota yang bagi saya memiliki seribu kenangan.
Ya, bu Sakti yang tinggal di Tulungagung tersebut membuat ingatan saya kembali ke era tahun 90-an ketika saya sering berkunjung ke Tulungagung. Oleh karena itu, tulisan di pagi hari ini saya ingin berbagi cerita kenangan saya selama berada di Tulungagung.
Kenangan ini berawal dari pertengahan tahun 1996 ketika itu saya dipanggil oleh Sekjen FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri ABRI) saat itu, mas Indra Bambang Utoyo yang menyampaikan bahwa saya akan dicalonkan menjadi Anggota DPR/MPR RI dari GOLKAR untuk daerah pemilihan Jawa Timur (ketika itu Pemilu dengan sistem Proporsional tertutup) lewat jalur A (Keluarga Besar ABRI-KBA).
Mas IBU begitu sapaan Indra Bambang Utoyo juga menyampaikan bahwa saya akan ditempatkan di Kabupaten Tulungagung.
Terkejut juga ketika mendengar kabar tersebut namun sebagai kader saya harus siap dengan perintah dan penugasan dari Organisasi.
Singkat cerita, lewat proses penentuan nomor urut caleg (Calon Legislatif) yang cukup panjang, ketat dan alot, akhirnya saya mendapat nomor jadi di nomor urut 37 pada Daftar Calon Sementara (DCS) dan kemudian menjadi nomor urut 36 pada Daftar Calon Tetap (DCT). Istilah nomor jadi adalah nomor yang masuk dalam target perolehan kursi di satu provinsi. Untuk provinsi Jawa Timur, DPP GOLKAR saat itu menargetkan memperoleh 40 kursi (nomor urut 1 s/d 40).
Setelah DCT ditetapkan dan diumumkan oleh Lembaga Pemilihan Umum ke publik, pada awal bulan April 1997 saya pun segera berangkat ke Tulungagung sesuai petunjuk dari DPP GOLKAR untuk memperkenalkan diri sebagai Caleg tingkat pusat ke DPD GOLKAR Tulungaung yang saat itu dipimpin oleh seorang purnawirawan TNI AD bernama Haji Sukani yang sudah menjabat sebagai Ketua sejak tahun 1971.
Saya berangkat ke Tulungagung menggunakan bus Harapan Jaya dengan kapasitas hanya 16 sit. Bus dengan kelas VIP, begitu istilahnya ketika itu. Berangkat dari Cijantung Jakarta sekitar jam 14.00 WIB dan tiba di Tulungagung keesokan harinya sekitar jam 07.00 WIB. Saya turun dekat tempat yang saya tuju dan kemudian saya check in di Hotel Narita Tulungagung yang saat itu merupakan hotel terbaik di Tulungagung.
Setelah check in lalu mandi dan beristirahat sejenak di Hotel Narita, saya segera ke kantor DPD GOLKAR Tulungagung yang tempatnya tidak jauh dari Hotel Narita. Saya menggunakan becak untuk menuju kantor DPD GOLKAR Tulungagung dengan maksud menemui bapak Haji Sukani di kantor DPD GOLKAR Tulungagung dan Alhamdulillah, beliau ada di sana dan saya bisa langsung memperkenalkan diri.
Bapak Haji Sukani yang di Tulungagung lebih dikenal dengan panggilan mbah Kani menyambut saya dengan ramah, nampak sorot matanya yang tajam dan tutur katanya penuh wibawa. Mbah Kani kemudian memperkenalkan beberapa pengurus DPD GOLKAR Tulungagung yang saat itu ada di kantor yaitu mas Rudiyanto dan pak Sunyoto, keduanya juga menjabat sebagai Anggota DPRD Tulungagung.
Dua hari saya berada di Tulungagung dan diantar oleh pak Sunyoto, saya sempat berkeliling di beberapa kecamatan, salah satunya kecamatan Campur Darat, pusat marmer Tulungagung.
Kemudian di akhir bulan April 1997, saya kembali ke Tulungagung untuk melakukan kegiatan kampanye selama satu bulan penuh di sana. Semua kecamatan di Kabupaten Tulungagung saya kunjungi untuk berkampanye. Saya semakin banyak kenal dengan pejabat di Kabupaten Tulungagung mulai dari Bupati, pembantu Bupati, Camat hingga Lurah yang pada saat itu mereka semua adalah juga Kader GOLKAR.
Singkat cerita, kampanye PEMILU 1997 usai dan dilanjutkan Pemungutan suara pada tanggal 29 Mei 1997. Setelah dilakukan penghitungan suara, provinsi Jawa Timur memperoleh 42 kursi lebih 2 kursi dari target 40 kursi dan itu berarti saya dengan nomor urut 36 terpilih menjadi Anggota DPR/MPR RI, sesuatu yang tak pernah ada dalam benak saya, mimpi pun juga tidak untuk menjadi seorang wakil rakyat.
Pada 1 Oktober 1997, saya diambil sumpah sebagai Anggota DPR/MPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur dengan daerah binaan Kabupaten Tulungagung.
Dalam melakukan kegiatan sebagai Anggota DPR/MPR RI maka setiap reses saya harus melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Tulungagung. Berkunjung ke kecamatan kecamatan untuk menyerap aspirasi masyarakat dan memastikan adanya pembangunan di sana. Sebagai kader GOLKAR, saya pun juga berkegiatan di sana seperti mengadakan bakti sosial, mengadakan khitanan massal dan kegiatan sosial lainnya.
Mbah Kani sebagai Ketua DPD GOLKAR Tulungagung dan pak Sunyoto selalu mendampingi saya dalam melaksanakan kegiatan saya selaku Anggota DPR/MPR RI di Tulungagung.
Mbah Kani saat itu sudah berusia 72 tahun sedangkan saya masih berusia 36 tahun. Oleh karena itu, saya mengganggap beliau sebagai seorang guru politik dan spiritual.
Beliau juga tokoh masyarakat yang begitu dikenal di Tulungagung. “Bukan orang Tulungagung kalo gak tahu sama mbah Kani”, begitu ucap sahabat saya yang asli dari Tulungagung, cak Ali Masykur Musa yang saat itu sama sama sebagai Ketua DPP KNPI.
Kedekatan saya dengan mbah Kani seperti guru dengan muridnya. Beliau selain tokoh masyarakat juga dikenal sebagai seorang supranatural.
Di bulan Desember 1998, saat itu saya baru saja selesai melakukan kegiatan reses dari Tulungagung dan masih berada di Surabaya. Kebetulan di Surabaya tengah ada kegiatan DPD GOLKAR Jawa Timur. Mbah Kani mengutus mas Rudiyanto menemui saya di Surabaya untuk menyerahkan dua buah batu titipan dari beliau.
Di saat booming batu akik di tahun 2015-2016, beberapa kawan saya yang memiliki kemampuan supranatural mengatakan bahwa batu pemberian dari mbah Kani tersebut memiliki energi yang cukup besar. Entah benar atau tidak, yang pasti batu pemberian dari mbah Kani selalu saya openi hingga saat ini.
Selanjutnya Mbah Kani lah yang menentukan hari pernikahan saya yaitu 10 April 1999 dan beliau hadir di acara resepsi pernikahan saya di Surabaya bersama dua sahabat saya, mas Rudiyanto dan pak Sunyoto.
Setelah tak lagi menjabat sebagai Ketua DPD GOLKAR Tulungagung di tahun 1999, setiap reses saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke kediaman beliau untuk meminta nasehat dan juga bertukar pikiran tentang banyak hal.
Satu tahun sebelum mbah Kani wafat di tahun 2005, saya sempat mengunjungi beliau di kediamannya di Tulungagung bersama istri dan anak saya. Saat itu beliau sudah menjadi duda karena istri tercintanya telah meninggal dunia lebih dahulu.
Saya ingat saat itu, beliau menunjukkan buku Al Quran dari tulisan tangan beliau lalu beliau juga mengatakan bahwa semua harta yang dimilikinya sudah dibagikan kepada anak anaknya dan beliau hanya mempnyai harta berupa gaji sebagai seorang pensiunan tentara saja untuk kehidupan sehari hari.
Itulah pertemuan terakhir saya dengan mbah Kani, guru spiritual saya .. Al Fatihah untuk mbah Kani ..
Banyak barang yang terbuat dari marmer Tulungagung yang saya beli langsung di Kecamatan Campur Darat Tulungagung seperti meja, tempat nginang, lampu hias dan pernak pernik lainnya yang menjadi koleksi dan juga pengingat saya selama berada di Tulungagung.
Itulah sekelumit cerita saya selama berada di Tulungagung, kota dengan seribu kenangan.
Bila masih diberi umur, saya masih berkeinginan untuk mengunjungi Tulungagung namun entah kapan ..
Saya tutup tulisan ini dengan sebuah pantun :
Nonton Film Judulnya Transformer
Membawa Kita Untuk Berangan Angan
Batu Marmer Banyak Dijual Di Tulungagung
Kota Dengan Seribu Kenangan
Sobat, saatnya saya undur diri dan mari kita nikmati secangkir teh hangat di pagi hari ini ..
Selamat beraktivitas ..
Salam sehat ..
NH
Depok, 16 Juni 2021
Tulungagung memang saya alamat Blitar tapi merasa memiliki Tulungagung. Budaya, pendidikan, perdagangan, sosialnya wis pokok marem dgn Tulungagung.