Kanker Nasofaring (Karsinoma Nasofaring/KNF) Membunuh Dengan Perlahan (Part 3)

My Sweet Family
My Sweet Family
Senin 7 Juni 2021, berangkat kerja sudah menjadi rutinitas hari-hari. Saya beraktivitas seperti biasa, menjelang siang saya izin menyusul suami yang telah dahulu berangkat ke rumah sakit. Hari ini menjadi hari pertama saya menginjak dan menginap di rumah sakit. Saya takjub dengan bangunan nya, berdiri tinggi dengan kokoh hanya saja lift nya sudah tidak berfungsi sehingga harus mencari jalan cadangan untuk ke lantai tiga.

Sesuai instruksi suami saya berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Setelah berjalan beberapa menit, saya bertanya dengan petugas, akhirnya bisa bertemu dengan suami. Akhir-akhir ini, suami kelihatan tidak bersemangat karena sakit yang di dera. Tubuh kelihatan lemah, makan pun tidak berselera.

Sebelum sakit menyerang, suami adalah seorang yang ceria, semangat, mudah bergaul, dan ramah. Beliau termasuk orang lapangan yang sangat kreatif. Ada-ada saja ide yang dimiliki untuk membahagiakan istri. Semoga saja beliau bisa seperti sediakala sehingga bisa menyelesaikan kejutan-kejutan dari ide tersebut. Jadi ngelantur kemana-mana.

Malam ini adalah malam pertama menginap di rumah sakit dan meninggalkan anak-anak.
Benar kata orang sejelek apapun rumah sendiri, itulah rumah yang paling nyaman dan aman.

Delapan Juni 2021, kami setia menunggu giliran untuk melakukan operasi kecil. Dokter sempat berkata, moga saja operasi nya bisa dilakukan tetapi kita harus mendahulukan yang darurat terlebih dahulu. Jam 11 an lewat, kami diarahkan menuju ruang operasi. Sewaktu suami di ruangan saya diminta untuk mengambil obat. Dengan semangat langkah 1000 saya menyusuri koridor rumah sakit. Sesekali saya menarik nafas. Maklum sudah kepala empat dan badan lumayan bongsor ditambah masker yang jarang lepas. Dengan ngap-ngap sampailah di TPO lantai satu gedung lain.

Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya mendapatkan sekantong obat. Seperti biasa, saya berjalan menyusuri lorong, kebetulan bangunan yang sedang saya naiki lift nya masih bagus, jadi saya bisa kembali ke lantai 3 dengan santai dan tidak berkeringat. Saya pun sampai di lobby ruang operasi dan menyerahkan obat yang ada, sementara obat yang kurang akan menyusul.

Menit demi menit terus berlalu, sudah satu jam suami di ruang operasi tapi belum ada kabar. Mulut tidak berhenti komat kamit berdoa dan memuji Sang Ilahi agar senantiasa menjaga suami, semoga operasi berjalan dengan lancar.

Panggilan perawat membuyar lamunanku. Keluarga pasien diminta masuk, operasi selesai dilakukan. Dengan rasa was-was, saya pun masuk. Suami masih tertidur pulas akibat pengaruh obat bius. Ketika didorong ke kamar pun suami masih tak sadar dan sesekali mengigau. Saya sempat bertanya dengan perawat, “bukan nya menunggu sadar dulu baru pasien dibawa? Dengan sabar perawat menjawab, kami sudah diperintahkan untuk membawa pasien. “Apa tidak terjadi apa-apa nanti nya”, saya berujar. “InsyaAllah, tidak apa-apa” petugas pun menjawab.

Sebelum meninggalkan ruangan, perawat sempat berkata pasien nya jangan ditinggalkan sendirian. Lebih kurang tiga puluh menit akhirnya suami siuman. Saya yakin suami pasti merasa tidak nyaman. Apalagi setelah bius nya hilang, pasti nyeri dan ngilu akan terasa. Untuk sementara asupan makanan dalam bentuk Cairan dan dialihkan yang lunak saja. Beberapa bekas jahitan mesti dikompress dengan air dingin.

Penanganan suami selesai, satu hal yang membuat hati ini sangat sedih, tidak bisa mendampingi si sulung belajar. Padahal dia menghadapi ujian kenaikan tingkat kala itu. Beruntung masih ada android sehingga saya bisa mendampingi nya melalui pesan WhatsApp dan sesekali melalui video call. Saya berdoa semoga ujian Bahasa Inggris dan PKN nya lancar.

Saya sempat sedih ketika ayuk sebutan yang menjaga mereka mengirim pesan kalau abang menangis. Saya langsung menelpon kembali. “Ibu, abang mau sama ibu, abang mau belajar sama ibu” dengan suara terisak dia bicara. Saya langsung berkata, “Abang, ayah lagi sakit, ibu temanin ayah di rumah sakit. Abang mau ayah sembuh? “Mau ayah sembuh,” dia menjawab. “Abang sayang ibu sama ayah?” Saya kembali bertanya. “Sayang”, dia berkata. Kalau sayang abang sudah nangis nya ya. Kan ibu temanin ayah berobat. Mendengar isakan nya berhenti, saya langsung mengalihkan topik pembicaraan. Sehingga suasana hati nya kembali ceria.

Dirasa sudah aman, sayapun mengakhiri panggilan.Saya jadi ikutan baperan. Kasihan mereka mesti ditinggal dengan ayuk. Jadi ikutan sedih. Malam terasa berlalu sangat lama. Sesekali suami terbangun karena nyeri.

Pagi pun akhirnya menjelang. Setelah semalaman susah memejamkan mata. Setelah memenuhi semua kebutuhan suami, akhirnya saya berangkat kerja. Kebetulan jarak rumah sakit dengan tempat kerja sangat dekat. Menjelang siang, saya pun kembali ke rumah sakit karena suami mengeluh kepala sakit dan ada masalah dengan telinga.Setelah pemeriksaan secara detail, kami pun dibolehkan pulang karena perkembangan hasil operasi bagus.

Lihatlah betapa senang nya anak-anak melihat Kepulangan ayah ibu mereka. Mereka berebutan bercerita. Setelah puas mereka pun mulai sibuk dengan mainan masing-masing, sementara sang ayah memilih istirahat. Saya bersyukur, akhirnya bisa bertemu dan berkumpul dengan anak-anak kembali.

Tinggalkan Balasan