Rabu, 18 Agustus 2021 jam 7 pagi, saya bersama suami menyusuri jalan menuju rumah sakit. Saya sangat bersyukur karena jarak antara rumah singgah dengan rumah sakit sangat dekat sehingga kami bisa berjalan dengan santai dan pelan sambil mengimbangi kondisi suami.

Yang menjadi ketakutan bagi kami adalah ketika menyeberang jalan karena kendaraan melaju dengan cepat. Sebenarnya, sudah disediakan jembatan penyeberangan, hanya saja untuk menggapai jembatan tersebut lumayan jauh sehingga kami lebih memilih dan mengambil resiko memotong kendaraan yang lewat. Sebelum menyeberang jalan, saya akan memantau dan melihat kondisi dan jarak kendaraan sehingga aman untuk dilewati.

Kami berjalan melewati pintu rawat inap dan melewati satpam yang bertugas. Satpam tidak akan segan bertanya tentang keperluan ke rumah sakit. Untuk keperluan kemoterapi pun keluarga pasien harus membawa kartu identitas sehingga yang berlalu lalang di dalam rumah sakit benar-benar berobat dan menemani pasien.

Kami memasuki bangunan rawat inap dan menyusuri lorong rumah sakit. Setelah melewati bangunan kedua, sampailah kami ke bangunan ketiga. Kami pun berbelok dan masuk ruangan kemoterapi. Setelah sampai di ruangan, saya melihat sudah banyak pasien yang mengantri. Saya pun memasukkan surat kontrol dan surat rujukan.

Suami pun mencari kursi kosong untuk menunggu. Dikarenakan masih pagi, petugas pun belum datang. Kami setia menunggu sampai petugas datang dan mulai beraktivitas. Kami menunggu hingga nama suami dipanggil petugas. Untuk menghilangkan bosan dan jenuh, HP pun menjadi pelarian. Meskipun HP di tangan dan kuota full, tetap saja tidak bisa bersosial media karena di ruangan ini tidak terbaca sinyal internet.

Saya pun beralih bermain game karena belum pas waktunya untuk konsentrasi menulis. Game yang saya mainkan adalah homescape. Konsentrasi saya hilang ketika petugas menyebut nama suami. Saya pun datang dan mengambil gelang yang berisikan identitas pasien. Suami mengambil gelang nya dan memakainya di tangan kiri. Kamipun masih harus menunggu tahapan berikutnya agar suami bisa dikemoterapi.

Panggilan petugas menyadarkan lamunan kami. Saya berserta suami melangkah masuk. Suami langsung disuruh masuk ke ruangan kemoterapi dan saya berhenti di meja petugas untuk menyerahkan berkas dan syarat kemoterapi serta penandatanganan persetujuan melakukan kemoterapi. Setelah selesai, saya langsung ke ruang tunggu.

Di ruang tunggu inilah keluarga pasien dan kadangkala pasien bercerita tentang pengalaman mereka selama mengikuti proses kemoterapi. Saya ikut nimbrung dan bertanya tentang efek kemoterapi serta makanan yang bagus untuk dikonsumsi. Saking asik nya bercerita, salah satu pasien berkata, “Boleh masuk loh mbak ke ruang kemoterapi melihat pasien, membawa makanan dan sebagai nya.”

Saya kaget dengan pernyataan tersebut, dan memastikan kembali jikalau keluarga pasien benar bisa masuk. Tak berapa lama, saya pun menemui suami dan menanyakan keperluan nya. Suami bersyukur bisa bertemu saya dan diminta dibuatkan susu. Ketika suami beristirahat, saya kembali ke ruang tunggu.

Berdasarkan protokol kemoterapi, suami mesti menghabiskan lebih kurang 6 jam memasukkan obat kemoterapi melalui infus. Obat yang dimasukkan ke infus adalah obat yang sudah diresep dokter di dalam protokol kemoterapi. Kami tidak bisa melihat isi dan bentuk obat tersebut karena jikalau saya menyimpulkan agar obat aman, maka obat kemoterapi tersebut ditutupi dengan kertas aluminium foil.

Menunggu adalah waktu yang paling membosankan. Untuk menghilangkan rasa bosan, saya pun larut dengan aktivitas menulis. Saya menulis apa yang saya suka. Ketika menghasilkan sebuah kalimat, maka seribu ide akan muncul di pikiran. Saya tidak akan berhenti sebelum ide tersebut hilang. Saya akan berhenti ketika capek, lelah dan mata mulai perih.

Aktivitas menulis membuat waktu terasa cepat berlalu. Menulis membuat pikiran dan jiwa mengembara kemana-mana. Menulis akan mengingat pengalaman yang pernah dilalui. Menulis menyegarkan pikiran, dan menulis membuat saya terus berpikir. Kegiatan menulis berhenti tatkala perut mulai bernyanyi dan terasa perih, ternyata baru sadar kalau dari pagi belum makan.

Sebelum mengisi perut, saya kembali menemui suami, dan menanyakan keperluan nya. Ternyata suami masih kenyang dan belum mau apa-apa. Akhirnya saya meminta izin mencarikan makan siang. Setelah membeli makanan, saya akhirnya memilih pulang ke rumah singgah sehingga saya bisa beristirahat membentangkan badan sejenak.

Setelah sholat dan makan siang, saya pun kembali ke rumah sakit. Saya langsung menemui suami dan kembali membuat susu. Setelah membersihkan peralatan makan suami, saya pun kembali ke ruang tunggu.

Ruang tunggu tidak lagi seramai pagi, karena kelelahan, saya pun memilih kursi yang paling pojok sehingga saya bisa berbaring sesaat. Ketika berbaring, ternyata saya benar-benar tertidur. Untuk menghilangkan kantuk, saya mencoba berkonsentrasi menulis. Saya pun menghabiskan waktu dengan menulis. Panggilan suami lah yang menyadarkan ku bahwa kemoterapi nya sudah selesai. Saya bergegas mengikuti beliau ke ruangan, dan merapikan semua peralatan dan selanjutnya kami pulang.

Ternyata proses kemoterapi dilakukan seperti kondisi Kita sakit dan diinfus. Perbedaannya adalah takaran, jenis obat, dan cara memasukkan obat yang berbeda. Selama kemoterapi pun, tidak ada efek sama sekali bagi tubuh suami.

Sesampai di rumah singgah, saya mulai gelisah. Jika setelah kemoterapi kami menetap di sini, maka ada waktu 20 hari yang harus saya lalui. Saya tidak akan bertemu anak-anak lebih kurang sebulan. Kemudian saya juga harus kerja. Bersyukur jika masih daring, tapi kalau sudah PTM maka saya harus bisa berbagi waktu.

Kami pun belum memutuskan pulang karena masih mau melihat efek dari kemoterapi itu sendiri. Setelah dua hari berlalu, tidak ada tanda-tanda dan ciri-ciri yang berarti yang menganggu keseharian suami.

Sayapun mulai berpikir, seandainya masih di sini 20 hari, saya akan sangat bosan. Pekerjaan saya hanya menjaga suami, makan, dan tidur. Sementara di sana anak-anak ditinggalkan. Benar-benar melelahkan.

Saya bisa stress dan gila kalau seperti ini terus. Apa yang harus dilakukan? Pulang atau tinggal? Saya bingung sendiri. Karena tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, akhirnya saya pun mengutarakannya pada suami. Setelah sempat beradu argumen, akhirnya kami memutuskan pulang hari Senin tanggal 23 Agustus 2021.

Tinggalkan Balasan