Saya masih ingat, sebelum pandemi bulan Maret 2020, jarang sekali ikut diklat (pendidikan dan pelatihan). Jika pun ikut, pasti karena ditugaskan oleh dinas pendidikan dan itu diklat keluar kota. Jika ditugaskan sekolah, biasanya diklat yang diselenggarakan di tingkat kabupaten.
Alhasil, dalam satu tahun kadang hanya satu atau dua sertifikat diklat yang didapat. Bahkan ada teman guru karena terlalu “diam” tidak pernah mengikuti diklat.
Saya pun jarang mendengar kabar ada seminar. Jika PGRI tidak menyelenggarakan seminar, jarang sekali guru seperti saya mengikuti seminar. Meskipun ada seminar, tiket masuknya mahal. Jadi, jika tidak diutus oleh sekolah saya merasa “sayang” mengeluarkan biaya yang besar hanya untuk mengikuti seminar.
Akibatnya, sangat sedikit sertifikat seminar yang saya kumpulkan. Seminar, workshop, pelatihan, sebelum pandemi adalah kegiatan komersial yang relatif mahal.
“Jeng … jeng …!” layar panggung pun berganti.
Ibarat panggung tonil zaman dahulu, layar dinaikkan berganti dengan layar yang menggambarkan adegan mencemaskan. Melalui layar televisi kami mendengar kabar ada serangan virus mematikan. Hingga akhirnya, pada pertengahan bulan Maret 2020, pembelajaran tatap muka dihentikan. Guru bekerja dari rumah, siswa belajar di rumah.
Jika di negara lain diberlakukan lockdown, tidak demikian halnya dengan Indonesia. Pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Meskipun demikian, nyaris semua kegiatan “lumpuh”. Kerumunan massa dilarang, termasuk penyelenggaraan berbagai diklat, workshop, dan sejenisnya.
Kabar baiknya adalah, kita sudah memasuki era teknologi digital dan ternyata para guru Indonesia adalah guru yang andal. Guru di daerah yang infrastruktur internetnya kurang memadai, tidak kehilangan akal. Mereka ada yang membuat modul dan lembar kerja. Modul atau lembar kerja tersebut dibagikan ke rumah-rumah. Guru pun berkeliling memberikan pelayanan pembelajaran. Guru dan murid yang berada di daerah dengan sinyal internet sedang hingga bagus sekali, mulai melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran yang sebelumnya belum pernah dibayangkan bakal dipraktikkan.
Webinar Gratis
Para guru, mengajar dari rumah. Di tengah kebingungan dan ketidaktahuan, sebagian besar dari mereka menggunakan aplikasi whatsapp sebagai aplikasi utama untuk melakukan pembelajaran jarak jauh. Seiring berjalannya waktu, organisasi guru (IGI, PGRI), Kementerian Pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya mengalihkan pelayanannya secara daring. Mereka yang sebelumnya aktif mengadakan seminar, workshop, dan diklat secara tatap muka di balai-balai pertemuan mengalihkannya ke ruang maya.
Mereka menciptakan ruang seminar maya menggunakan aplikasi video conference: Zoom, G-meet, Cisco Webex, dan lain-lain. Pertemuan dilakukan melalui layar komputer dan HP. Pada awalnya sangat asing, kaku, dan muncul kegagapan, lama-kelamaan pun menjadi semakin biasa.
Biaya mengikuti seminar untuk peserta pun semakin murah, bahkan gratis tanpa dipungut biaya. Para guru, termasuk saya, sangat diuntungkan. Mereka pun mulai berkenalan dengan LMS (Learning Management System). Para guru pun mulai belajar memanfaatkan berbagai aplikasi pembuat video untuk membantu pembelajaran daring agar makin menarik. Channel-channel youtube milik guru pun bermunculan. Demikian pula pelatihan membuat blog, pelatihan menulis untuk mengisi blog, dan menerbitkan buku semakin marak.
Akhirnya, webinar dan diklat online semakin banyak. Dari webinar gratis seratus persen hingga bersyarat dengan menyukai akun media sosial tertentu atau membagikan informasi ke grup yang diikuti semakin bertebaran. Bahkan, akhir-akhir ini webinar berbayar puluhan hingga beberapa ratus ribu pun tidak kurang marak. Pertanyaannya, haruskah guru mengikuti semua tawaran yang diberikan dengan imbalan e-sertifikat, meskipun gratis?
Jawabannya tentu kembali kepada guru yang bersangkutan. Untuk membantu menentukan dan menjatuhkan pilihan pada diklat atau webinar yang akan diikuti, setidaknya ada tiga hal yang bisa dijadikan pertimbangan: kebutuhan, manfaat, dan sertifikat.
Kebutuhan
Apa yang saya butuhkan untuk membantu memperlancar proses pembelajaran daring atau luring? Adalah pertanyaan untuk mengidentifikasi kebutuhan guru dalam pembelajaran. Beberapa contoh kebutuhan guru untuk mengefektifkan pembelajaran jarak jauh daring maupun luring, misalnya:
- penyesuaian kurikulum pada masa darurat (pandemi)
- panduan pembelajaran jarak jauh
- menggunakan whatsapp yang efektif dalam pembelajaran
- membuat blog untuk pembelajaran yang efektif
- membuat video pembelajaran menarik
- memanfaatkan google Classroom
- aplikasi kuis yang menarik
- aplikasi daftar hadir online
- membuat alat evaluasi online
- wajib atau tidak kegiatan itu diikuti
- dan sebagainya.
Kebutuhan setiap guru tentu tidak sama. Hal itu disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan juga kondisi peserta didik. Dengan menganalisis kebutuhan pembelajaran, guru dapat menentukan webinar atau pelatihan yang akan diikuti.
Manfaat
Di dunia ini, tentu tidak ada yang tidak bermanfaat. Semua memiliki nilai manfaat, tidak terkecuali pelatihan-pelatihan yang ditawarkan secara masif di grup-grup yang diikuti guru. Meskipun demikian manfaat yang ditawarkan oleh webinar-webinar tersebut perlu disesuaikan dengan dengan kebutuhan. Kelihatannya sangat bermanfaat dari segi isinya, namun jika tidak sesuai dengan kebutuhan dikhawatirkan akhirnya mubazir saja. Perahu karet tentu lebih dibutuhkan korban banjir ketimbang gitar, misalnya.
Sertifikat
Sekarang semakin mudah mendapatkan sertifikat pelatihan. Setiap webinar pun biasanya menjanjikan e-sertifikat, gratis. Syaratnya, aktif mengikuti kegiatan dan mengisi daftar hadir. Ada juga sertifikat yang diberikan tidak cuma-cuma. Sertifikat itu diberikan jika peserta telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan penyelenggara/panitia. Misalnya, uang pengganti sebesar Rp20.000,00, mengerjakan kuis, dan sebagainya.
Sertifikat berguna untuk menambah portofolio seseorang. Bagi guru PNS yang mengembangkan karir berdasarkan angka kredit, sertifikat berguna untuk menambah poin. Namun demikian, guru pun harus jeli dan menyesuaikan dengan kebutuhan minimal yang dipersyaratkan.
Sertifikat adalah salah satu bukti bahwa guru telah berhasil mengikuti kegiatan pengembangan diri. Pengembangan diri adalah upaya untuk meningkatkan profesionalisme diri agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kebijakan pendidikan nasional serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni (Kemendikbud, 2019). Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional dan teknis atau melalui kegiatan kolektif guru.
Diklat Fungsional
Pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional dan teknis diikuti guru atas dasar penugasan dari kepala sekolah atau atas kehendak sendiri setelah mendapat izin kepala sekolah (atasan langsung).
Kegiatan tersebut dapat berupa kursus, pelatihan, penataran, dengan durasi minimal 30 jam pelajaran. Penyelenggara yang diakui adalah Kementerin Pendidikan dan Kebudayaan atau pemerintah daerah pada lembaga diklat yang ditunjuk seperti PPPPTK, LPMP, LPPKS atau Badan Diklat Daerah. Jika diselenggarakan oleh masyarakat, lembaga diklat tersebut mendapat izin operasional dari pemerintah atau pemerintah daerah.
Durasi minimal adalah antara 30 sampai dengan 80 jam. Sertifikat diklat yang dikeluarkan dengan durasi waktu pelatihan tersebut memiliki nilai angka kredit 1 (satu).
Kegiatan Kolektif Guru
Yang dimaksud dengan kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah atau mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru baik di sekolah maupun di luar sekolah (seperti KKG/MGMP, KKKS/MKKS, asosiasi profesi guru lainnya). Tujuan kegiatan kolektif guru adalah untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan.
Guru boleh mengikuti kegiatan ilmiah, seperti: seminar, koloqium, diskusi panel, atau bentuk pertemuan ilmiah lainnya. Sebagai peserta, sertifikat yang diperoleh mendapat angka kredit sebesar 0,1 (nol koma satu). Demikian pula kegiatan kolektif lainnya yang sesuai dengan tugas dan kewajiban guru dihargai angka kreditnya sebesar 0,1 (nol koma satu).
Jumlah angka kredit minimal dari subunsur pengembangan diri adalah 3 (III/a-III/c), 4 (III/d-IV/b), dan 5 (IV/c-IV/e).
Penutup
Dari uraian di atas jelaslah, guru tidak perlu mengikuti seluruh webinar yang masif ditawarkan melalui whatsapp atau media sosial lainnya. Keikutsertaan pada sebuah webinar sangat bijaksana jika disesuaikan dengan kebutuhan, manfaat yang diperoleh, dan sertifikat yang didapat. Guru PNS tidak perlu “bernafsu” mengikuti semua seminar web gratis yang ditawarkan. Sebab, selama 4 tahun (satu periode kenaikan pangkat) angka kredit dari subunsur pengembangan diri minimal hanya 3 atau 4 atau 5 sesuai jabatan fungsional dan golongan ruang. Semoga bermanfaat.
Salam blogger sehat
PakDSus
Blogger Guru Musi Rawas
Artikel ini juga dimuat di blog pribadi:
https://blogsusanto.com/