Setiap kali aku berkunjung ke museum perjuangan, aku seperti tersedot ke ruang dan waktu pada masa lampau. Andaikata pada jaman dulu aku hidup, belum tentu aku seberani seperti para pemuda dan pemudi yang berani memerjuangkan dan memertahankan kemerdekaan demi Indonesia tetap satu.
Keinginan untuk merdeka tersebut menggebu-gebu. Namun yang tak kalah penting adalah semangat untuk bersatu. Menjadi bangsa yang satu, terikat dalam negara yang satu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Sumpah Pemuda
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia menjujung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Momen-momen Sumpah Pemuda tersebut dapat disimak di Museum Sumpah Pemuda yang ada di Jalan Kramat, Senen, Jakarta Pusat. Posisi para pemuda yang sedang mengikuti kongres dapat dijumpai di sana. Demikian juga dengan biola W.R. Supratman, patung beberapa pemuda seperti M. Yamin dan M. Tabrani, juga monumen persatuan pemuda.
Selain Museum Sumpah Pemuda, berbagai museum juga berhasil menumbuhkan semangat persatuan-kesatuan dan juga menumbuhkan keberanian membela tanah air seperti yang dilakukan pemuda-pemudi pada pada perjuangan dan memertahankan kemerdekaan. Museum-museum tersebut di antaranya Museum Brawijaya, Museum Dirgantara, Museum Ambarawa, dan Museum Nasional.
Museum Sejarah Indonesia
Museum yang terletak di bagian bawah Monas ini memiliki koleksi berupa diorama. Koleksinya cukup banyak dan ditata sedemikian rupa sehingga pengunjung bisa mengetahui sejarah bangsa dari model dan deskripsi di tiap koleksi.
Diorama menampilkan berbagai peristiwa di antaranya peperangan melawan bangsa penjajah, kemudian upaya memerjuangkan kemerdekaan melalui diplomasi dan juga semangat para pemuda melakukan kongres yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. Jika kita melihat ke belakang dengan kondisi masa itu, dapat kita bayangkan bahwa perjuangan menggelar kongres, mengumpulkan para pemuda perwakilan dari berbagai daerah juga tidaklah mudah.
Tidak ada e-mail pada masa itu, jaringan telpon juga masih terbatas. Transportasi juga tidak sebaik seperti saat ini. Sungguh luar biasa kerja panitia dan semangat para pemuda, hingga Kongres Pemuda I dan II berhasil diadakan.
Museum Brawijaya
Museum ini terutama menampilkan situasi pada Agresi Militer Belanda. Para pemuda dari berbagai daerah, bergerak untuk memertahankan kemerdekaan. Beberapa pertempuran yang dikisahkan dalam museum ini adalah peristiwa di Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan dan juga Bandung Lautan Api.
Cerita yang memilukan adalah peristiwa gerbong maut. Koleksi ini masih ada di museum di bagian belakang.
Peristiwa gerbong maut terjadi sekitar tahun 1947. Para pejuang yang melakukan perlawanan di daerah Bondowoso ditangkapi.
Karena jumlah sel yang penuh di sana maka 100 tahanan hendak dipindahkan ke Surabaya dengan tiga gerbong kereta. Mereka tak diberi makan dan minum dengan kondisi berdesak-desakan yang membuat mereka sulit bernafas. Ada satu gerbong yang malah tak memiliki ventilasi udara.
Sungguh menyedihkan korban pun berjatuhan karena kondisi yang sangat tak berperikemanusiaan ini. Ada 46 korban yang meninggal.
Cerita lainnya yang membuatku terkesan adalah keberanian para pemudi melawan militer Belanda dan sekutunya. Mereka adalah Laskar Wanita yang disingkat Laswi.
Laswi berdiri karena mereka menganggap para perempuan juga mampu bertempur di garis depan. Dari awalnya 21 anggota, jumlah anggota Laswi kemudian terus bertambah. Tugas anggota Laswi dari satuan tempur, penyelidik, palang merah dan dapur umum. Risiko menjadi anggota Laskar Wanita adalah nyawa, tak sedikit yang terluka, tertangkap, dan ada pula yang terbunuh.
Adalah Willy, seorang anggota Laswi. Ia perempuan yang sangat pemberani. Ia dengan senjata api dan samurai berani menantang NICA. Ia berhasil membunuh seorang prajurit gurkha, salah satu pasukan elit di NICA.
Museum Palagan Ambarawa
Setelah Indonesia merdeka, Belanda tak menyerah dan berupaya kembali menduduki Indonesia. Tapi bangsa Indonesia tak sudi lagi dijajah dan berupaya memertahankan kemerdekaan.
Para prajurit bersatu dengan rakyat, para pemudi dan pemuda berupaya mempertahankan kemerdekaan dan terjadilah pertempuran Ambarawa yang sangat terkenal. Cerita heroik tersebut terdokumentasi lengkap di Museum Palagan Ambarawa yang lokasinya bisa ditempuh sekitar satu jam dari pusat kota Semarang.
Di museum ini terdapat koleksi senjata yang digunakan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Ambarawa, maket medan pertempuran, juga monumen Palagan Ambarawa.
Melihat maket perang Palagan Ambarawa ini saya merasa bergidik membayangkan situasi peperangan masa itu. Memerlukan keberanian besar untuk terlibat dalam pertempuran yang memertaruhkan nyawa ini.
Museum Dirgantara
Museum Dirgantara lokasinya tak jauh dari Bandara Adisutjipto. Koleksi yang membuatku tersentuh adalah kisah tiga pemuda pemberani. Mereka adalah
Agustinus Adisutjipto, Abdulrachman Saleh, dan Adi Sumarmo.
Ketiga pemuda tersebut gugur pada 29 Juli 1947 saat hendak menyerahkan bantuan dari Palang Merah Malaya untuk PMI. Pesawat mereka Dakota VT-CLA yang tak bersenjata ditembak oleh pesawat Kittyhawk Belanda.
Atas jasa ketiganya yang besar nama mereka terpatri sebagai nama bandara.
Bandara Adisutjipto di Yogyakarta, Bandara Abdulrachman Saleh di kota Malang, dan Bandara Adi Sumarmo di Madiun.
Sebenarnya masih banyak lagi cerita tentang kisah heroik pemuda dari museum-museum lainnya. Kisah mereka bisa jadi teladan bagi generasi muda.
Selamat Hari Sumpah Pemuda!