Aku Bangga Pernah Jadi Atlet

(Dokpri: Aku sedang memberi contoh pada anakku)

Olahraga kesenanganku saat anak-anak tepatnya saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar di Kota Serang adalah olahraga tinju. Aku sering tidak masuk sekolah karena menonton siaran langsung pertandingan tinju Muhammad Ali. Pada masa kejayaan Muhammad Ali, TVRI selalu menyiarkan secara langsung penampilan Muhammad Ali dimana jadwal siarannya bersamaan dengan waktu orang bekerja atau sekolah.

Suatu ketika pada saat pelajaran, aku ditanya kepala sekolah: “mengapa kemarin tidak masuk sekolah?” Lalu aku menjawab apa adanya: nonton tinju bu! Kepala sekolah marah sambil berkata: memang kamu mau jadi petinju?!

Beberapa tahun kemudian perkataan kepala sekolahku terjadi, setelah lulus SMA aku masuk sasana tinju Metropolitan di Gedung KONI Kemakmuran, Jakarta Pusat. Aku berlatih tinju tiga kali seminggu, setiap hari Senin, Rabu dan Jumat dibawah asuhan pelatih Alm. Abdul Azis (mantan petinju DKI). Baru latihan satu kali (latihan footwork) pada hari Senin, latihan kedua (Rabu) aku sudah disuruh sparring melawan petinju yang sudah lama berlatih di sasana tersebut.

Aku pun melaksanakan instruksi pelatih, sparring melawan petinju yang sudah berpengalaman. Sepanjang tiga ronde, aku menjadi bulan-bulanan, dibuat seperti sansak hidup. Aku hampir tidak pernah memukul (memang belum dilatih memukul), sebaliknya jadi sasaran pukulan secara bertubi-tubi.

Alhasil, wajahku lebam-lebam, bibir jontor, rahang sulit digerakkan untuk mengunyah makanan, dan leher sulit digerakkan (sehingga untuk menengok kekiri dan kekanan, badan pun ikut bergerak/seperti robot). Puji syukur aku tidak pernah knock down, artinya aku tahan pukul dan memiliki footwork yang sudah baik (memang baru dilatih footwork).

Latihan ketiga (Jumat), dalam keadaan wajah dan leher masih sakit, aku kembali ke sasana. Aku mulai dilatih memukul dan menghindar. Setelah latihan teknik, kegiatan latihan diakhiri dengan sparring.

Secara mengejutkan, aku kembali disuruh sparring melawan petinju yang sama. Dalam hati aku berfikir, kejam sekali pelatih ini. Dalam keadaan wajahku yang masih babak belur, aku disuruh sparring lagi melawan orang yang sama, orang yang telah membuat wajahku lebam-lebam.

Dengan terpaksa aku melaksanakan instruksi pelatih, sparring melawan petinju yang dua hari sebelumnya membuatku babak belur. Aku mulai memberi perlawanan, sekali-sekali Aku berani memukul (memang sudah dilatih memukul). Lawanku pun mulai berhati-hati, tidak lagi leluasa mempermainkan aku seperti sansak hidup.

Sepanjang tiga ronde, aku berusaha bertahan agar tidak knock down. Aku pun berhasil menyelesaikan sparring tiga ronde tersebut tanpa knock down, kalau dihitung angka, tentunya aku kalah angka mutlak.

Minggu kedua dan ketiga, aku tidak pernah lagi diminta sparring. Minggu keempat aku ditawari ikut kejuaraan tinju antar sasana se-Indoneesia. Aku pun menerima tawaran tersebut.

Hanya satu bulan berlatih, aku berhasil meraih medali perak dalam Kejuaraan Tinju Hasanudin Cup 1. Sejak itu, kalau ada kegiatan sparring, aku dihadapkan dengan petinju yang berat badannya beberapa kelas di atasku. Bahkan aku pernah sparring melawan petinju dengan berat badan sampai empat kelas di atasku.

Beberapa bulan kemudian aku diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri sehingga tidak terlalu aktif lagi bertinju. Sebelum aku mengundurkan diri, aku masih sempat tampil lagi dalam Kejuaraan Tinju Arena Coliseum Cup 1 dan berhasil meraih medali perunggu. Saat itu medali emas diraih oleh Dominggus Siwalete yang dikemudian hari beralih ke tinju profesional dan pernah meraih gelar juara IBF Intercontinental.

Sampai saat ini aku tidak tahu persis, mengapa di awal bergabung ke sasana tinju tempat aku berlatih, aku dibuat babak belur seperti habis dikeroyok. Aku hanya menduga, mungkin mentalku sedang diuji. Seandainya setelah babak belur nyaliku ciut, mungkin aku tidak kembali lagi ke sasana itu.

Jika aku tidak kembali lagi, dapat dipastikan bahwa aku tidak akan pernah punya pengalaman jadi atlet. Aku bangga pernah jadi atlet, walaupun belum sampai pada level top atlet.

Demikianlah kisahku secara singkat tentang pengalamanku menjadi atlet. Semoga dapat memotivasi anak-anak masa kini yang ingin menjadi atlet untuk mempersiapkan diri dengan semangat pantang menyerah.

Tinggalkan Balasan