BELAJAR DARI SEPOTONG BISKUIT

Terbaru45 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

Pengalaman adalah guru yang baik. Peng-alam-an itulah kata asalnya. Dimaknai sebagai suatu persentuhan dengan panca indra yang dimiliki manusia yang dialami, dirasakan dan dihayati serta terekam dalam sanubari. Jadilah itu pengetahuan baru dalam hidup seseorang.

Pengalaman ada yang merasakannya sebagai sesuatu yang terasa pahit, menyedihkan atau menyenangkan. Ada yang mengatakan obat yang mujarab itu terkadang memang terasa pahit.

Inilah yang ingin saya ceritakan. Pengalaman masa kecil yang kala itu memang terasa pahit, menyedihkan dan menyakitkan hati. Apa lagi bagi seorang anak kecil yang pemahaman tentang hidup ini masih sangat awam dan terbatas.

Ayah yang seorang anggota TNI-AD kala itu, di tugaskan sebagai kepala gudang perbekalan operasi militer di Palopo, Sulawesi Selatan di tahun 1955. Kami keluarga juga ikut semua dan tinggal di sana selama dua tahun.

Suatu hari, sepulang sekolah saya diajak kakak ke kantor ayah. Siang itu kami berdua berjalan kaki dari sekolah ke kantor ayah. Meskipun jaraknya tidak begitu jauh, tetapi karena panas terik terasa lelah juga, haus dan lapar. Tujuan kakak mengajak saya kekantor ayah untuk minta biskuit. Biskuit ini memang bagian dari ransum tempur, yang bisa dibawa pasukan yang sedang menjalankan tugas operasi pengamanan dari gangguan gerombolan pengacau.

Biskuit ini padat zat gizi, dan mengenyangnya karena memang dibuat khusus sebagai ransum tempur. Kami anak-anak sangat menyukainya.

Siang itu saya dan kakak sampai di kantor ayah. Ketika ditanya ayah mengapa kami datang ke kantor, kakak menjawab mau minta biskuit karena lapar. Tetapi jawaban ayah membuat kami terkejut dan jujur sakit hati. Ayah menjawab dengan biasa tegas dan berwibawa yang memang kalau sudah bersuara tak ada seorangpun berani membantah atau menjawab. Jawabnya singkat” pulang minta uang sama mama beli kue”

Ayah orangnya memang tidak banyak bicara, meski kami semua tahu ia sayang pada anak-anaknya. Itu pengalaman masa kecil yang buat kami saat itu terasa tidak nyaman. Sudah jauh-jauh berjalan kaki di di bawah teriknyapgeriknya Sinar matahari, membayangkan mendapat biskuit yang sedap..wah ternyata hasilnya nihil.

Tetapi jauh setelah itu, ketika saya beranjak dewasa dan duduk dibangku kuliah, saya sering berbincang dengan ayah. Kadang ia bercerita tentang pengalamannya ikut operasi militer di Sulawesi Selatan, terkadang kami berdiskusi tentang situasi yang berkembang sehari-hari yang ditayangkan di televisi.

Suatu saat saya bertanya, mengapa dulu saya dan kakak datang ke kantor ayah meminta biskuit, tidak diberi tetapi disuruh pulang minta uang ke mama untuk beli kue.

Seperti biasa jawaban beliau singkat dan tegas ” itu fasilitas negara, bukan buat keluarga” Saya tersentak sadar. Sekarang saya paham, karena situasi sehari-hari kini menunjukkan banyak orang memanfaatkan fasilitas negara atau kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Itu menjadi pelajaran berharga untuk saya dan bekal ketika sudah memasuki dunia kerja.

Saya bersyukur karena dari sepotong biskuit saya belajar dan mendapat bekal dalam menempuh hidup ini. Itulah didikan ayah, sederhana namun memiliki makna yang sangat dalam. Ya, fasilitas negara bukan buat keluarga.

Tinggalkan Balasan