Sumber gambar: Tribunnews.com
Kisah ini berawal ketika saya mengantarkan seorang tetangga untuk berobat ke rumah sakit. Pagi itu, Sabtu, 2 Januari 2021, saya mengantarkan seorang tetangga samping rumah untuk berobat di salah satu rumah sakit yang jaraknya sekitar 5 km dari rumah. Saat itu, ia tengah demam, sakit kepala, dan rasa nyeri pada tubuh.
Sekitar pukul 08.20 WIB kami sampai di rumah sakit tersebut, kami segera melakukan pendaftaran (registrasi), setelah sebelumnya dilakukan test suhu tubuh oleh bagian security. Oleh petugas tenaga kesehatan, kami selanjutnya di arahkan untuk ke bagian IGD untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Ternyata, di ruang IGD tersebut sudah banyak pasien suspect Covid-19.
Oleh bagian pelayanan di IGD, kemudian kami diarahkan untuk menunggu di ruang dengan label merah. Label merah artinya, pasien dengan dugaan (suspect) Covid-19. Hampir 2 jam kami menunggu, namun belum ada panggilan dari suster yang bertugas. Kemudian saya menanyakan kepada suster yang bertugas, kapan tetangga saya tersebut dipanggil namanya untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan.
Ternyata, dia mengatakan dokter yang akan melayani baru datang, dan saya diminta bersabar, nanti akan dipanggil.
Karena kondisi tetangga saya tersebut semakin lemah, maka akhirnya saya meminta izin kepada suster tersebut untuk tidak jadi melakukan pemeriksaan di rumah sakit tersebut.
Akhirnya, kami keluar dari rumah sakit tersebut, dan menuju sebuah Balai Kesehatan yang jaraknya sekitar 5 km dari rumah sakit tersebut. Dengan mengendarai sepeda motor Honda Beat keluaran tahun 2016, saya melaju dengan kecepatan rendah menuju Balai Kesehatan yang dimaksud.
Sekitar pukul 10.30 WIB kami sampai di sana. Tanpa banyak menunggu waktu lama, sekitar pukul 11.00 WIB, penanganan pertama dilakukan dengan memeriksa tekanan darah pasien. Kemudian dokter menanyakan keluhan yang dialami tetangga saya tersebut. Atas permintaan pasien, akhirnya dilakukan test darah, untuk dilihat apakah ada penyakitnya, seperti tipus dan sejenisnya.
Akhirnya, test darah dilakukan sekitar pukul 11.30 WIB, dan kata dokter yang bertugas hasilnya baru keluar setelah jam istirahat (sekitar pukul 13.00 WIB).
Sambil menunggu hasil test darah, kamipun keluar mencari rumah makan yang berdekatan dengan masjid. Alhamdulillah, tidak jauh dari Balai Kesehatan tersebut, ada rumah makan soto Lamongan, dan berseberangan dengan masjid. Kamipun makan siang di sana, dengan memesan soto ayam plus nasi. Tampak pada tetangga saya tersebut, kondisi yang kurang baik. Hampir beberapa kali ia hendak muntah ketika sedang makan, dan mengeluh tubuhnya terasa nyeri dan kepala pusing.
Dengan sedikit perjuangan, akhirnya iapun menghabiskan soto dan nasi tersebut. Setelah makan siang dan sholat zhuhur, kamipun bergegas kembali ke Balai Kesehatan tersebut.
Setelah sampai kembali di Balai Kesehatan tersebut, hasil uji test darah belum keluar hasilnya. Kamipun harus menunggu sekitar setengah jam. Sekitar pukul 13.30 WIB hasinya keluar, dan dokter menjelaskan bahwa hasilnya tidak ada penyakit yang terdeteksi alias negatif tipus ataupun demam berdarah (DBD).
Selanjutnya, tetangga saya itupun meminta disuntik /injeksi vitamin. Setelah selesai, kamipun bergegas ke ruang kasir untuk menerima obat dan membayar seluruh biaya pengobatan.
Sekitar pukul 14.30 WIB, kamipun meninggalkan Balai Kesehatan tersebut, yang sebenarnya lokasinya tidak jauh dari rumah kami, hanya sekitar 3 km.
Sekitar pukul 14.45 WIB, kami sampai kembali di rumah. Karena waktu sholat ashar belum tiba, saya beristirahat sebentar sambil menghilangkan lelah setelah seharian di luar rumah untuk mengantar tetangga yang sakit. (Bersambung).***