Sumber gambar:Republika.co.id
Konflik di kawasan Timur Tengah, khususnya di Palestina seolah merupakan hal yang abadi. Bermula pada tahun 1947, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk membagi wilayah Mandat Britania atas Palestina. Tetapi hal ini ditentang keras oleh negara-negara Timur Tengah dan juga banyak negeri-negeri Muslim. Kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini. Sedangkan kota Yerusalem yang dianggap suci, tidak hanya oleh orang Yahudi tetapi juga orang Islam dan Kristen, akan dijadikan kota internasional.
Selanjutnya, pada tanggal 14 Mei1948 diproklamirkan berdirinya “Negara” Israel yang memicu kemarahan negara-negara arab di kawasan Timur Tengah. Negara-negara Arab seperti: Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, dan Irak mengirimkan tentaranya untuk menyerbu Israel. Namun, Israel justru memenangkan peperangan ini dan malah berhasil merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayah daerah mandat PBB Britania Raya, Palestina. Perang ini menyebabkan banyak bangsa Palestina mengungsi dari daerah Israel. Tetapi di sisi lain tidak kurang pula kaum Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab lainnya.
Berdirinya “Negara” Israel tidak lepas dari adanya gerakan Zionisme internasional yang menyerukan kepada orang – orang Yahudi untuk bermigrasi ke tanah Palestina dengan dalih bahwa itu adalah tanah para ayah dan kakek-nenek (Eretz Israel) mereka.
Mereka sangat antusias tentang Zionisme, karena didasari oleh keyakinan para pemuka agama Yahudi bahwa “Tanah Perjanjian” dan Negara Israel tidak boleh didirikan oleh manusia, tetapi harus dibangun oleh Mesias yang ditunggu-tunggu. Oleh karena itu, simbol-simbol penyambutan akan kedatangan “mesias” bisa kita lihat dari banyaknya pohon Gharqad (Lycium Arabicum Boiss) yang ditanam dan upaya melakukan rekayasa genetika terhadap sapi agar dapat melahirkan sapi betina yang berwarna “merah sempurna” atau tanpa noda maupun cacat.
Pada tahun 1975, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi 3379, menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Dikatakan demikian, karena gerakan Zionisme didasarkan pada suatu paham yang merasa ras diri sendiri merupakan ras yang paling tinggi daripada ras lainnya. Orang – orang Yahudi meyakini bahwa merekalah satu-satunya bangsa “pilihan Tuhan”, sehingga orang di luar mereka disebut dengan goyim atau gentile yang tak layak mewarisi bumi.Hal inilah mungkin yang menjadi sebab utama, mengapa para tentara “Israel” begitu mudahnya membunuh anak-anak dan kaum wanita tanpa sedikitpun ada rasa prikemanusiaan.
Konflik di Timur Tengah bisa jadi tidak akan pernah berakhir, selama akar permasalahan yang menjadi pemicu konflik tidak diselesaikan dengan baik. Banyak orang yang berpendapat bahwa konflik di Timur Tengah, khususnya Palestina dan Israel bukanlah masalah agama, tetapi hanyalah masalah pengakuan hak milik atas tanah. Bangsa Israel meyakini bahwa tanah yang mereka rebut dari Palestina adalah tanah kakek nenek mereka sejak zaman dahalu, tepatnya sejak zaman Nabi Ya’kub (Jacobus) hingga Nabi Musa (Moses). Sementara pihak Palestina juga meyakini bahwa mereka adalah pewaris sah tanah palestina sejak penaklukannya oleh Khalifah Umar bin Khattab hingga Khilafah Usmaniyah (Turki Ottoman).
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa sesungguhnya faktor agama merupakan variabel yang paling menentukan dan menjadi “bahan bakar” utama terpeliharanya konflik Israel-Palestina hingga saat ini. Dengan penafsiran dari kitab suci masing-masing, tentunya tidak akan mengalami titik temu selama tidak ada sikap saling mengendalikan diri dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Akankah konflik Timur Tengah, khususnya Israel dan Palestina baru akan berakhir ketika dua kekuatan besar dunia bertemu menjelang akhir zaman?. Di mana masing-masing kelompok dipimpin oleh mesiasnya masing-masing?.
Wallahu a’lam bisshowab.***
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Arab-Israel_1948
https://id.wikipedia.org/wiki/Zionisme#:~:text=Zionisme