Mencari Ketua RT/RW di Era Digital: Sebuah Dilema

Birokrasi, Politik87 Dilihat

Sumber gambar: Kebumenkab

Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dikenal istilah Rukun Tetangga dan Rukun Warga atau disingkat RT dan RW, yang merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang berada di wilayah kelurahan atau desa.

Organisasi Rukun Tetangga dan Rukun Warga tidak disebut dan tidak termasuk dalam sistem pemerintahan, dan pembentukannya adalah melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh desa/Kelurahan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, pasal 1 disebutkan bahwa : Rukun Warga, untuk selanjutnya disingkat RW atau sebutan lainnya adalah bagian dari kerja lurah dan merupakan lembaga yang dibentuk melalui musyawarah pengurus RT di wilayah kerjanya yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa atau Lurah.

Rukun Tetangga, untuk selanjutnya disingkat RT atau sebutan lainnya adalah lembaga yang dibentuk melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa atau Lurah.

Sementara itu, dalam Permendagri No. 18 tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, pasal 7, disebutkan bahwa tugas RT dan RW adalah :

  1. membantu Kepala Desa dalam bidang pelayanan pemerintahan;
  2. membantu Kepala Desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan; dan
  3. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.

Dewasa ini banyak pemilihan Ketua RT dan RW di Indonesia yang mirip Pemilihan Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah yaitu dengan pemungutan suara. Bahkan tidak jarang kita lihat ketika memasuki masa pemilihan ketua RT/RW, tampak disana-sini gambar-gambar calon ketua RT/RW terpasang di tempat-tempat strategis. Tidak sedikit dari mereka yang  memiliki tim sukses agar memenangkan persaingan dalam ajang pemilihan tersebut.

Perubahan ini dapat kita lihat paling tidak pasca dimulainya sistem pemilihan langsung dalam tata pemerintahan pusat maupun daerah di Indonesia. Ditambah lagi sejak mulai adanya insentif atau honor untuk ketua RT/RW yang bersumber dari APBD, yang memang besarannya masih relatif. Sebagai contoh misalnya, di DKI jakarta, pada tahun 2004 insentif untuk RT hanya sebesar Rp 150.000/bulan dan RW Rp 200.000/bulan.

Namun pada tahun 2012 besarannya meningkat menjadi Rp 650.000/bulan untuk RT dan Rp 800.000/bulan untuk RW. Sedangkan di tahun 2021 akan ditingkatkan lagi menjadi Rp 1.500.000/bulan untuk RT dan Rp 2.000.000/bulan untuk RW.

Ketua RT dan RW memang bukan jabatan politis, tetapi ia merupakan jabatan sosial. Oleh karena itu aspek kepercayaan masyarakat menjadi hal yang paling utama sebagai penyebab adanya jabatan RT/RW  “seumur hidup”.

Bagi mereka yang menjabat sebagai ketua RT/RW dalam waktu lama, ini membuktikan bahwa masyarakat terlanjur percaya kepada mereka karena kinerja yang telah mereka lakukan selama ini. Biasanya mereka adalah orang yang “sudah selesai terhadap dirinya” sehingga tidak lagi membutuhkan banyak kebutuhan duniawi. Tidak terlintas dalam benak mereka selain mengabdikan diri dan waktunya untuk masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, terjadi pula paradigma terhadap posisi ketua RT/RW. Saat ini, menjadi ketua RT/RW seolah sesuatu yang fantastis dan menjanjikan “banyak hal”.

Banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi ketua RT/RW, sehingga jabatan ketua RT/RW saat ini (paling tidak di lingkungan tempat tinggal penulis) menjadi sebuah posisi yang diperebutkan.

Kalau kita perhatikan dalam permasalahan ketua RT/RW di era digital ini, terjadi suatu dilematis. Kita menginginkan seorang ketua RT/RW yang sehat jasmani/rohani, memiliki kompetensi sosial, memiliki integritas, dan mempunyai kapasitas dalam penguasaan teknologi informasi, namun mereka tidak memiliki waktu untuk mendarmabaktikan dirinya di masyarakat.

Karena mereka masih “sibuk dengan dirinya”, mereka masih aktif bekerja untuk memenuhi nafkah keluarganya, pergi pagi pulang sore biasa mereka lalukan. Sehingga tidak ada waktu untuk membaur apalagi menumpahkan sebagian besarnya waktunya di masyarakat.

Sementara yang terjadi adalah, para calon ketua RT/RW adalah para “pensiunan” yang mungkin secara usia sudah kurang produktif lagi, di samping itu biasanya mereka kurang melek teknologi. Padahal faktor yang kedua ini merupakan tantangan yang harus dikuasai agar tidak tertinggal di zaman yang bergerak begitu cepat ini.

Lalu bagaimana solusinya?, agar kita memiliki ketua RT/RW yang usianya masih produktif, memiliki banyak waktu luang untuk masyarakat, melek teknologi, sehat jasmani/rohani, memiliki kompetensi sosial, dan memiliki integritas?. ***

Tinggalkan Balasan