Desa Terindah di Dunia

Cerpen, Fiksiana13 Dilihat

Aku dan Chayra menghabiskan waktu libur di rumah Nenek. Liburan kali ini seru sekali. Tak puas-puas rasanya kami menikmati keindahan dan keunikan sang Kota Budaya. Setiap hari Nenek, Om Haris dan Tante Nisa mengajak kami berjalan-jalan ke tempat-tempat bersejarah. Ada cagar budaya Batu Batikam di Nagari Limo Kaum, Prasasti Adityawarman di Pagaruyuang, Prasasti Kubu Rajo di Saruaso dan Batu Angkek-Angkek di Sungayang. Setiap peninggalan memiliki sejarahnya masing-masing. Tidak salah jika Batusangkar disebut sebagai Kota Budaya. Aku bangga dengan kampungku.

Namun kali ini berbeda. Om Haris mengajak kami ke desa terindah di dunia.

“Di dunia? Benarkah Om? Di sini ada desa terindah di dunia?” Aku dan Chayra tidak percaya.

“Iya,” kata Om Haris meyakinkan.

“Idih..gak percaya. Yuk kita ke sana?” ajak Tante Nisa.

Kami pun berangkat. Aku dan Chayra sangat menantikan bagaimana desa terindah ini. Apa benar yang diucapkan Om Haris dan Tante Nisa. Tidak lama berkendara, sampailah kami di Nagari Pariangan. Sepanjang perjalanan, hamparan sawah berjenjang-jenjang memenuhi ruang pandang. Aku dan Chayra menikmati pemandangan sembari merasakan angin memainkan jilbab kami. Udara yang bersih terasa menyegarkan tubuh.

Om Haris belok kanan di simpang yang bertuliskan Selamat Datang di Desa Terindah di Dunia versi Budget Travel, majalah pariwisata internasional. Memasuki simpang itu, perjalanan kini mulai mendaki karena memang desa ini terletak di lereng gunung. Kami langsung takjub dengan panorama alam hijau yang begitu asri dan alami. Sawah-sawah tertata rapi, berjenjang dan makin ke atas makin indah terlihat. Gunung, sungai, sawah, kebun tersusun begitu apik. Rumah penduduk dibangun bertingkat-tingkat mengikuti pola dari lereng gunung. Sehingga terlihat rapi dan enak dipandang mata.

Desa ini tidak begitu tergerus oleh modernisasi zaman. Rakyatnya masih mempertahankan warisan budaya Minang tradisional. Di sana masih banyak kita temui rumah adat Minang bagonjong dan bangunan-bangunan tua yang terjaga kelestariannya. Situs-situs sejarah seperti prasasti dan makam tokoh adat dipelihara dengan baik. Masyarakatnya peduli dengan peninggalan sejarah.

“Masjid itu unik sekali ya Om?” kata Chayra ketika kami melintasi masjid tua.

“Tentu saja. Masjid ini sudah ada sejak abad ke 19. Sudah tua sekali ini,” jelas Om Haris.

“Wah, keren.” Kami pun terpukau.

“Kalian tahu, Desa Pariangan adalah cikal bakal lahirnya masyarakat Minangkabau. Nagari Pariangan merupakan desa paling tua awal mula Kabupaten Tanah Datar atau yang dikenal dengan Luhak Nan Tuo berasal. Kata masyarakat sekitar, leluhur Minang dahulu kala berasal dari Gunung Marapi. Dahulu, puncaknya masih berupa daratan, lalu daerah sekitarnya adalah perairan. Ketika air mulai surut, masyarakat membangun perkampungan di wilayah gunung,” Om Haris menjelaskan sedikit sejarah desa Pariangan.

Aku dan Chayra tersihir akan keelokan desa dengan segala keindahan dan kisah sejarahnya.

“Bang, yuk kita minum kopi kawa daun,” kata Tante Nisa kepada Om Haris setelah puas melihat-lihat.

“Kopi kawa daun?” Kami serentak bertanya.

“Nagari Pariangan terkenal dengan kopi kawa daunnya yang nikmat. Di sana saja Bang,” kata Tante Nisa sambil menunjuk ke dangau kopi yang kami lewati.

Om Haris memarkir mobilnya di depan kedai yang terbuat dari bambu. Kedai ini menghadap ke arah jalan raya. Di seberang jalan terdapat sawah yang luas terbentang. Nampak juga gunung Marapi yang tertutup kabut putih tipis.

Setelah memesan kami duduk lesehan di tempat yang disediakan. Tak lama pemilik dangau menyajikan kopi di dalam tempurung kelapa yang sudah dibentuk menjadi gelas yang unik. Disediakan juga gorengan panas untuk menemani kami menikmati kopi. Udara dingin dengan suasana yang asyik sangat cocok dengan secangkir kopi dan gorengan.

“Kok namanya kopi kawa daun Tante?” tanyaku pada Tante Nisa yang sedang menyeruput kopinya.

“Kopi ini terbuat dari daun kopi yang diseduh seperti teh. Bukan dari biji kopi seperti kopi biasanya.”

“Daun kopi?”

“Iya, ada sejarahnya lo ini. Dahulu saat penjajahan Belanda, penjajah memberlakukan tanam paksa. Rakyat dipaksa menanam kopi namun bijinya diserahkan demi kepentingan perdagangan. Rakyat yang ingin menikmati kopi akhirnya mengolah daunnya untuk dijadikan kopi.” Jelas Tante Nisa.

“Oh begitu ya Tante. Tapi aku tidak suka kopi. Pahit.” Kata Chayra.

“Bisa tambahkan susu kok, sebentar ya. Tante panggil pemiliknya dulu.”

Tak berapa lama kopi kawa daun campur susu sudah tersedia. Aku dan Chayra sangat menyukainya. Perpaduan pahit manisnya pas, hangat dan segar diminum di tempat yang dingin. Ditambah dengan gorengan hangat yang membuat perut kami kenyang.

“Enak sekali ya Tante. Terima kasih ya,” ucap kami riang.

Tinggalkan Balasan