Dear Aisyah…
Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan kepadamu. Sebenarnya aku ingin bertemu dan menjelaskan apa yang terjadi, tapi aku tidak sanggup melihat air matamu yang akan keluar.
Jujur……..
Aku sangat bersyukur dicintai dan mencintai wanita seperti dirimu. Terima kasih banyak atas kasih sayangmu yang telah memberikan warna di setiap hari-hariku selama ini. Namun kamu harus tahu juga bahwa cintaku sangat sempurna untukmu sehingga tidak ada tempat tersisa untuk wanita lain.
Tapi…..
Aku tidak pernah menyangka kepulanganku saat ini akan menjadi akhir dari semua yang sudah kita rajut selama ini. Aku tetaplah seorang anak yang wajib patuh pada orang tua dan harus mengikuti keinginan ibu dan abah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku harus rela menerima Fatma sebagai istriku tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.
Aisyah tidak kuasa melanjutkan membaca isi surat Umam hatinya hancur, bumi terasa runtuh. Dadanya terasa sesak napas terasa tersekat ditenggorokan. Air matanya tumpah tidak bisa tertahankan lagi. Dia menangis tersedu-sedu menumpahkan segala rasa yang tidak bisa dikeluarkan dengan kata-kata.
May memeluk Aisyah, sambil mengelus punggung temannya itu. May tidak tega melihat sahabatnya dengan kondisi seperti ini. Diapun ikut meneteskan air mata. Hanya kali ini dia melihat Aisyah menangis seperti itu.
Bagi May, Aisyah adalah wanita yang sangat kuat dan tangguh menjalani kehidupannya selama ini yang sangat sulit. Tapi hari ini dia melihat sahabatnya begitu rapuh, tidak berdaya.
May tidak tahu harus berkata apa. Karena dia belum tahu isi surat yang dititip Umam beberapa waktu lalu. Dibiarkan temannya menangis sampai hatinya merasa lega.
Rasa penasaran yang membuat May mengambil surat itu dan membacanya. Dia kembali memeluk sahabatnya sambil berucap.
“Sabar Ais, saya yakin kamu mampu menjalani semua ini. Mungkin Umam bukan lelaki yang cocok untukmu. Insyaallah Tuhan punya rencana yang lebih indah untukmu. Allah mungkin akan memberikanmu pendamping hidup yang jauh lebih baik dari Umam.”
Kata-kata May sedikit membuat hati Aisyah lega. Hanya Isak tangisnya yang masih terdengar.
“Kamu bukan Aisyah yang cengeng, kamu wanita kuat. Saya tahu, hal ini pasti sangat berat bagimu. Tapi, seiring berjalannya waktu kamu akan bisa melupakan Umam dan Insyaallah kamu bisa menemukan pengganti Umam, lelaki yang lebih baik. Ucap May kembali mengingatkan sahabatnya. Diraihnya kembali lembaran yang sempat terlepas dari tangannya dan melanjutkan membaca isinya.
Semua sudah disiapkan sebelum aku pulang. Fatma adalah wanita pilihan orang tuaku. Gadis yang masih ada hubungan keluarga denganku. Alasan menyambung ikatan keluarga itulah akhirnya aku harus menikah dengannya.
Akupun kaget saat mengetahui semua ini, dan sempat berontak. Tapi mungkin ini sudah menjadi takdir kita berdua harus berpisah dengan cara seperti ini. Maafkan aku dan aku yakin Allah punya rencana yang lebih indah untuk kita berdua. Saya hanya berharap suatu hari nanti Allah bisa mempertemukan kita dengan kondisi dan situasi yang lebih berbeda.
Dari
Umam.
Dilipatnya kembali surat tersebut dan dimasukkan lagi ke dalam amplop ya. Masih tampak kesedihan di wajah Aisyah. hal ini terpancar dari sorot matanya yang sendu. Mata yang selama ini berbinar seperti hilang semangat.
“Ada yang lebih penting dari menyesali kejadian ini yaitu menyelesaikan kuliah S2 mu agar kamu bisa merubah kehidupan keluargamu menjadi lebih baik. Itukan yang selalu kamu ucapkan padaku,” ucap May mengingatkan sahabatnya.
Kalimat May menyadarkan Aisyah tentang cita-cita hidupnya selama ini. Dia belajar dan bersedia melakukan apapun untuk bisa merubah ekonomi keluarganya yang selama ini jadi pemulung. Aisyah ingin melihat bapaknya berhenti keliling mengumpulkan barang bekas dan berniat membuka bengkel sebagai usaha baru bagi sang bapak . Dia sering melihat bapaknya memperbaiki sepeda Aisyah saat tidak bisa dipakai atau sekedar membantu tetangga memperbaiki sepeda motor yang mengalami gangguan.
Diusapnya air mata yang masih tersisa dengan punggung tangannya dan langsung berdiri di depan sahabatnya sambil berkata
“Kamu benar May, aku tidak boleh meratapi nasib, aku harus tetap tegar dan menjalani hidupku. Bapak dan adik-adik masih sangat membutuhkanku. Aku ingin mereka bisa hidup lebih layak.”
Kedua gadis itu pun berpelukan. Cuaca hari itu sangat terik, seolah-olah menggambarkan panasnya hati Aisyah saat ini. May mengajak Aisyah diam dulu di rumahnya sampai kondisi cuaca mulai bersahabat lagi. (Bersambung)