Fadli duduk di belakang kemudi. Mobil melaju dengan kecepatan tidak terlalu kencang. Sesekali matanya melirik kendaraan di belakang melalui kaca spion. Lagu “Bila rasaku ini rasamu” dari Kerispati mengalun syahdu dari tape recorder membawa ingatan lelaki itu terseret ke masa lalu. Dimana dia harus berjuang meraih masa depannya dan menjadi pribadi baru di negeri Piramida. Saat dia harus menjadikan Parhan dan May Intel Rahasianya hanya untuk sekedar mendapatkan kabar tentang Aisyah.
Lelaki itu tampak tersenyum sendiri, membayangkan begitu detail info yang dia dapatkan tentang gadis yang membuatnya bisa sampai seperti sekarang ini. Wajah manis Aisyah seolah ikut mentertawakan kebodohannya, dia bisa mencintai wanita yang pernah dibencinya setengah mati.
Rasa lelah yang mendera seharian bekerja seakan hilang. Terbayang sikap Aisyah yang sudah mulai lunak padanya. Rasa hati ingin secepatnya sampai rumah teringat janjinya dengan gadis berwajah Ayu itu.
Direbahkan tubuhnya di sofa panjang sembari menselonjorkan kedua kaki untuk sekedar meluruskan otot. Badannya terasa segar setelah diguyur air. Aroma parfum maskulin menusuk penciuman menambah fress suasana malam. Dipantaskan dirinya di depan cermin sekedar menyakinkan penampilannya.
Dia melirik arloji di pergelangan tangannya 19.37 saat dia baru saja menjejakkan kaki di depan pintu rumah Aisyah. Gadis itu pun langsung membuka pintu begitu mendengar salam. Keduanya langsung pergi setelah mendapat ijin dari pak Sukri.
Sesekali Fadli mencuri pandang ke arah Aisyah yang duduk di sampingnya. Gadis yang tampak anggun dengan gamis kuning telur di padu jilbab motif bunga hanya tersenyum. Warna warni lampu jalanan, serta kerlap kerlip bintang seakan ikut menari menemani dua sejoli menyusuri jalanan menuju sebuah restorant seefood.
Restoran yang berada di pusat kota itu tidak begitu ramai oleh pengunjung. Memasuki tempat ini seolah berada di negeri tirai bambu. Lampion-lampion warna merah bergelatungan di setiap sudut ruangan. Kursi dan sofa diatur sedemikian rupa sehingga terlihat asri. Senandung rindu melantun dari biduanita diiringi pianis yang duduk disampingnya. Suaranya menggema di penjuru ruangan.
Fadli menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan, seolah mengisyaratkan untuk duduk di sana. Sebuah lampu lilin sengaja diletakkan di atas meja sehingga terkesan romantis.
“Mau makan apa?” Tanya Fadli setelah mereka duduk berhadapan.
“Apa saja boleh,” ucap Aisyah. Tampak dia begitu menikmati alunan lagu hingga matanya tak berkedip memandang sang biduanita.
Pemuda itu pun memesan dua porsi makanan dan minuman yang memiliki standar kesehatan dengan jenis yang sama persis, maklum seorang dokter.
Fadli memainkan ponselnya, hembusan napasnya terdengar berat, lututnya bergoyang-goyang di bawah meja yang tertutup kain satin.
“Ada apa mas, sepertinya sedang gelisah?” Tanya Aisyah.
“Ais, maukah ka…mu menikah denganku?” Ucapnya spontan dibarengi tarikan napas panjang dan langsung dihembuskan seolah terbebas dari beban berat.
Bola mata Aisyah melebar, dada terangkat, kedua bahu naik, napasnya berhenti sesaat. Ucapan spontan Fadli membuatnya seperti patung, tak bergerak sedikit pun. Hingga suara pramusaji yang membawa pesanan menyadarkannya kembali.
Aisyah langsung berdiri, meminta izin ke tolilet. Fadli hanya bisa menatap punggung gadis itu hingga menghilang di balik tembok. Rasa penyesalan berkecamuk di hatinya, takut kalau Aisyah kembali menjauhinya.
Aisyah menatap wajahnya di cermin, dilonggarkannya jilbab spasmina yang melilit leher, berharap bisa bernapas lega. Seolah tak mampu memikul rasa kagetnya, Jemarinya langsung memencet ponsel mencari nomer sahabatnya.
“Assalamualaikum, sambil menarik napas panjang.
“Waalaikumsalam, apa yang terjadi Ais, Napasmu terdengar berat?”
Dengan suara terbata-bata Aisyah menceritakan apa yang didengarnya dari Fadli.
“Ssssttttt….” Dia menempel jarinya di bibir seolah memberi kode kepada sahabatnya untuk berhenti tertawa.
“Emang apanya yang lucu, sampai harus tertawa seperti itu?” Sahutnya sewot.
“Ya..lucu aja, di ajak kawin malah kayak orang di kejer hantu aja suaramu!”
“Aku serius!” Suara Aisyah dengan nada penekanan membuat May kembali focus.
Ibu muda itu pun menyakinkan Aisyah yang sudah dianggap saudaranya sendiri itu untuk menerima tawaran dokter muda itu.
“Saya nyakin dia sudah berubah, dia bukan Fadli yang dulu, sekarang dia lebih dewasa dan bijaksana. Biar kamu cepat punya anak kayak aku ini,” gurau May sebelum menutup telponnya.
Dia kembali menatap dirinya di cermin, sekedar menyakinkan dirinya bahwa Fadli sudah berubah, sembari merapikan baju dan jilbabnya sebelum akhirnya dia menemui lelaki tersebut.
“Kenapa makanannya belum di sentuh,” tegur Aisyah saat melihat makanan di depannya masih utuh.
“Biar kita makan bareng,” hanya itu kalimat yang keluar sampai suapan terakhir.
“Apakah mas serius dengan ucapan tadi,” suara Aisyah memecahkan kebisuan diantara mereka.
Fadli hanya mengangguk sambil menenggak air putih yang tersisa di gelas.
“Bagaimana, apa kamu bersedia?”
Lampu temaram membuat wajah Aisyah yang berubah kemerahan tidak begitu terlihat, saat dia mengganggukan kepala menerima lamaran Fadli.
“Yess…” tanpa sadar lelaki bertubuh atletis itu mengepalkan tangannya sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang putih.
Cahaya rembulan dan kerlap kerlip bintang seolah menjadi saksi bisu ikatan suci antara keduanya. (Bersambung)