Mungkinkah Cinta (part 2)

Cerpen, Fiksiana, KMAB200 Dilihat

Part Edwin

Semua orang selalu menganggapku pintar, tapi aku tidak pernah merasa pintar. Semua mengatakan aku keras kepala, padahal aku hanya mempertahankan apa yang aku anggap benar. Coba saja fikir zaman sudah di era 2000-an tapi masih ada yang namanya ploco – plocoan seperti zaman 1970-an yang diputar pada TV film Indonesia yang memutar film – filmnya Rano Karno dengan arti cewek berganti – ganti seperti Lidya Kandau, Yessi Gusman, Yenni Rachman, dan banyak lagi yang selalu menampilkan masa ploncoan pada awal tahun baru mata pelajaran, entah itu di SMA atau tahun pertama kuliah. Kuino, tidak kreatif, sudah zaman melenia seharusnya masa perplocoan diisi dengan uji kompeten dan komputerisasi atau semacamnya. Tapi yang namanya Indonesia selalu mengenang zaman kekuasaan yang selalu disalah artikan, pasti ada yang marah dengan membaca ini tapi itulah yang aku rasakan.

Kampus seharusnya menjadi tempat untuk lebih mawas diri dan berbuat yang terbaik sebelum terjun kedunia pekerjaan yang tatangan lebih berat tentunya. Tapi aku masih melihat beberapa mahasiswa yang kerjanya hanya membuat uang orang tua, tapi tidak merasa itu merugikan orang lain. Jika makan bisa dikunyahkan orang lain, tentu saja ada yang mau melakukannya dengusku lemah.

Seperti tidak ada mahasiswa lain saja di kampusku ini, padahal beberapa hari yang lalu aku sudah menolak tawaran menjadi ketua KKN, tapi dengan alasan harus ada mahasiswa yang bisa membuat nama baik kampus bagus tetap saja pihak kampus kekeh memilihku.

Aku bergegas menuju ruang senat, pasti ada yang bisa mengantikan posisiku batinku. Siapa sich cewek yang sok akrab ini, tidakkah ia bisa melihat rawut wajahku lagi kusut. Benar – benar tidak bisa membaca ekspresi, untung saja aku tidak menumpahkan kejengkelanku padanya.

Part Putri.

Aku masih mengingat kejadian tadi siang, tapi yang aneknya aku tidak bisa menyimpan rasa kesalku terlalu lama untuk makhluk yang bernama Edwin itu. sudah 4 tahun aku mengawasinya dari kejauhan, untung saja tidak ada yang mengetahuinya jika tidak mau ditaruh dimana wajahku ini. Sambil tersenyum sendiri aku membantin ditaruh di dadamu wajahku ini pasti aku mau.

Sudah hampir dipenghujung masa kampus biru, tapi hatiku masih terpatri pada sosok yang aku pastikan selama ini tidak pernah memperhatikanku. Hampir setiap hari aku memperhatikannya bagaimana dia akan tergesa – gesa masuk kelas jika sudah terlambat tapi dosen yang berada di dalam kelas sepertinya maklum dengan keadaanya.

Bukan hanya satu atau dua kali, Edwin akan masuk kelas dengan tangan yang masih hitam karena oli. Ya oli, Edwin bukan anak orang susah bapaknya seorang pejabat di kementrian tapi dari cerita yang ku dengar Edwin tidak pernah memanfaatkan keadaan orangtuanya. Mobil mewah bukan tidak bisa dia beli atau pamerkan tapi Edwin lebih memilih menaiki motor ninja seken yang dibelinya hasil bekerja di bengkel otomotif. Lucu ya aku bisa tahu tentang Edwin, ya begitulah karena ada apa – apanya maka aku mencari informasi tentang Edwin. Ya cerita tentangnya selalu membuatku merasa bahagaia.

Jadi teringat kejadian sewaktu kami di semester 5, salah seorang mahasiswi jurusan ekonomi yang canti. Ya memang cantik, aku saja yang perempuan mengatakannya cantik bagaimana dengan mahasiswa di kampusku, pasti mengatakannya cantik.

Tapi kata yang keluar dari mulut Edwin sungguh membuat siapa saja yang mendengarkannya saat itu pasti akan mengelengkan kepala dan mengatakan Edwin tidak waras.(bersambung)

Tinggalkan Balasan