Aishiteru Yo (1)

Air yang membasahi wajahku memberikan rasa segar yang tak terhingga, sesak yang menyelimuti diri seketika lenyap ketika aku mengambil air wudhu. Selesai sudah doa berwudhu aku melangkahkan kaki menuju mushola sekolah, mengambil jatah sholat dhuha membiarkan semua orangnya menikmat waktu istirahat dengan mengemil karena baru bel istrirahat jam Sembilan tiga puluh.

Aku tak sendiri, ada beberapa orang guru serta siswa yang sudah dulu masuk mushola pasti dengan tujuan yang berbeda, tujuanku yang paling utama adalah mengadukan semua sakit hati yang baru saja aku terima.

“Ana, Abang tidak pulang tahun ini masih ada pekerjaan yang belum mengizinkan Abang pulang.” Entah dusta yang keberapa lagi Bang Faizal ucapkan tahun ini.

Jika aku tidak mendapatkan bukti nyata Bang Faizal mendua mungkin tidak akan sesakit ini.

Mengangkat takbir, tidak mau berlarut dalam sedih lebih baik aku mengadu kepada – Nya.

Menetes air bening yang sudah sekuat tenaga aku tahan, mengusap wajah untuk menyamarkan tangisku biar semuanya bersatu bersama doa yang aku panjatkan.

Melipat semua peralatan sholat, bangun dan melangkah menuju ruang majelis guru masih ada siswa waktu lima menit untuk aku sekedar minum untuk membasahi tenggorokan sebelum masuk lagi mengajar.

***

Lonceng panjang tanda berakhirnya pelajaran ini sudah berlalu setengah jam, aku masih berkutat dengan buku latihan siswa yang menemani aku sejak dua mata pelajaran terakhir.

Melihat suasana susah hening, aku membereskan semuanya apalagi pesuruh sekolah sudah memberik kode yang ketiga kepadaku.

“Masih lama Bu.” Senyum kecutku berikan Aku telah menyita waktunya untuk beristirahat.

Melangkahkan kaki menuju parker motor, hanya tinggal motorku saja.

“Masih di sekolah Bu, apa siswa kelas XII masih belajar.” Belum juga aku menjalankan motorku, seseorang menyapaku.

Aku menelisik sosok yang berdiri tegap di depanku, mengingat dirinya yang sekarang sedang memandangku intens dengan raut wajah sama mencari ingatan apakah kami pernah bertemu.

“Suryana, bukankah kau Suryana.” Ucapnya membuat aku semakin memikirkan dimana kami pernah berjumpa.

“Fakhri.” Ujarku setelah mengingat siapa dirinya.

“Ternyata mengajar di sini Ana.” Fakhri menyebut nama kecilku semasa kami duduk di Sekolah Menengah Tas.

“Sudah lima tahu aku mengajar di sini, siapa yang sekolah di sini.” Ucapku

“Dinda adikku yang bungsu.”

“Aku kira anakmu Ri.” Aku menyebut nama kecil Fakhri

“Gila mana mungkin anakku sudah duduk di kelas XII walaupun aku menikah anakku pasti masih kecil.

“Belum menikah bukannya sudah punya calon.” Tanyaku

“Calonku dari dulu tidak memberikan respon sepertinya aku harus menunggu lama untuk menikah.

Senyumku mengembang, siapa wanita yang beruntung mendapatkan Fakhri, jadi teringat ketika duduk di kelas XII, Fakhri pernah menyatakan cintanya tapi karena kami akan kuliah pada kota yang berbeda aku menolak.

“Masih ingat janjimu Ana, akan mempertimbangkan jawabanku jika kita tidak terbentang jarak lagi.” Aku hanya menunjukkan cincin yang melingkat manis di jariku.

“Sepertinya aku selalu terlambat untuk memilikimu.” Wajah sedih ketika Fakhri mengatakan isi hatinya.

***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan