Aku, Mereka dan Cinta

Napasku terengah – engah, entah mimpi aku semalan motor yang menjadi tungganganku sehari – hari mogok pagi ini.

Belum lagi naas hari ini tidak bisa membawa bekal, gas untuk memasakpun habis, masih gelap untuk mengedor pintu warung bagi membeli gas.

Keringat sebesar jagung membasahi jilbabku yang berada dibawah dagu.

“Terlambat Bu?” aku menganggukan kepala untuk jawaban pertanyaan pak satpam yang selalu menjaga pintu sekolahku.

Langsung menuju kelas, tidak ada waktu untuk sekedar mampir meletakkan barang bawaanku ke dalam majelis guru.

“Bu Cahaya tidak pernah terlambat Pak.” Gema suara mereka peserta didikku menembus gedang telingaku saat ini.

Langkahku yang berlari seperti angina terhenti seketika tidak berani melanjutkan kaki memasuki kelas yang hanya tinggal sejenggal.

Pasti bapak kepala sekolah masuk ke kelasku, sudah menjadi kebiasan jika ada guru yang berhalangan hadir Bapak kepala sekolah masuk mengantikannya.

“Assalamualaikum.” Ucapku tidak mau berlama di luar kelas.

“Walaikumsalam Ibu Cantik.” Koor mereka peserta didikku terdengar.

“Maaf Pak saya terlambat, saya salah tidak mengecek motor saya sehingga terlambat datang kesekolah.” Ucapku tidak ingin membela diri.

Memang salahku, seharusnya aku memeriksa segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaanku untuk mencari rezeki tapi karena kelalaianku mereka peserta didikku harus tersita waktu belajarnya.

“Sudah ada Bu Cahaya yang mengantikan Saya, semangat belajarnya.” Ucap kepala sekolah sebelum melangkah keluar kelas.

Netra kepala sekolah memandangku dengan pandangan yang tidak bersahabat.

***

Aku lagi sibuk memeriksa tugas mereka peserta didik yang sudah menumpuk.

Waktu kosong aku gunakan untuk memeriksa hasil kreatif mereka, walaupun masih banyak yang salah tapi aku percaya mereka sudah berusaha keras mengerjakan tugas yang aku berikan.

“Maaf Bu, Bu Cahaya dipanggil keruang kepala sekolah.” Aku terganggu oleh suara pesuruh sekolah yang menyampaikan pesan kepadaku.

“Baik, terima kasih Bu Wati.” Senyum aku berikan kepada pesuruh sekolah kami.

Pikiran kemana – mana selam menuju ruang kepala sekolah.

Hanya sekali terlambat aku sudah dipanggil keruang kepsek, aku terus berpikir mencari dimana salahku karena tak menemukan jawaban aku hanya pasrah.

“Masuk.” Ketukan dipintu aku berikan setelah sampai dirungan kepsek.

Perlahan aku membuka pintu ruangan kepsek dan masuk ke dalam.

“Duduk.” Suara itu tidak bersahabat.

Jangan sampai aku kena SP 1, anganku terus mengembara.

Pertanyaan terus mengelayut di benakku, sudah dua orang guru honer yang kena SP dengan alasan yang tidak jelas.

Masih tergiang ucapan Pak Kepsek ketika kami dikumpulkan bebarapa waktu lalu.

“Tidak siap jadi guru lebih baik berhenti, daripada merusak generasi muda harapan bangsa. Jangan jadikan profesi guru yang katanya bisa dimanupulasi waktunya sehingga bapak/ibu bekerja separuh hati. Ladang pahala yang seharusnya kita dapat dengan mengabdi menjadi ladang dosa.” Suasana mencekam kala itu tak ada seorangpun yang berani bersuara.(Bersambung)

 

Tinggalkan Balasan