Belahan Jiwa (3)

Cerpen, Fiksiana10 Dilihat

“Kita perlu bicara, tak akan selesai jika Intan terus menghindar.” Suara yang biasanya membuatku merindu.

“Baru satu kali Intan menghindar, apakah itu menyakitkan Abang? Pernahkah Abang berpikir berapa banyak Abang menghindar.” Ucapku ketus.

“Ya Abang salah.” Abang Adnan berjalan ke arahku

“Stop Bang, tetaplah pada posisi sewaktu Intan masuk rumah tadi. Bicaralah Intan mendengarkan.” Ucapku setelah memilih duduk di atas guci yang bisa di duduki pada sudut ruang tengah.

“Jangan ada yang ditutupi bicaralah sejujurnya biar Intan bisa mengerti mengapa sampai Abang melakukan hal yang akan merusak rumah tangga kita.” Ucapku lelah.

“Namanya Suhaila, Mak Long yang mengenalkannya pada Abang dua bulan yang lalu.” Selalu Mak Long yang menjadi perusuh dalam rumah tangga kami.

Mak Long Bang Adnan memang tidak pernah menyukaiku, entah  alasan apa Akupun tidak tahu.

Belakangan ini Mak Long selalu menjadi duri dalam daging rumah tangga kami, setiap ada acara keluarga besar Mak Long selalu mengungkit masalah anak yang tak kunjung hadir di antara kami.

Masih segar dalam ingatanku ketika Mak Long mengatakan jika dalam penghujung tahun ini Aku belum hamil juga Mak Long akan meminta mertuaku, untuk mencarikan istir baru untuk Bang Adnan.

Hanya tingga sebulan lagi akhir tahun, tarikan bibirku tercetak ternyata Mak Long ingin mengkotakan ucapanya untuk mencari istri baru buat Bang Adnan.

“dua bulan ini Abang sudah berusaha menghindar dari Suhaila tapi Mak Long punya banyak cara sehingga Abang selalu bertemu dengan Suhaila.

Suhaila bagaikan terobsesi dengan Abang, seminggu ini Abang sengaja menghindar darinya dengan pulang malam karena Suhaila mengancam akan datang kerumah, karenanya Abang pulang tengah malam, karena tidak mungkin Suhaila berani datang bertamu tengah malam.” Seperti ada beribu batu yang terangkat dari dada Bang Adnan setelah menceritakan semuanya padaku.

Tak ada keraguan dalam cerita Bang Adnan, apalagi aku melihat ketulusan dari netra Bang Adnan ketika bercerita.

Hatiku menghangat, tapi kepalaku terasa berat belum lagi dingin menusuk tulang ketika aku pulang, abu – abu berubah menjadi hitam semuanya menjadi gelap.

Bau minyak angin membuatku perlahan membuka mataku, cahaya terang lampu menganggu pemandanganku, menutup mata dengan tanganku tapi mataku menelisik sekitar, ini dimana?

“Alhamdulillah Intan sudah sadar.” Tangan Bang Adnan membantuku untuk duduk sambil menyodorkan gelas berisi air.

“Terima kasih hadiah terindah di akhir tahun, semoga anak kita menjadi jembatan bahagia kita seterusnya.” Senyumku mengembang ketika mencerna ucapan Bang Adnan.

Terima kasih sudah mengirim belahan jiwa yang selalu membuatku bahagia, kueratkan gengaman tangan Bang Adnan sambil mengaminkan doanya di dalam hati.***

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan