Tak henti mulutku mengucapkan syukur, menanti waktu gajian uang ini sudah mencukupi mungkin lebih, batinku.
Senyumku cerah walau masih ada rasa mengiris karena ayam yang selalunya menjadi tumpuan jika kekurangan uang tinggal tiga saja.
Aku membersihakan kekacauan yang dibuat si maling, jangan sampai ayam yang tinggal sedikit menjadi resah karena tempat tinggalnya tidak nyaman.
Menatap nanar telur pecah yang berserakan di tanah, seandainya tidak pecah masih bisa dijadkan santap siang nanti.
Setelah selesai dengan urusan kandang, aku membersihkan diri tidak boleh sedih berlama – lama masih ada perut yang harus diisi untuk kelangsungan hidup.
Hari ahad begini, semua pekerja dari yang buruh sampai CEO tentu memilih untuk beristirahat saja di rumah, setelah tragedy membersihkan kandang ayam suamiku sibut menanam beberapa sayuran di dalam polybag sehingga jika kekurangan uang kami bisa memanennya.
Harum beras yang sudah mulai masak menjadi nasi memenuhi ruang dapurku, belum lagi aroma ikan asin yang menyengat sungguh menggugah selera, tinggal menumbuk sambal untuk melengkapi makan siang kami, ups masih ada tempe serta tahu yang aku goreng dengan bumbu sempurna.
Azan zuhur bergema, aku selesai membuat makan siang istimewa untuk kami berdua, sementara dari tadi bayiku yang baru berumur delapan bulan tidur nyenyak di ayunan kayi yang dibuat dipalang pintu antara ruang tengah merangkap ruang tamu dengan dapur yang menjadi tempat favorituku mengais uang.
Bergegas menuju kamar mandi mengambil wudhu, sementara dari tadi aku sudah melihat suamiku berlalu menuju masjid dengan segala perlengkapannya.
Tidak lupa mengangkat bayiku dari ayunan, membawanya kedalam kamar selama aku sholat zuhur.
***
Bunyi suara sendok beradu dengan piring menemani makan siang kami, keringat menghiasi wajah suamiku yang peminat sambal. Lihatlah dengan sangat lahap dirinya memakan santapan sederhana yang aku masak.
“Jika ada petai pasti sempurna.” Oceh suamiku
“Lagi tidak musim petai Bang.” Selaku sambil mengelus pipi bayiku yang terpaksa aku pegang karena menagis ketika kami tengah makan.
Senyumku mengembang ketika suamiku mulai berkemas membawa semua piring kotor habis kami makan, Bang Akmal selalu menjadi suami siaga buatku sejak kami menikah sudah lima tahun walaupun kami kekurangan dalam uang tapi aku selalu berlimpah kasih sayang dari Bang Akmal.
Setelah selesai mencuci piring kotor, Bang Akmal menyusul diriku yang saat ini sedang duduk di ruang tamu memandang TV 14 Inchi yang kami miliki.
“Yah sudah lima tahun kita menikah tapi hidup kita masih seperti ini saja.” Aku menatap sepintas wajah Bang Akmal.
Menatap kembali pada bayi kami yang sedang menikmati makan siangnya dari sumber kehidupannya.
“Tidak rindu dengan kehidupan sebelum menikah.” Mengantung perkataan suamiki
Anganku melayang, aku sibungsu dari dua bersaudar hidup dalam limpahan harta, aku tidak mengenal rasanya susah jika tidak cukup uang.
Aku mengenal susah setelah berkenalan dengan Bang Akmal, hidupnya yang dalam kesederhanaan bersama Emaknya membuat aku simpati kepadanya.
Bang Akmal yang hanya guru honer sedang aku seorang anak pejabat di kampungku, ya Ayahku kepala dinas di salah satu instansi pemerintah.
Jodoh memang ajaib, kita tidak tahu kapan dengan siapa kita berjodoh. Sempat di tentang keras oleh keluarku dan sampai sekarang kami masih dikucilkan oleh keluarga tapi aku bahagia.
Bukan sekali dua kami kekurang dana, masih segar ketika aku mau melahirkan dengan saat yang bersamaan Mak Bang Akmal sakit keras sehingga cincin kawinpun harus aku korbankan untuk karena kami hanya menyiapkan dana untuk kelahiran anak kami saja.
Selang empat bulan Mak harus operasi, setelah meminjam sana sini Emak hanya bertahan dua bulan. Emak tak sempat melihat cucunya berjalan seperti keinginannya ingin mengajak cucunya balek kampung.