Menjelang Ramadhan

Terik matahari seperti menusuk kepala saja, sudah beberapa pekan ini hujan tidak turum di kampungku. “Kalau nak puasa pasti panas menjadi – jadi.” Jadi mengingat celoteh nenekku dulu.

Tinggal empat hari lagi ramadhan menyapa, sudah beberapa kali pula aku menanyakan kepada suamiku pulang kampung tidak kami tahun ini untuk menyambut puasa yang sudah tiga tahun tak sempat dilakukan.

Walaupun tahun lalu tidak ada lagi pembatasan untuk pulang kampung, tapi terbatasnya dana menyebabkan kami tidak bisa pulang kampung.

Setiap kali bertanya kabar pulang kampung selalu saja berubah raut wajah suamiku, ada rasa berdosa bertanya kepadanya tapi sungguh aku sudah merindui Emak yang hanya beliau orang tua yang tersisa setelah Ayah meninggalkan kami lima tahun yang lalu.

Sungguh hiba hatiku mengenang selama covid tidak bisa pulang kampung, betapa Emak sendiri di rumah, Aku dan Abangku terpaksa mengkais rezeki luar kampung karena tidak ada jatah kami di kampung.

***

“Bang.” Gatal mulutku untuk bertanya masalah pulang kampung.

“Belum Nampak hilal dana untuk pulang kampung.” Ucapnya lemah.

Rupanya suamiku tahu akan maksudku sehingga belum juga selesai ucapanku sudah dipotongnya.

Sungguh sedih rasa hatiku, tapi aku lebih sedih melihat wajah suamiku saat ini, lihat sampai cangkir kopi yang sudah hampir sampai di bibirnya tak jadi diseruput karena pertanyaanku.

Sungguh aku tidak tahu diri, sepatutnya aku bisa bertanya setelah suamiku menyeruput kopinya, tapi bak kata pepatah sesal kemudian tak berguna, itulah aku saat ini.

Tak ada lagi percakapan malam yang selalunya menghiasi malam kami sebelum kami berjalan menuju alam mimpi untuk melepas lelah setelah seharian bekerja.

***

Sudah lima belas menit aku duduk termenung di majelis guru, berhayal jika uang tunjangan profesi dikeluarkan cepat maka bisalah kami pulang kampung.

Malu dengan keadaan, selalu memberikan contoh kepada siswaku jangan lupa menabung jika sudah mendapatkan pendapatan, sesuai dengan materi yang aku ajarkan.

Bukannya tidak menabung tapi tabungan yang aku punya tidak bisa diambil karena kami suami dan berniat untuk naik haji jadi kami sudah menambung untuk mendapatkan porsi duduk naik haji.

Belum lagi, setahun lalu suamiku mengalami kecelakan yang menghabisi tabungan yang seharusnya untuk pulang kampung.

Di turutkan hati, bisa saja aku berhutang untuk pulang kampung, tapi bagaimana jika Emak tahu pasti Emak kecewa berat kepadaku.

“Biar hidup pas-pas asal tidak berhutang.” Itu pesan Emak dan Almarhum Ayah kepada kami adik beradik.

Bukan tanpa alasan pesan itu ditekankan kepada Kami berdua beradik, karena hutang Adik kandung Ayah alias pakcikku terpaksa masuk penjara karena tidak mampu membayar hutang belum lagi rumah tangganya yang hancur sehingga istri minta cerai serta membawa pergi anakknya.

Bel tanda masuk berbunyi, lamunanku pecah dengan langkah lemah aku menuju kelas untuk mengajar.

***

Hore pekik semua siswa kelas X dan XI ketika diumumkan bahwa tahun ini libur menyambut puasa lebih cepat dari tahun sebelumnya karena ada tanggal merah yang mengapit hari pertama menyambut puasa, belum lagi ujian sekolah sehingga mereka akan masuk sekolah pada tanggal 4 april nanti.

Hati nelangsa seharusnya aku juga bisa cepat pulang kampung untuk melepas rindu dengan Emak, tapi apa naya dana tak cukup untuk pulang kampung.

Selesai sudah acara salam – salaman, semua dengan cerita tentang pulang kampung. Aku hanya bisa menjadi pendengar untuk suka cita mereka yang ingin pulang kampung.

“Assalamualikum.” Salamku ketika sampai di depan rumah.

Sudah menjadi kebiasan mengucapkan salam walaupun kondisi rumah tak berorang, setelah memasukkan kunci pada lobangnya aku menekan panel menatap ruang tamu yang kosong. Menutup pintu depan dengan langkah gontai aku menuju kamarku.

Belum juga sampai di pintu kamar, aku mendengar salam dan panel pintu depan yang di buka serta ucapan salam.

“Assalamualaikum.” Aku menjawab salam

Membalikkan badan, mataku menatap sosok yang aku rindu berdiri tepat di sebelah suamiku.

“Emak.” Aku berlari mendapatkan sosok yang sangat aku rindu.

Menitik air mataku mendengar cerita suamiku, bagaimana memujuk Emak untuk datang ke Anambas tempat kami mengais rezeki, dan akhirnya aku hari ini bisa melepas rindu dengan Mak.

Biar tak dapat menyambut puasa di kampung yang pasti aku bisa menyambut puasa bersama Emak sekarang.***

 

 

 

Tinggalkan Balasan