Menyambut Ramadhan dengan Suka Cita (End)

“Alhamdulillah kita bisa pulang kampung.” Ucapnya dengan wajah berseri serta senyum yang beberapa pekan ini hilang dari bibirnya.

“Ah.” Ucapku tak percaya pasti wajah jelekku terlihat jelas karena terkejut dengan kalimat suamiku.

“Ada bonus daro Bos Abang, kami semua di kasih libur tiga hari sehari sebelum puasa dan sehari setelah puasa pertama.” Sungguh terasa betapa bahagia suamiku ketika mengucapkannya.

“Alhamdulillah.” Ucapku bersyukur menatap mesra suamiku.

“Bersiaplah masih sempat untuk membeli oleh – oleh untuk Mak, besok pagi kita pulang kampung.” Seru suamiku dengan gembira.

Bergegas aku masuk ke kamar untuk memakai baju tak lupa jilbab sarung untuk melengkapi busanaku.

Jam masih menunjukkan pukul setengah empat, anakku masih di tempat ngaji di dekat masjid pulangnya jam lima nanti.

***

Senyum suamiku lebar, ketika kami sampai di rumah ada mukena serta makanan ringan untuk oleh – oleh mak dan adik iparku.

Baru saja kami ingin meletakkan badan di sofa buruk rumah terdengar suara anak – anak yang pulang dari mengaji.

Melihat banyak barang di atas meja, mata mereka langsung ingin membongkarnya.

“Jangan dibongkar itu untuk Nenek dan Makcu, besok kita balik kampung.” Heboh suara anakku ketika mendengar kami akan balik kampung.

Menanti besok seakan berabad, malam kami sibuk dengan mengemas baju yang akan dibawa pulang ke kampung walaupun tidak lama pulang kampung kami harus juga membawa baju.

Seakan tak lekang senyum suamiku dari bibirnya, sampai ketidur senyum itu terbawa, melihat dirinya yang beberapa hari muram durja sekarang tersenyum lebar sungguh aku mengucap syukur kepada Illahi atas semua yang diberikannya.

***

Belum juga subuh, anakku sudah ribut dan tentu saja suamiku tidak tertinggal membuat suasan rumah menjadi ramai setelah menyelesaikan sholat berjamah di tengah rumah masing kami sibuk persiapan pulang kampung.

Dapur adalah kekuasaanku, memasak untuk sarapan serta sedikit makanan untuk bekal diperjalanan tentu saja menjadi prioritas memasak pagi ini.

Jam sudah menunjukkan angka setengah delapan ketika kami meninggalkan rumah dalam keadaan terkunci serta menitip kepada tetangga untuk melihat rumah kami selama kami pulang kampung.

Akhirnya kami sudah duduk manis dalam pancung yang akan mengantar kami pulang kampung. Suami serta anakku dari tadi terus saja bercengkrama, lega rasanya ketika mengingat betapa Allah sungguh baik sebaiknya perencana untuk kami yang semula tidak dapat pulang kampung karena menipiskan ternyata ada rezeki tak terduga, akhirnya kampung sudah di depan mata suka duka ramadhan tahun ini akan menjadi kenangan.***

 

 

Tinggalkan Balasan