Pelisipisku sudah berkeringat dingin, sedari tadi aku mengulang baca soal yang terpampang di depanku.

Semakin aku membaca semakin pusing kepalaku bukan jawaban dari soal yang aku temukan tapi rasa sakit yang menyerang inti sarafku.

Aku mulai mengalihkan pandangan pada teman sebelah kananku yang asik mencoret kertas buram yang tadi sekalian dibagikan pengawas ujian sekolah.

Mengingat nama ujian sekolah yang berganti menjadi asesmen sekolah saja aku sudah pusing apalagi mengerjakan soalnya.

“Han, tetap fokus pada kertas asesmenmu saja, tidak perlu lihat kiri kanan.” Peringatan dari pengawas asesmen.

Sialan, guru satu ini memang terkenal dengan displinya.

“Ibu tidak minta nilai seratus dari kalian jika dari hasil nyontek tapi berikan nilai tertinggi untuk diri kalian.” Itu peringatan yang selalu keluar dari mulutnya setiap kali mengadakan ulangan harian.

Aku menatap pengawas alias guru yang menyebalkan itu dengan tatapan singa lapar tapi tidak bisa memangsa buruanya.

“Mau marah Han, seperti biasa pasti tidak belajar jadi pusing sendiri melihat soal.” Lagi – lagi aku mendengar suara ejekkan dari Ibu Nur.

Nur Cahaya nama guruku itu, kadang aku heran dengan orangtua Bu Nur bukankan kedua penggalan namanya sama artinya, kata guru Bahasa Indonesiaku itu pemborosan kata.

Nur dalam bahasa arab artinya cahaya, cahaya juga bisa diartikan dengan nur, ah jadi pusing aku.

Akhirnya aku menghitung kancing baju yang ada di bajuku, berharap akan mendapatkan jawaban yang benar semoga.

“Handoko Wijaya jangan berharap dari hitungan kancing jawabanya, yang ada kamu harus mengulang lagi tahun depan. Katanya tidak mau ketemu sama saya lagi.” Kesal mendengar suara Bu Nur.

Guru satu ini seperti punya mata disetiap kepalanya, selalu saja tahu apa yang dikerjakan siswanya.

“Tidak usaha melihat kebelakang, nanti cari kesempatan.” Lagi aku dipermalukannya.

Setelah keliling kelas Bu Nur berdiri sampingku sambil memperhatikan kertas jawabanku tentunya.

“Han, kamu pintar hanya saja tidak mau belajar. Itu pelajaran yang sudah dipelajari tentu kamu bisa menjawabnya.

Berdoa setelah itu focus, Ibu yakin kamu bisa mengerjakannya.” Aku malu mendengarkan ucapannya.

Aku menarik napas dalam, membaca doa dan mulai memusatkan pikiran.

Sejak peristiwa Ayah dan Ibu memutuskan untuk berpisah aku merasa dunia tidak adil padaku.

Setiap anak berkeinginan orangtuanya tetap bersama, sejak itu aku melarikan diri dengan bermain game dan akhirnya rangking pertama menjadi rangking terakhir yang aku terima disetiap pembagian rapot.

10 soal kelas satu aku berhasil menjawabnya tapi untuk soal kelas dua aku hanya bisa menjawab separohnya saja,

Saat dimana aku terpuruk dengan keputusan pisah dari kedua orangtuaku.

Dikelas XII aku bertemu dengan Bu Nur yang mengajar ekonomi.

Setiap hari beliau selalu memotivasikan kami ada saja kalimat yang mengena disudut hatiku.

“Tidak ada yang bisa mencotek ketika bekerja nanti, jadi latihan dari sekarang semua tugas itu dikerjakan sendiri.

Jangan terlambat tidak ada satu perusahaan yang melegalnya pegawainya terlambat.

Punya perusahaan sendiri juga tidak bisa seenaknya, lihat orang cina punya toko tapi pernah tidak kita lihat bukanya suka – suka, tidak kan? Ceramah beliau jika kami contek mengerjakan tugas yang diberikannya.

Selalu saja berkeliling kelas jika ada tugas yang diberikan.

Seperti satpam komplek keliling mengawasi jika ada maling yang masuk.

“Han, kamu senyum pasti berharap sedang memikirkan yang jelek tentang saya kan?’ ucapan yang langsung memutus hayalanku.

“Tidak Bu, Han lagi memikirkan kata – kata Ibu yang mengatakan nilai 100 hasil mencontek tidak ada manfaatnya.” Ucapku spontan.

Aku memeras otakku untuk mengingat apa saja yang sudah diajarkan oleh Bu Nur di dalam kelas.

Paling tidak aku masih bisa mendapatkan nilai 75 untuk ijazah yang aku bawa – bawa untuk mencari pekerjaan.

Impianku untuk kuliah rasanya harus kandas Ketika ketukan palu sidang perpisahaan kedua orangtuaku terdengar.

Helaan napas berat memenuhi telingga Ketika bel tanda mengerjakan soal asesmen sekolah berbunyi.

Masih tersisa banyak lagi asesmen sekolah yang aku harus ikuti.

Aku tidak bisa lagi mengharapkan kedua orangtuaku yang sudah mempunyai keluarga baru.

Masa depanku aku yang menentukan, itu yang terngiang ditelinga pesan Bu Nur setiap masuk ke dalam kelas.

Kita tidak bisa mengubah nasib orangtua kita, tapi kita bisa merubah Nasib kita, rasanya apa yang dikatakan Bu Nur benar adanya.

Semnyumku mengembang, menatap masa depan yang harus aku menentukannya.***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan