Realita Tuanku

Hari ini tidak bisa merangkai kata panjang, semoga pentigrap alias cerpen tiga paragrap ini berkenan dibaca,

 

Seseorang tidak bisa memaksaku untuk melakukan apa yang tidak aku sukai, seringaiku jelas tersungging dibibir manisku. Aku menang, sambil terus mengingat kejadian tadi hatiku sungguh senang sekali. Bagaimana tidak selama ini aku selalu menjadi upik abu di rumahku sendiri, selalu saja aku yang melakukan semua pekerjaan rumah padahal ada lebih dari satu orang perempuan dewasa di rumah ini tapi selalu aku yang menjadi sasaran jika ada pekerjaan rumah yang tidak beres.

“Shanaaaz.” Selalu teriakan itu, pasti si pemalas yang meneriaki namaku

Saudara tiriku, usia kami hanya berpaut enam bulan tapi sungguh aku tidak percaya sifatnya seperti gadis kecil berumur lima tahun, semuanya harus dibantu seperti orang cacat saja. belum lagi sikap manjanya didukung ibunya yang sungguh membuatku muak.

Hatiku puas, bagaimana tidak sejak mereka hadir dalam kehidupan Aku dan Ayah, rumah bagaikan neraka. Selalu saja aku yang menjadi upik abu bagi mereka. Sebentar – sebentar teriakan memanggil namaku, belum juga selesai satu pekerjaan ada lagi pekerjaan lain yang harus aku kerjakan seakan aku terbuat dari mesin yang tak bernyawa sehingga tidak butuh istirahat. Senyumku bertambah lebar mengingat bagaimana aku membangkang dengan suara keras, wajah pucat ibu dan saudara tiriku sungguh membuatku bahagia seperti di dalam surya.

“Shanaaz.” Teriakan itu membuyarkan anganku, aku kembali kerealita si upik abu.***

Tinggalkan Balasan