Prang, piring yang sudah penuh dengan nasi bersama kawan – kawannya jatuh dari tangan, ah petanda apa ini.
Rasa tak sedap langsung menyerang dadaku, aku harap ini bukan petanda akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, terus merapal doa semoga semunya baik – baik saja.
Aku membersihkan pecahan yang sudah mengotori lantai ruang makan rumahku, kenapa juga aku berhasrat untuk makan di depan TV, hal yang tidak pernah aku lakukan dan lihatlah bukanya makan mengisi kampung tengah yang sudah meronta dari tadi malah sekarang aku berkutat dengan sapu dan serok untuk membersihkan makanan yang jatuh ke lantai.
Sedih rasanya melihat makanan yang berkumpul di serok, seandainya ada orang yang membutuhkan makanan ini pasti mereka mengatakan aku tidak menghargai rezeki, ya Allah sungguh aku tidak ingin memsia – siakan makanan ini tapi entah apa piring bisa terlepas dari tanganku.
***
Tragedy pecahnya piring makan tu tadi siang masih menghantui, sudah beberapa kali aku melirik jam dinding yang tidak lari tapi terus saja aku mengintipnya.
Sudah lewat dari waktunya tapi tidak ada tanda –tanda Bang Fajri suamiku pulang, biasanya jika pulang terlambat pasti ada pemberitahuan entah itu dari chat ataupun sekedar telepon singkat.
Sudah pukul sembilan malan, seharusnya pulang dari jam lima sore sekarang sudah menjelang malam.
Anakku sudah tidur, lelah menunggu Ayahnya yang tidak pulang padahal sudah berjanji untuk mengajaknya bermalam minggu.
Ya ini malam minggu, setelah tapi pamit katanya ada rapat yang tidak bisa di tunda dengan janji keluarga kecil kami akan bersama bermalam minggu.
Senyumku kecut, malam minggu yang dijanjikan melayang entah kemana. Akhirnya aku tidak mau menambur luka karena sudah lebih dari tiga Bang Fajri melanggar janjinya hanya karena janji lain yang dibuatnya setelah berjanji kepada Kami.
Menghayun langkah lemah menuju kamar kami untuk menjemput mimpi, semoga mimpi indah menyambangiku, semoga.
***
Bunyi pintu depan yang digedor kuat membangunkan tidurku yang tidak bermimpi, benar pintu depan rumahku yang di pukul keras.
Aku berlari dari bangunku menuju pintu depan, ingin melihat siapa yang dini hari mengetuknya.
Aku mengintip dari daun jendela ingin mengetahui siapa yang tidak tahu adat mengetuk rumah orang dini hari.
Netraku membulat melihat Bang Fajri yang berdiri dengan congkaknya raut wajah marah jelas tercetak di mukanya.
Aku berlari menuju kamar meraih kunci pintu depan yang tergantung tempat kami menyimpannya, pikiranku melayang kemana perginya kunci yang selalu di bawah Bang Fajri kenapa harus mengetuk pintu seperti mau menghancurkanya dan kenapa pula Bang Fajri tidak meneleponku untuk membukakan pintu untuknya.
Menepis semua fikiran yang hilir mudik di otakku, aku memasukkan kunci pada tempatnya dan memutarnya setelah itu aku menekan panel pintu untuk membukannya.
“Kenapa dikunci? Kenapa ditelepon tidak diangkat? Tidur seperti orang mati saja.” Aku terkejut dengan ucapan Bang Fajri.
Ya Allah tak pernah sekalipun Bang Fajri memakiku seperti ini, apa yang terjadi dengan dirinya. Tak terasa air bening mengalir membasahi pipi, tak kuasa untuk menjawabnya aku terus berjalan menuju kamar anak kami, mengunci diriku di sana itu lebih baik daripada kami bertengkar dini hari yang menganggu ketenangan saja.
***
Kantuk tidak lagi menyambangiku, pikiran berlayar dengan pertanyaan apa yang merasuki Bang Fajri akhir – akhir ini.
Melirik jam baker di meja belajar anakku, pukul 3 dini hari sudah sejam sejak kepulangan Bang Fajri.
Tidak ada lagi suara kasak kusuk yang dikeluarkan Bang Fajri, setelah menekan panel pintu kamar anak kami yang terkunci.
Melangkahkan kaki menuju pintu kamar anakku, membuka pintunya berjalan menuju kamar mandi disampingnya mengambil wudhu lebih baik aku mengadu kepada – Nya.
“Ma, kenapa tidur di sajadah?” Sentuhan di pipiku membangun tidurku yang entah kapan mendatangi.
Tersenyum melihat wajah polos putri yang selalu memberikan rasa nyaman walaupun begitu banyak beban yang aku alami.
Sepuluh tahun kami menikah, tidak sedikit jatuh bangun kami lewati bersama, tidak sedikitpum ada kata kasar terkeluar dari mulut Bang Fajri tapi dini hari tadi aku seakan melihat sisi lain dari pribadi Bang Fajri.
“Papa tidak pulang, Mama takut tidur sendiri ya?” sekali lagi senyumku menyahut ucapan anakku yang baru berumur 5 tahun.
Ya, susah payah kami mendapatkannya dan karena dia aku bertahan di sisi Bang Fajri, walaupun aku tahu banyak godaan yang mendatangi Bang Fajri apalagi sekarang usaha Bang Fajri sudah sukses.
“Ini hari minggu, sudah sholat?” kalau masih mengantuk tidur aja lagi. Mama akan membuatkan nasi lemak yang Ana suka, bagaimana?” anggukan kepala Anakku membuatku mengulum senyum.
Anakku sangat menyukai nasi lemak dengan ayam goreng tepung upin ipin, sementara Bang Fajri lebih suka dengan sambal udang.
***
(Bersambung)