Cincin Belah Rotan (1)

Jika takdir sudah ditulis diyaumil mahfudz berarti aku tidak perlu khawatir, tapi kenapa seakan mereka tidak percaya dengan takdir yang sudah tertulis untuk semua orang oleh Penciptanya.

“Kapan nikah, ponaanku yang belum wisuda sudah nikah.” Selalu kalimat provokator yang menyesakkan dada.

Ku percepat langkah, malas untuk berinteraksi dengan manusia yang katanya berpendidikan tapi menanyakan hal yang tidak berpendidikan sama sekali.

Langkahku terhenti ketika salah seorang peserta didikku yang tiba – tiba menghentikan langkahku sambil terisak.

Sebagai seorang pendidik tentu aku tidak bisa membiarkanya atau malah mengacuhkannya, walaupun bel panjang tanda pelajaran hari ini telah berakhir.

“Ada apa Nit, cerita sama Ibu.” Ucapku lembut sambil mengusap kepalanya yang tertutup jilbab putih seragan sekolahnya.

“Bu Cahaya bisa kita bicara tapi tidak di sini.” Masih dalam isak mendalam.

“Ayo ikut kerumah kontrakan Ibu.” Ucapku sambil mengandeng tangannya untuk mengikutiku.

Untung saja parkiran sekolah sudah tidak ramai lagi, kami terbebas dari pandangan yang usil tentunya.

Setelah Nita duduk dengan benar aku melajukan motor maticku kearah rumah kontrakan yang hanya membutuhkan waktu selama lima belas menit untuk mencapainya.

***

Hening, hatiku berdegup kencang. Ingin marah tapi pada siapa, akhirnya aku menatap jari manisku menatap cincin yang tersemat manis di sana.

Ada bulir bening yang sudah siap terjun, jika aku tidak malu dengan Nita yang masih terisak menangis setelah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya.

Nasib mengajar peserta didik yang duduk di sekolah menengah atas, dilemma yang sering membuat kami para pendidik merasa merinding adalah perbuatan mereka yang di luar batas norma kehidupan yang seharusnya mereka lakukan setelah ada akad atas nama perempuang yang diucapkan oleh lelaki yang benar mencintai dirinya.

Aku jadi mengingat nasib cincin belah rotan yang sudah lebih satu tahun melingar di jari manisku.

Jarak yang memisahkan kami alias (Long distance relationship) apa kabarnya.

Aku jadi mengingat dirinya yang sudah berjanji akan mengikat diriku dalam ijab kabul atas namaku berada jauh disana, apakah dirinya masih memegang adat timur bahawa melakukan hubungan badan setelah menikah dengan pasangan halal tentunya.

Menghela napas berat, lirih memandang Nita peserta didikku yang terbuai janji manis sehingga sekarang apa seharusnya tidak terjadi sudah terjadi.

Entah bagaimana caranya meminta pertanggung jawaban jika si lelaki sekarang entah dimana rimbanya.

Nita entah lugu atau apa, yang pasti pergaulan bebas telah membuat dirinya harus menanggung apa yang sudah dilakukannya.

Aku masih berharap si lelaki bukan milik seseorang walaupun hanya dalam tali pertunangan pasti akan menyakitkan jika harus putus tunang, sekali lagi aku memandang cincin belah rotan yang menjadi objek pandanganku selama mendengarkan cerita Nita.

“Sebentar lagi magrib Nit, pulang dulu Ibu antar nanti kita cari solusinya.” Ucapku lembut membujuk Nita untuk pulang.

Sedari tadi Nita menolak untuk aku antar pulang dengan alasan takut menjadi sasaran empuk kemarahan kedua orangtuanya.

***

“Assalamualaikum” suaraku mengema di depan rumah orangtua Nita yang bak istana menurut versiku yang dari kalangan sederhana.

Bagaimana tidak rumah dengan luas empat kali lipat rumahku lihat saja taman serta kolom yang besar di depan rumah mereka. Belum lagi di dalam kolam banyak sekali ikan koi besar yang sepertinya tidak murah harganya.

Pasti mobilnya lebih dari satu dengan garasi yang lebih luas dari rumah kontrakkanku saat ini.

Ini sudah salam yang ketiga tapi aku tidak ada tanda – tanda jika ada yang akan membukakan pintunya.

“Orangtuamu tidak keluar kota kan Nit?” tanyaku sambil melirik Nita  yang masih diam seribu bahasa dengan gesture ketakutan.

Belum sempat aku mengucapkan salam yang ke empat, bunyi mobil di belakang kami spontan aku mengalihkan pandanganku sedangkan Nita yang berada dibelakangku langsung mengigil ketakutan.

“Nita dari mana saja sudah menjelang malam baru pulang.” Suara baritone dari pemilik yang aku kenal sebagai orangtua lelaki Nita.

Lihatlah disampingnya berdiri wanita sosialita dengan dandanan menawan dengan segala kemewahan yang membuat penampilanya berbeda dari Ibu rumah tangga biasa dengan penghasilan suami yang cukup untuk bumbu dapur saja.

Senyum kecutku menyerlah di bibirku, Nita siswi yang cukup dengan materi tapi kurang kasih sayang dan akhirnya mencari kasih sayang yang membawa dirinya pada nasib untuk nikah muda karena sesuatu yang dilakukannya bernyawa dalam dirinya saat ini.

Aku yang menjadi walikelasnya selama di kelas XII ini tahu benar bagaimana Nita selalu bercerita kesibukan kedua orangtuanya membuat dirinya yang anak tunggal sering merasa kesepian istana mereka.

“Terima kasih Bu Guru sudah mengantar Nita, tapi seharusnya Ibu menelepon kami untuk memberitahukan kepada kami keberadaan Nita sehingga kami tidak berpikiran macan – macan atau Ibu tidak ada pulsa.”  Menohok hati perkataan Ayah Nita kepadaku.

Apakah perkataannya akan seperti ini jika dirinya tahu keadaan anaknya saat ini, batinku memaki.

Sabar, harus sabar menghadapi orangtua yang model begini.

Bukannya dipersilakan masuk dan bertanya kenapa sampai anaknya aku antar, tapi malah menuduhku macam – macam.

“Maaf Bapak/Ibu saya terpaksa mengantar Nita pulang, karena Nita tidak mau pulang.” Mendengar pernyataanku kedua orangtua Nita saling memandang.

“Mari masuk Bu, kita bicara di dalam.” Tawar sang Ibu setelah mendengar ucapanku.

***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan