Cincin Belah Rotan (2)

Netraku melirik cincin berlian yang terlihat mewah di jari Ibunya Nita yang menghapus air mata yang turun dari netranya setelah aku menceritakan apa yang menimpa Nita.

Cincin ikatan cinta yang menyatukan dua hati menjadi satu, tapi tak selamanya hanya mereka berdua yang menjadi pertanggung jawabannya ada kehidupan lain yang harus mereka pikirkan setelah mereka berumah tangga.

Sekilas aku menatap cincin belah rotan yang melingkar di jari manisku, kami belum bersatu tapi sudah ada masalah dengan hubungan kami, apakah aku harus bertahan.

“Saya rasa tanggung jawab saja sudah selesai, Saya mohon pamit.” Ucapku sambil berdiri dan memberi salam.

Entah karena bingung atau apa kedua orang tua Nita diam dalam pikiran mereka masing – masing.(Bersambung)

***

Sudah setengah jam aku menatap langit kamar, terngiang percakapan kami melalui video call.

Entah apa yang disembunyikan Bang Anwar, sudah dua kali janjinya untuk pulang terlewatkan. Sekuat karang pasti akan lebur jika setiap hari dilanda ombak kencang.

Bukanya tidak percaya tapi melihat keadaan sekarang ini bukan aku yang tidak kuat dengan hubungan jarak jauh ini tapi lebih kepada Bang Anwar yang sepertinya mulai berubah.

Aku mengeleng kepala mengusir rasa ragu yang mulai tumbuh subur, jangan sampai aku menjadi lemah karenanya.

Karimun – Malaysia bukan jauh tapi karena ada peraturan yang menyebabkan kami tidak semudah kata orang jarak satu jam setengah bisa langsung ketemu.

Ya jarak laut satu setengah jam tapi administrasi untuk masuk juga memakan waktu belum lagi menaiki tranportasi darat dan akhirnya kami hanya punya waktu dua jam untuk berjumpa tapi membuang waktu dan uang yang tidak sedikit.

Maaf bukan pelit, walaupun aku guru ekonomi tapi penghasilan besar Bang Anwar akan habis jika aku mengikuti egoku untuk sering bertemu.

Lelah membuatku menjemput kantuk tidak ada mimpi yang sempatku jemput karena lelah menguasai diri ini.

***

Aku melirik cincin belah rotan yang melingkar manis di jariku, kapal sudah dekat hatiku semakin berdebar kencang.

Sudah lebih tiga bulan kami tidak bertemu, rinduku membuncah tapi entahlah dengan Bang Anwar.

Walaupun aku tahu ini salah, aku tetap memaksa Bang Anwar untuk pulang, rasa yang menganjal hati tiga bulan ini tidak bisa aku bending lagi.

Walaupun perdebatan sempat mewarnai percakapan video call terakhir tiga hari yang lalu membuat hatiku sakit sepertinya Bang Anwar menolak untuk pulang lagi seperti janji kami.

Kapal sudah bersandar diponton, satu persatu penumpang mulai turun, netraku terus meneliti satu persatu penumpang.

Dari desakan penumpang yang ingin berebut turun, samapi hanya tinggal satu dua penumpang turun aku tidak melihat sosok Bang Anwar.

Hatiku mengeluh, ternyata Bang Anwar berpegang pada pendiriannya tidak akan pulang, aku kalah.

Selalu seperti itu, tapi mengapa aku mengeluh bukankah aku memilih Bang Anwar karena pendiriannya yang teguh.

Tapi masalah hati tidak bisa disandingkan dengan pendiran teguh, sekali – kali aku ingin diutamakan oleh Bang Anwar.

Dengan kecewa aku meninggalkan pelabuhan setelah melihat tidak ada lagi penumpang yang turun darinya.

Berjalan sambil tangaku lebih tepatnya jariku mengoyang – goyang cincin belah rotan yang melingkar di jari manisku.

Menatap hampa motor maticku, meraih kunci di tas sandang dan mulai memasukkan kunci motor pada tempatnya.

Tidak lupa aku mengambil uang parkir dari dalam tasku.

Aku mengangkat kepala mencari tukang pakir untuk minta jasanya mengeluarkan motorku dari tempat parking.

Kepalaku terangkat, pandangan kami bertemu, netraku memanas embun di sudut netraku menyesak untuk keluar.

Tangannya mengarah kepadaku, jika ini adegan sinteron tentu pemeran utama wanita sudah berhamburan kepelukan pemeran utama lelakinya.

Aku menyambut tangan Bang Anwar untuk menciumnya, tangan Bang Anwar beralih di ujung netraku menghapus air yang turun tanpa bisa aku tahan lagi.

Bang Anwar mengambil kunci motor dari tanganku.

***

Suasana riuh menyapu pendengaranku, sejak tiga hari yang lalu aku dipaksa untuk tetap di dalam kamar.

Untung saja kamarku tersedia kamar mandi juga jika tidak aku tidak tahu bagaimana caranya untuk memenuhi panggilan alamku.

“Kenapa pengantin perempuan diam saja, jangan takut pasti semuanya berjalan dengan lancer.” Celoteh Mak Andam yang sudah menemaniku sejak subuh berlalu.

“Mak Andam bawa Cahaya ke pelamin.“ Suara Mak mengejutkanku.

“Kemain lagi semangat Mak pengantin.” Seloroh Mak Andam.

Langkahku gemetar ketika melangkah ke pelamin, sosok Bang Anwar sungguh menawan.

Aku melirik ke arah Bang Anwar, ketika kami sudah duduk berdampingan.

Pandangan kami bertemu, senyum mengiringi pandangan kami.

Bla bla aku tidak mendengarkan apa yang diucapkan Pak Penghulu, hanya saja aku mengingat aku mencium tangan Bang Anwar serta ciuman keningku serta doa untukku yang diucapkan oleh Bang Anwar.(Bersambung)

Tinggalkan Balasan