Ramadhanku Berjalan

Cerpen, Fiksiana23 Dilihat

Lima belas hari telah berlalu, mungkin rasa dahaga serta lapar tidak lagi menjadi sesuatu yang utama lagi. Berulang kali aku mengurut dada, mencari dalam terang tapi masih saja ada yang menggelapkan yang sudah terang.

Helaan napasku terasa berat buat diriku sendiri, sedari tadi aku berusaha menahan sesak yang sudah menghimpit dada ini sepekan.

Malas rasanya untuk melangkah menuju tempat yang sudah lebih dari sepuluh tahun memberikan rezeki bagi membantu suamiku untuk mencukupi kehidupan keluarga kami.

Dari hari kehari semakin susah saja rasanya berada di tempat aku mengais rezeki, tapi aku harus menguatkan hati untuk tetap bertahan.

Atap bangunan tempat aku bekerja sudah kelihatan walaupun masih butuh lima belas menit untuk sampai kepadanya.

Napasku mulai tidak teratur, semakin dekat dengan bangun tempat kerjaku semakin sesak aku rasakan, ingin rasanya aku melepasnyat ya Allah fikiranku buntu.

Biasanya aku melenggang bak pragawati ketika memasukkan gerbangnya, tapi sekarang seperti ada berton batu yang tersangkut di kaki untuk melangkah masuk ke dalamnya.

Apakah sekarang zamannya yang benar dengan jumlah kecil akan kalah dengan jumlah besar kelompoknya tapi salah.

Bukan sekali tapi berulang kali, pernah maksud hati memperingatkannya tapi aku hanya debu di kantor ini bukan atasan yang bisa dengan seenaknya bisa perintah dan memvonis serta memecat seorang jika ketahuan salah.

Selalunya aku membusungkan dada jika masuk ke gedung ini, tapi hari ini aku terpaksa mematok pandanganku hanya pada Ibu pertiwi berharap aku tidak melihat kecurangan yang sudah lebih sebulan ini lalang melintang di depan mataku.

***

Selesai sudah untuk hari ini, setelah print finger aku seakan terbang meninggalkan gedung yang sudah dari jam depalan pagi tadi membelenggu hati dan pikiranku.

Tak ada perubahan malah tambah menjadi kecurangan itu seakan menjadi hal biasa bagi mereka.

“Ini jatahmu untuk tutup mulut.” Tersentak batinku ketika melihat uluran sejumlah uang merah di depanku.

“Kurang. Ni di tambah lima ratus ribu lagi.” Sungguh mengiris hatiku.

“Maaf Pak, saya akan tutup mulut tapi saya tidak akan menerima ini. Terima kasih.” Ucapku terbata.(Bersambung)

Tinggalkan Balasan