Celoteh Nyakbaye, Cerpen “Sang Waktu (1)”

Cerpen, Fiksiana, KMAB66 Dilihat

Gelap bukan berarti malam, langit mendung menyelimuti siang yang baru saja tertimpa teriknya sinar matahari. Tanpa diundang medung berarak, gelam menerpa mayapada. Nanar mataku melihat semua menjadi gelap serta merta aku berdiri menghidupkan lampu untuk menerangi ruangan tempat aku sekarang berada.

“Hana, kita berpisah saja.” bagaikan berhenti degup jantungku saat itu

“Bang, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tak tentu arah.” Lirih suaraku takut dengan ucapan suamiku barusan

“Abang sudah pikirkan, tak ada yang mengikat kita.” Begitu santai ucapan Bang Rian.

Ada yang menusuk hatiku, walaupun aku tidak bisa memberikan keturunan kepadanya bukankah aku sudah mengizinkan untuk menikah dan mempunyai anak dari perempuan lain yang bertitel madu buatku.

Semua rasa sudah aku jadikan keikhlasan tapi jika aku harus berpisah dengannya, kenapa aku mengizinkannya untuk menikah lagi.

“Janji untuk selalu bersamaku sudah tidak berlaku lagi bagi Abang?” ucapku lirih

“Abang penat harus bolak balik dari rumah Riana dan rumahmu.”

Dug hatiku membeku, dulu sebelum menikahi Riana, Bang Raihan yang berjanji untuk kuat membagi adil waktunya buar Aku dan maduku, tapi sekarang ini kenyataannya.

Satu sisi hatiku berkata, ingin mengatakan aku mengizinkan Riana dan anak – anakya tinggal di sini bersamaku dan Bang Rian. Tapi sisi lain berkata akankah aku menambah luka dengan membiarkan mereka tinggal bersamaku, hanya untuk mempertahankan Bang Rian tetap bersamaku.

Lama kami terdiam dalam pikiran masing – masing. Helaan napas terdengar berat dari mulut Bang Rian, aku hanya memandang wajah yang selalu membuatku terluka lima tahun kebelakangan ini.

“Atau.” Suara Bang Rian mengantung

“Atau Apa Bang?” tanyaku dengan rasa penasaran yang dalam, semoga Bang Rian tidak membuat luka dengan ucapannya lagi.

“Izinkan Riana dan anak – anak tinggal di sini, rumah ini terlalu besar untuk kita berdua Hana.” Aku melihat Bang Rian tanpa beban mengatakannya.

“Biarkan Hana berfikir, apakah kita akan berpisah atau ?” aku tidak melanjutkan kataku, langkahku laju meninggalkan Bang Rian, satu – satu tempat yang membuatku tenang adalah pantai. Ku lajukan mobil Jazzku membelah sunyinya senja dengan warna jingganya sebelum malam menjemput,

***

Gelap bukan berarti malam, langit mendung menyelimuti siang yang baru saja tertimpa teriknya sinar matahari. Tanpa diundang medung berarak, gelam menerpa mayapada. Nanar mataku melihat semua menjadi gelap serta merta aku berdiri menghidupkan lampu untuk menerangi ruangan tempat aku sekarang berada.

“Hana, kita berpisah saja.” bagaikan berhenti degup jantungku saat itu

“Bang, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tak tentu arah.” Lirih suaraku takut dengan ucapan suamiku barusan

“Abang sudah pikirkan, tak ada yang mengikat kita.” Begitu santai ucapan Bang Rian.

Ada yang menusuk hatiku, walaupun aku tidak bisa memberikan keturunan kepadanya bukankah aku sudah mengizinkan untuk menikah dan mempunyai anak dari perempuan lain yang bertitel madu buatku.

Semua rasa sudah aku jadikan keikhlasan tapi jika aku harus berpisah dengannya, kenapa aku mengizinkannya untuk menikah lagi.

“Janji untuk selalu bersamaku sudah tidak berlaku lagi bagi Abang?” ucapku lirih

“Abang penat harus bolak balik dari rumah Riana dan rumahmu.”

Dug hatiku membeku, dulu sebelum menikahi Riana, Bang Raihan yang berjanji untuk kuat membagi adil waktunya buar Aku dan maduku, tapi sekarang ini kenyataannya.

Satu sisi hatiku berkata, ingin mengatakan aku mengizinkan Riana dan anak – anakya tinggal di sini bersamaku dan Bang Rian. Tapi sisi lain berkata akankah aku menambah luka dengan membiarkan mereka tinggal bersamaku, hanya untuk mempertahankan Bang Rian tetap bersamaku.

Lama kami terdiam dalam pikiran masing – masing. Helaan napas terdengar berat dari mulut Bang Rian, aku hanya memandang wajah yang selalu membuatku terluka lima tahun kebelakangan ini.

“Atau.” Suara Bang Rian mengantung

“Atau Apa Bang?” tanyaku dengan rasa penasaran yang dalam, semoga Bang Rian tidak membuat luka dengan ucapannya lagi.

“Izinkan Riana dan anak – anak tinggal di sini, rumah ini terlalu besar untuk kita berdua Hana.” Aku melihat Bang Rian tanpa beban mengatakannya.

“Biarkan Hana berfikir, apakah kita akan berpisah atau ?” aku tidak melanjutkan kataku, langkahku laju meninggalkan Bang Rian, satu – satu tempat yang membuatku tenang adalah pantai. Ku lajukan mobil Jazzku membelah sunyinya senja dengan warna jingganya sebelum malam menjemput,

***

(bersambung)

Tinggalkan Balasan