Hijrahku (1)

Cerpen, Fiksiana, KMAB101 Dilihat

Terus menatap, menatap terus sepertinya masih sama seperti dulu. Jangan sampai lagu yang popular pada tahun 80-an tidak akan membuat langkahku maju, malah takut mundur kebelakang. Ya Allah, aku menatap kalender dua hari lagi tahun baru islam tapi aku masih mengenang yang lalu, tak mampu beranjak dari kenangan dan tenggelam di dalamnya.

Sudah berlalu lebih dari lima tahun tapi kenangan itu masih sangat segar dalam ingatanku seperti baru kemaren, Bang Raiahan mengucapkan ijal Kabul dengan suara lantang dengan satu kali hentakan napa sehingga membuat hatiku merasa terharu, bagaimana tidak selama masa pingitan kami selalu chat, dalam setiap kali chat Bang Raihan selalu mengeluh akan ketakutanya akan gagal dalam mengucap ijab kami nanti, aku tersenyum mendengarnya untung saja kami berjauhan jika tidak aku pasti dengan gaya khasnya Bang Raihan akan merajuk dan mengacak rambutku menjadi kebiasannya jika lagi marah padaku, seterusnya pipi ini akan menjadi toelan iseng tangan Bang Raihan sehingga aku merasa jengah dibuatnya.

***

Aisyah, namaku, tepat tahun baru hijrah ini umurku bertambah memasuki kepala tiga dengan satu orang putra yang lucu, duplikat dari Bang Raihan tentu membuat Bunda dan Ayah merasa aku perlu memikirkan masa depan anakku yang sekarang sudah mulai bertanya kenapa Papanya tidak pernah bermain denganya.

Alasan yang membuat aku susah untuk menjawabnya, kesalahan fatal yang aku buat sendiri kenapa aku tidak jujur saja mengatakan Papanya sudah tenang di sisi yang Maha Kuasa. Tapi lidah ini malah mengarang cerita yang membuat harapan palsu kepada putra semata wayangku.

“Kemaren Pak Longmu datang membawa hajat untuk menikahkan Ais dengan Adnan putra Paklongmu yang sekarang menduda.” Ucapan Bunda membuatku mengerjitkan mata dan memandang dengan wajah serius kea rah Bunda.

“Bukankah belum enam bulan Bang Adnan di tinggal mati istrinya Bunda?” ucapku kesal, bagaimana bisa Bang Adnan sudah terpikir untuk menikahiku, batinku kesal.

“Kasian Syahnaz, Ais masih kecil butuh sosok Ibu.” Bela Bunda

Aku terdiam mendengar ucapan ibu yang sebenarnya juga aku rasakan, bagaimana si jagoanku nanti jika bertanya kepadaku tentang sosok Ayah, tapi hatiku masih tidak mau hijrah dari bayangan Bang Raihan.

***

Bersambung

Tinggalkan Balasan