Kuat dalam Diam (part 1)

Makian Emak menjadi santapan pagiku hari ini, sejak semalam mak sudah tak tentu arah ada saja yang tak kena.

Memekakkan teliga menjadi salah satu cara untuk tetap sehat saja, setelah membuat sarapan ala kadarnya nasi goreng dengan dadar telur serta the manis buah kata orang melayu aku melangkahkan kaki menjemput sepeda  yang terpakir di belakang rumah bukan di dalam garasi selayaknya barang berharga roda dua  menjadi kendaraanku ke sekolah.

Betis bak pemain bola, untung saja aku menggunakan baju seragam panjang, ets jangan salah aku sudah menggunakan baju penutup aurat sejak di sekolah menengah atas.

Kata Abah anak perempuan wajib menutup aurat sehingga Abah tidak dipertanyakan tanggung jawabnya diakhirat nanti.

Memikirkan Abah sebait rindu dan doa aku panjatkan, tak peduli aku lagi ada di mana pasti aku kirimkan untuk Abah.

Sudah dua tahun Abah hilang di laut, tapi aku yakin Abah masih hidup dan akan kembali kepada Kami.

Mengingat betis aku jadi mengingat Emak yang uring –uringan sejak malam semalam, mengeluh sakit kaki yang katanya menyiksa.

Yang anehnya Emak meminta aku berhenti sekolah dan menikah untuk membantu perekonomian keluarg, coba apa hubungan sakit kaki dengan aku harus menikah.

Senyumku mengembang ketika melihat bumbung sekolah yang selalu membuatku merasa hidup.

Assalamualaikum sekolahku, salam aku ucap ketika melewati gerbangnya.

Bergegas menuju perpustakaan, setelah mendapat info guru yang mengajar tidak hadir karena sakit.

Bukannya aku senang guru tidak hadir tapi aku memikirkan bagaimana mendapatkan uang untuk membantu perekonomian rumah tanpa mengorbankan masa depanku.

Belum tentu setelah menikah aku dapat membantu emak dan adik – adikku, jangan – jangan aku malah menjadi beban Emak, nauzubillah.

Tangan lancar menekan tuts komputer yang berada di ruang perpustakaan sekolah, menulis tiap baris menjadi pragrap dari satu paragrap menjadi satu tulisan yang siap aku setor di aplikasi online yang sudah menjadi bagian kerjaku selama setahun ini.

Siti Nurbaya namaku di dunia maya, tulisanku berupa cerita pendek kehidupan anak manusia dalam keterbatasan ekonomi.

Cerita mengalir bak air bah ketika aku menulis, kepahitan hidupku menjadi salah satu ide cerita yang aku paparkan untuk pembaca setiaku.

Senyumku merah setelah aku menyelesaikan cerita, lebih merekah senyumku ketika melihat notifikasi via e-mail, bayaran atas kerja kerasku sudah masuk buku tabungan.

“Alhamdulillah.” Batinku

***

Bersambung)

Tinggalkan Balasan