“Ana uHibbuki” (3)

Akhirnya aku disini lagi sudah sepekan pula dari pertama kali aku datang ke rumah Balqis. Rindu yang teramat dalam, tadi aku tidak mau memaksakan diri untuk datang cepat, karena aku harus punya strategi, tidak boleh terlalu ngotot aku takut malah Balqis akan ill fill padaku.

Aku melihat Balqis berjalan menuju rumahnay, aku sengaja menunggu jam pulangnya Balqis dari kerjanya. Setelah Balqis masuk kerumah kira – kira setengah jam baru aku meninggalkan motor king berjalan menuju rumah Balqis.

“Assalamualaikum.” Ucapku untuk memberitahu penghuninya ada tamu

Langkah kaki dari dalam rumah terdengar, pasti seseorang akan membukakan pintu untukku

“Walaikumsallam.” Jawab orang yang di dalam rumah

Pintu terbuka aku melihat wajah Balqis yang polos tanpa polesan apa – apa. pasti dia habis mandi karena aku mencium harum sabun mandinya. Senyum manis kuberikan kepadanya, hari ini aku tidak melihat kerut di dahinya seperti waktu aku datang kemaren.

“Masuk Bang.” Suara merdu Balqis mempersilakan aku masuk. Aku memilih satu kursi untuk aku duduki.

“Balqis masuk sebentar ya.” Aku melihat Balqis meninggalkanku di ruang tamu rumahnya

Tak butuh waktu lama aku melihat Balqis kembali lagi keruang tamu sambil tangannya membawa nampan berisi teh dan goreng pisang. Setelah meletakkannya di atas meja Balqis berucap.

“Diminum tehnya Bang.” Aku tersenyum kepada dan mengambil teh yang disuguhinya dan meminumnya sedikit dan meletakkannya kembali ke atas meja.

Balqis sudah duduk didepanku berbataskan meja tamu, tak ada rasa minder walaupun saat ini dia tidak mengenakan makeup sedikitpun tapi kecantikan tidak sedikitpun berkurang batinku.

Kami hanya saling berpandangan, tidak ada yang membuka suara, jengah dengan pandangan mata kami akhirnya Balqis mengalihkan pandangan matanya tidak lagi menatap mataku. Aku tersenyum melihat rona merah diwajah Balqis.

Akhirnya aku membuka percakapan kami

“Bagaimana Balqis?”

“Apanya yang bagaimana Bang?”

“Jawaban dari Balqis.”

“Memangnya Abang tanya apa?” Balqis mencoba mempermainkanku tapi aku membalasnya berkata

“Kapan kita menikah?” aku melihat wajah bagaikan udang rebus memerah di depanku

“Kapan Abang bertanya tentang pernikahan.” Aku melihat Balqis gelagaban berkata

“Barusan.” Jawabku santai

“Jangan main – main tetang pernikahan Bang tidak baik.” Aku melihat wajah Balqis kesal sewaktu mengatakan itu.

“Abang tidak main – main, Abang serius.”

“Kita tidak saling mengenal dengan baik, Balqis hanya tahu nama Abang saja, yang lain tentang Abang Balqis tidak tahu.” Sekali ini aku melihat keseriusan dalam nada bicara Balqis

“Tanya apa saja tentang Abang, pasti Abang jawab dengan jujur.” Kataku menatap Balqis

“Entahlah, Balqis benar – benar bingung sekarang ini.” Aku tersenyum mendengar penuturannya.

“Bingung, kenapa bingugn?” dengan mimik muka dibuat seolah – oleh pengerti perasaan Balqis saat ini.

“Tu kan, Bang Akmal mulai lagi.” Balqis merajuk, aku tersenyum dibuatnya.

Aku tahu, sebagai seorang gadis yang dewasa karena keadaan, belum tentu dewasa dalam memikirkan tentang pernikahaan. Balqis pasti hanya berfikir bagaimana Dia dan Ibunya bisa melewati hari ini dan besok.

“Kalau begitu Abang yang akan bercerita tentang diri Abang.” Aku meliha kearahnya untuk melihat ekspresi wajahnya. Matanya membulat memasang muka serius, membuatku tertawa dalam hati.

“Abang hanya dua bersaudara, Kamal adik abang mungkin seumuran Balqis sekarang semester 2. Ayah abang orang Melayu pengusaha mebel, Ibu asli Jawa guru di SMA Kartini. Abang sendiri sekarang bekerja pada perusahaan Ayah dan menunggu wisuda saja. belum selesai aku bercerita aku mendengar gumaman Balqis

“Pengusaha pasti orang berada, apa mungkin.” Walaupun dengan suara rendah aku masih bisa mendengarkan apa yang dikatakan Balqis.

“Jangan menilai orang dulu sebelum berkenalan dengannya.” Aku melihat raut wajah Balqis yang malu mendengar perkataanku.

“Orangtua Abang bukan tipe orang yang suka merendahkan orang lain, buktinya abang dan adik abang sudah diajarkan untuk belajar sampai bekerja diperusahaan Ayah sejak kami SMA. Ayah tidak memaksakan kami untuk menjadi penerus perusahaannya. Ayah hanya mengajarkan Abang dan Adik Abang bekerja saja.” aku mengambil napas sebelum melanjutkan ceritaku.

“Dari SMA Abang diajarkan bagaimana bernegosiasi dan mencari rekan bisnis yang tidak mengecewakan sementara Adik Abang yang suka mengotak – atik computer Ayah berikan tugas untuk membuat promosi di Internet bagi perusahaan Ayah. Tapi apakah Balqis tahu jurusan apa yang Abang ambil di kampus?” Tanyaku

Balqis hanya mengelengkan kepalanya dan menunggu aku meneruskan cetitaku.

“Abang mengambil jurusan Sastra Inggris, Abang ingin menjadi dosen.” Kataku mantap sambil menatap mata Balqis untuk melihat responnya.

Hanya senyum simpul yang menampak lesung pipit yang menambah manis wajahnya.

“Abang rasa itu informasi tentang Abang, jika merasa masih kurang silakan Balqis bertanya langsung kepada Abang.” Aku sengaja melawak dengan menunjukkan jari telunjukku ketika mengatakan tanya langsung dengan Abang.

“Bibit, bobot, bebet Abang tidak diragukan. Tapi belum tentu orangtua Abang bisa meneriman Balqis.” Suaranya melemah ketika mengatakan itu serta menundukkan kepalanya membuat aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya.

“Maksudanya?” aku mencari mata Balqis ketika bertanya, tapi Balqis masih menundukkan kepalanya sehingga aku tidak bisa menatap mata indahnya.

“Lihatlah kondisi Balqis Bang?” kata – katanya terjeda menarik napas dalam sebelum dia meneruskan kalimatnya aku sudah mendahuluinya.

“Jangan masalah ekonomi yang menjadi perhitungan Balqis, karena Abang mencari pendamping hidup bukan menjadi materi dan kedudukan dengan memilih seseorang.” Suaraku agak meninggi. Secepat kilat Balqis mengangkat kepalanya melihat intonasi suaraku.

“Maaf Bang, tapi itu kenyataan yang sering terjadi di masyarakat sekarang ini.” Sekali lagi aku harus megakui Balqis dewasa sebelum umurnya dan bijaksana. Ini yang membuatku menetapkan hatiku untuk memilihnya menjadi pendamping hidupku.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

4 komentar