Sebatas Cerita Luka (1)

Hujan sejak senja tak lepas meninggalkan bumi, aku yang sudah menggunakan baju hangat saja masih terasa dingin.

Merebahkan badan pada dipan yang tidak lagi tebal, tapi hanya ini yang bisa aku beli setelah semua uang yang aku peroleh dari keringat yang aku keluarkan.

Sejak melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman untuk mencari sesuap nasi karena tidak ada yang bisa aku harapkan jika tetap tinggal di kampung.

Menaiki fery aku meninggalkan kampung setengah tahun yang lalu, memandang dinding empat sekat yang menjadi tempat tinggalku setelah aku tiba di Batam.

Ah, ada yang menusuk hatiku setelah enam bulan ini semua tidak seindah yang aku bayangkan semuanya tambah abu – abu.

Sesal sepertinya mulai merasuk dalam kalbuku, bagaimana tidak jika tinggal dengan Abah dan Emak di Karimun aku masih bisa menyisihkan penghasilanku setelah sebulan menguras keringat tapi tidak di Batam ini.

Semuanya serba mahal, belum lagi aku harus membayar semua keperluanku sendiri.

Sementara di Kampung aku tidak perlu memikirkan duit sewa rumah, listrik serta tetek bengek lain yang memusingkan kepala.

Ingin rasanya aku pulang kampung, tapi seakan ada beban yang menggayut kuat di dada untuk tetap bertahan dalam kesulitan di Bata mini.

Setetes air bening mengalir tanpa aku sadari telah menganak sungai di pipiku.

“Abah Emak, Hana rindu.” Tangisku pecah seketika.

Sesak rasanya mengingat dua hari yang lalu Emak menelepon mengabarkan Abah sakit dan menginginkan aku pulang ke Karimun.

Kantongku bolong, tidak mungkin aku pulang dengan tangan kosong.

***

Suara petir memecah heningnya dini hari, sejak semalam ternyata hujan tidak berhenti.

Aku mencoba menanjamkan penglihatan tetapi tetap saja gelap, jangan katanya karena hujan PLN Mati.

Aku meraih HP yang terletak disampingku untuk cari pencahayaan dari senter yang berada pada aplikasi HP-ku.

Aku mengerakkan badan untuk turun dari ranjang, berjalan menuju jendala untuk melihat apakah semua lampu mati atau hanya rumah kontrakanku saja yang mati PLN-nya.

Mengelus dada pelan, ternyata semua rumah tetangga ternyata mati juga.

Mengutak – atik HP untuk memastikan sekarang jam berapa.

Setengah empat, aku ingin mengadukan keluh kesahku kepada Sang Pencipta.

***

Memandang nanar, pemandangan di depanku.

Sebentar lagi aku akan sampai di poton Karimun, akhirnya aku harus mengalah untuk pulang.

Kondisi Abah benar – benar mengkhawatirkan, tidak mungkin aku memaksakan diri untuk tetap di Batam.

Setelah kapal merapat aku melangkah kaki menuju keluar pelabuhan, secepatnya mencari tranfortasi yang akan mengantar aku sampai di rumah.

Sepanjang jalan aku berdoa semoga Abah tetap dalam lindungan Allah dan apa yang dikabarkan Emak tidak separah itu.

Setelah mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribu, aku bergegas meninggalkan tukang ojek yang sudah dengan selamat mengantarkan aku sampai di rumah.

“Assalamualaikum.” Suaraku bergema mengucapkan salam.

Tidak ada yang menyahut, aku menekan panel pintu, tidak terkunci. Bergegas aku melangkahkan kaki menuju kamar Abah dan Emak.

“Kosong.” Kemana gerangkan Abah dan Emak.

Aku berlari menuju keluar rumah, menuju rumah Mak Ucu yang hanya berjarak dua rumah dari rumahku.

Dengan napas terengah aku mengucapkan salam.

“Walaikumsalam.” Suara jawaban dari dalam rumah Mak Ucu.

“Abah Emak kemana Mak Ucu.” Ucapku setelah melihat Mak Ucu yang membukakan pintu rumah.

(Bersambung).

Tinggalkan Balasan

1 komentar