Langit yang sejak dari pagi sudah muram, tentunya dibarengi udara yang dingin membuat mataku merasa mengantuk. Pekerjaan di depanku menumpuk tapi tak ada niatku untuk memulai pekerjaan. Akhir pekan seharusnya istirahat, tapi nasib orang kecil, akhir pekan masih berkutat dengan pekerjaan.
Sesekali aku menguap rasa kantukku datang, tapi tidak mungkin aku tertidur selagi ke kantor. Suara gerimis menjadi hujan yang terus bertambah volumenya, aku semakin merapatkan baju yang sialnya hari ini aku menggunakan baju yang tipis sehingga dingin merasuk keseluruh tulangku membuat gigiku bergemeluk karena dinginya.
Aku berjalan menuju pantry kantor, mengambil cangkir untuk membuatku lumayan bisa menghangatkan diriku yang kedinginan.
“Belum pulang Sin.” Hampir saja gelas kopi yang ku pegang lepas separuh dari isinya sudah meluncur keluar dari cangkirku.
“Bapak, mengangetkan saja.” ucapku menentralkan jantungku yang tiba – tiba saja melompat tak karuan karena Bosku yang notabene akhir pekan jarang berada di kantor, sekarang berdiri tepat di depanku serta mengangetkanku.
“Ada yang bisa dibantu Pak.” Basa – basiku
“Buatkan saya kopi, jangan terlalu manis. Saya tidak mau manis seperti kamu.” Deg jantung melompat lagi karena ucapan Pak Bos barusan.
“Baaaik Pak.” Jawabku gugup.
Langkah menjauh Pak Bos membuatku lebih tenang, tidak biasanya Pak Bos ada di kantor, jangan – jangan selentingan itu benar, Pak Bos mengecek kredibilitas dan loyalitas karyawan karena akan ada penggurangan karyawan.
Kepalaku pusing jangan sampai aku termasuk ke dalam karyawan yang akan dirumahkan, bisa ditendang dari rumah pakcikku yang menjadi tempatku berteduh sejak kedua orangtuaku meninggal dunia.
Sungguh hidup menumpang dengan orang walaupun statusnya saudara sangat tidak enak. Pakcik yang adik kandung Ayahku mungkin tidak bermasalah tapi Makcik yang mempunyai hubungan denganku karena Pakcik lain lagi ceritanya. Senyum terpaksa yang sering diberikan kepadaku sungguh membuatku merasa tidak enak, apalagi jika awal bulan gajiku terlambat maka setoranku juga terlambat, maka akan ada sindirian halus tapi membuat luka besar yang mengangga.
***
Aku kembali mengenang nasib diri menumpang, sampai kapan akan menumpang, jika benar selentingan di kantor akankah aku salah satu dari yang akan diberhentikan. Hembusan napas terasa berat, tapi apa yang dapat dibuat. Nasib orang kecil menunggu harapan yang tak berujung.
“Sinta.” Sungguh suara itu membuat jantungku bergemuruh.
Menatap kearahnya, hanya anggukan kepala yang bisa aku berikan.
“Masih ada pekerjaan yang harus saya kerjakan Pak.” Ucapku santun.
“Saya pulang, jangan terlalu malam, tidak ada gaji tambahan karena tidak ada lembur.” Ucap Pak Bos sambil berlalu.
Aku tenggelam dalam kerjaanku, hatiku berat untuk pulang. Masih mengenang kejadian pagi tadi, sungguh menyesakkan dada, bukan niat untuk tidak membantu tapi sungguh, gajiku sudah hampir semua ku berikan pada Makcik bulan ini tapi masih saja ada rasa tidak puas dihati Makcik. Hingga aku engan untuk pulang cepat hari ini kerumah.
***
Hampir jam delapan malam aku sampai di rumah Pak Cik, suara di dalam sungguh membuatku tidak hendak masuk ke dalam.
“Bang, kita terima saja lamaran Pak Daud, berkurang sedikit bebanku. Sinta tak mungkin menolak, jika menolak kita usir saja dari rumah.” Suara Mak Cik membuatku berdiri terpaku di pintu depan rumah.
“Wat, kenapa harus sinta. Anak kita ada.” Suara Pak Cik naik satu oktaf
“Jangan jadi gila Bang, Pak Daud dah berumur tak sebanding dengan anak kita.” Ucap Mak Cik.
“Apa beda dengan Sinta? Wat.” Lirih Pak Cik
“Dah lama Sinta kita bela, sekarang saatnya Sinta membalas budi kita Bang.” Ucapan Mak Cik sungguh membuat hati pilu.
“Sinta tak pernah menyusahkan kita, setiap bulan Sinta selalu menyerahkan gajinya. Tak ada kah belas kasihan kau Wat.” Ucapan Pak Cik sungguh bagaikan air es yang menyejukkan hatiku.
Selama ini Pak Ciklah yang membuatku betah di rumah ini, jika tak ada Pak Cik mungkin sudah lama aku meninggalkan rumah megah yang terasa sempit buatku.
Hampir satu jam Aku menunggun di luar, tiada niat untuk menganggu diskusi Pak Cik dan Mak Cik.
“Sinta, sejak jam berapa pulang.” Suara Pak Cik mengejutkanku
Senyum sedihku terpaksa aku persembahkan kepada Pak Cik. Baru sampai Pak Cik, dustaku.
Langkahku ku percepat, tak menyangka Pak Cik membuka pintu depan. Menuju kamarku, setetes air keluar di sudut netraku. Cepat ku hapus jangan sampai Pak Cik melihatnya apalagi Mak Cik.
“Anak gadis baru pulang, entah kemanalah merayap.” Sinis Mak Cik.
Ku hempaskan badan di kasur yang tidak empuk yang menjadi teman sepanjang aku tinggal di rumah Pak Cik. Niat hati ingin mengantinya setiap menunggu gaji keluar, tapi apa daya keperluaan lain harus di dahulukan daripada kasur empuk yang mungkin mengantarku ke alam mimpi bertemu dengan kebahagianku.
***