“Hati-hati woi!”
Teriakan di pagi buta itu membuatku terkejut. Ini memang salahku yang memacu sepeda motor dengan kecepatan agak tinggi di gang sempit pasar Kebon Roek Ampenan. Hampir saja aku menabrak cidomo yang bergerak berlawanan arah. Bukan tanpa alasan aku hampir saja terjatuh saat menghindari kendaraan tradisional Lombok yang ditarik oleh seekor kuda itu. Aku sedang terburu-buru. Pagi itu, tepatnya hari Minggu tanggal 29 Desember 2013, aku dan teman-teman komunitasku berencana menjelajah Gili Petelu. Sebuah pulau kecil di Lombok Timur untuk menghabiskan akhir minggu.
Pukul 06.00 Wita adalah perjanjian di titik temu. Sepagi itu aku telah diburu waktu. Bagaimanapun juga, kesepakatan telah diputuskan bersama. Tak ada alasan apa pun untuk mengingkarinya. Demi kebersamaan, bergeraknya waktu pun harus tetap dilawan. Beruntung bekal berupa makanan dan minuman kesukaanku telah kusiapkan terlebih dahulu.
Waktu pun akhirnya bersekutu dengan hasrat menggebu-gebu. Tepat waktu, aku tiba di titik temu. Di sana empat orang teman telah menunggu. Mereka terlihat sibuk memasukkan segala sesuatu dengan cepat ke dalam bagasi kendaraan beroda empat. Hingga tak lama kemudian, aku bergabung dengan mereka. Kami pun berbincang lagi tentang rencana perjalanan yang akan dilakukan sambil menunggu seorang teman.
Cukup lama kami menunggu dalam gelisah. Beberapa teman bahkan telah mengesah. Namun akhirnya tak lama kemudian terdengar suara sepeda motor menderu. Teman yang ditunggu sekian lama akhirnya memperlihatkan batang hidungnya. Ia hanya melemparkan senyuman saat kami kompak melontarkan kebohongan rasa sebuah kekesalan.
Perjalanan pun akhirnya dimulai setelah semuanya berkumpul. Mobil yang membawa enam orang dengan berbagai latar belakang pekerjaan itu pun mulai menyusuri Minggu pagi yang masih lengang. Selama hampir dua jam perjalanan, kabin mobil dipenuhi dengan tawa. Kebahagiaan sepanjang perjalanan itu akhirnya mempertemukan kami dengan seorang pemilik perahu yang sudah dihubungi sebelumnya di Labuhan Haji Lombok Timur.
Bersama lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu, petualangan baru kami pun dimulai. Kami berenam ditambah rombongan teman lain sebanyak lima orang yang belakangan tiba, akhirnya naik sebuah perahu mesin berkapasitas dua belas orang penumpang. Perahu yang diawaki dua orang berpengalaman tersebut perlahan meninggalkan aroma amis pasar ikan di dekat pelabuhan untuk membelah lautan. Sedikit terombang-ambing gelombang yang lumayan besar, kami pun tiba di tempat tujuan, Gili Petelu, setelah sebelumnya menjelajah objek wisata lain di sekitar kawasan itu.
Di pulau kecil yang hijau itu kami mendetik waktu setelah menghabiskan makan siang yang telah disediakan oleh pemilik perahu sebagai satu paket perjalanan. Sajian makanan berupa ikan segar bakar dan kepiting rebus sangat menggugah selera. Terlebih menu tambahan berupa sayur biji lebui. Warna kehitaman kuah sayur biji tanaman perdu yang dikenal sebagai gude ini begitu menggoda. Tak terkecuali daun kemangi yang terlihat hijau layu dan menyatu dengan biji di dalamnya, menjadikan masakan khas Lombok ini layak dicoba.
Berbagai aktivitas pun kami lakukan setelah perut tak lagi meronta. Mulai dari sekadar jalan-jalan di sebagian pantai pulau, berenang, dan snorkeling. Dari aktivitas jalan-jalan yang kami lakukan, membuat kami tahu bahwa pantai Gili Petelu memiliki hamparan pasir putih yang indah. Bukan itu saja. Panorama di pulau dan sekitarnya pun tidak kalah menakjubkan.
Aktivitas yang paling seru adalah saat berenang dan snorkeling. Awalnya aku hanya mendudu seorang teman menuju bagian cekung yang dangkal. Dalam ketenangan ombak, aku dan dia pun mulai memecah riak kecil dengan gerakan tangan dan kaki. Tak lama kemudian, ia meninggalkanku sendirian. Saat itulah ada satu hal yang membuat mataku terbelalak. Sepasang retina mataku menangkap bayangan yang sangat aku kenal. Seekor ikan.
Namun yang memenuhi indra penglihatku bukanlah ikan biasa. Aku meyakininya sebagai ikan hiu. Iya. Ikan hiu berwarna merah berukuran kecil. Aku pun yakin bahwa itu adalah anak hiu. Sepasang kakiku yang tertanam di pasir bagian pantai yang dangkal itu menjadikan tubuhku semakin mematung. Aku hanya menatap dengan wajah pias seekor anak ikan hiu yang lewat di hadapanku. Ternyata tidak hanya satu. Jauh di belakangnya menyusul dua ekor anak hiu yang berbeda warnanya. Keduanya berwarna agak pucat.
Dengan saksama, aku memerhatikan ketiganya yang sedang menari-nari. Mendadak aku pun berdiri di persimpangan rasa. Di satu sisi ingin berontak lalu lari menjauh. Namun di sisi lain, aku sungguh ingin mengajak mereka bercumbu. Menjamahnya demi sebuah rasa penasaran akan kehalusan kulitnya. Pun menyentuhnya sesaat hanya demi kepuasan. Namun niatku tak sampai sebab perlahan ketiganya menjauh lalu hilang dari indra penglihatku. Aku termangu.
Beruntung kesadaran kembali menjemputku. Aku bergegas menuju kumpulan teman-temanku untuk menyampaikan kabar tentang anak hiu. Mereka pun antusias mengikutiku dan menunggu. Membutuhkan kesabaran hingga gigir anak-anak hiu itu terlihat dari atas bukit batu. Benar saja. Akhirnya mereka kembali memamerkan pesonanya yang anggun. Kami tertegun.
Perlahan tetapi pasti, bias matahari mulai lindap. Senja telah mulai merangkulnya. Pun awan gulita telah menggulungnya. Kami pun akhirnya memutuskan mengemas keelokan anak hiu agar setiap saat bisa mencumbunya dalam ingatan. Dengan sigap pemilik perahu pun membawa kami kembali ke Labuhan Haji. Ombak laut yang ditingkahi rinai hujan dan desau angin kala senja membuat perahu bermesin tempel itu terombang-ambing. Kami hanya bisa bermunajat agar selamat. Di sela-selanya, kami pun bersyukur untuk kesempatan menikmati kidung semesta yang sesungguhnya.
Dan, hari itu telah menjadi prasasti di hati kami tentang rasa bahagia yang berkelindan erat dengan keseruan sebuah petualangan baru mencumbu anak hiu. Sebuah perjalanan yang semakin menyuburkan renjana pada tanah serpihan surga – Lombok.
***