Suatu hari ada seorang raja dan seorang putri raja yang terkenal akan kecantikannya. Seiring bergantinya waktu putri raja semakin bertambah usianya menjadi wanita yang sudah cukup umur untuk menikah. Sementara putri raja belum mempunyai calon pendamping, maklum pengawasan raja sangat ketat terhadap putrinya, tentunya agar putrinya tidak terkontaminasi dengan pergaulan bebas. Pengawasan merupakan suatu kewajiban orang tua terhadap anak, bukan mengekang tetapi mengarahkan. Dewasa ini banyak kita lihat betapa banyak orang tua lebih terfokus mencari anak ayam yang hilang dari pada putrinya yang keluyuran.
Untuk menjadi menantu raja tentunya tidak sembarang orang bisa, banyak syarat yang harus dipenuhi. Maka itu, raja mengadakan sayembara ke seluruh polosok negeri. Ternyata banyak pemuda yang tertarik untuk ikut sayembara. Pada hari yang ditentukan semua pemuda dari seluruh negeri berkumpul di halaman istana raja dengan membawa seekor ayam. Rajapun naik ke atas mimbar.
“Saudara-saudara selamat datang di kerajaanku, terimakasih atas kehadirannya. Apakah saudara-saudara sudah membawa persyaratannya?” Tanya raja.
“Sudah raja,” jawab mereka serempak sambil mengangkat ayam bawaannya.
“Bagus, terimakasih saudara-saudara telah membawa persyaratannya,” timpal raja.
“Saudara-saudara masuk persyaratan kedua, yaitu silahkan disembelih di mana saja asal tidak ada yang lihat,” kata raja lagi.
“Ok, raja saya sembelih. Gampang….anak kecil juga bisa…” Guyon mereka.
Berangkatlah seluruh pemuda mencari tempat untuk menyembelih, ada yang mendaki gunung, masuk ke dalam goa, gubuk, berlayar ke tengah laut dan masuk ke hutan. Setelah selesai menyembelih mereka berkumpul kembali dan membawa hasil sembelihan. Mereka semua bangga dengan apa yang dilakukannya.
“Ente menyembelihnya di mana?” kata teman saingannya.
“Ada deeeeh…mau tahu aje atau mau tahu banget…” jawabnya.
Tetiba dari kejauhan datang seorang pemuda dengan membawa seekor ayam yang masih hidup alias belum disembelih. Ramailah suasana mereka melontarkan kata-kata ejekan.
“Payah sekali pemuda itu menyembelih saja tidak bisa,” kata mereka sambil mengejek.
“Betul sekali teman-teman, bodoh sekali pemuda itu,” jawab teman lainnya.
Pemuda itu terdiam saja tidak meladeni ejekan atau cibiran dari peserta lain, dia masuk dalam barisan peserta.Tetapi raja dan para ponggawa kerajaan memperhatikan pemuda tersebut melebihi para pemuda lainnya. Raja berdiri lagi ke atas mimbar kerajaan.
“Saudara-saudara terima kasih atas apa yang sudah kalian lakukan,” kata raja.
Raja pun bertanya kepada beberapa pemuda.
“Kamu menyembelih di mana?” Tanya raja.
“Saya naik ke gunung, pokonya tidak ada yang lihat,” jawab pemuda satu.
“Saya masuk ke dalam hutan, pokonya tidak ada yang lihat,” jawab pemuda kedua.
“Saya berlayar ke tengah laut tidak ada yang lihat,” jawab pemuda ketiga.
Raja akhirnya memanggil pemuda yang tidak menyembelih ayamnya. Sebelum ditanya sang raja, pemuda tersebut bicara duluan.
“Maaf baginda raja, saya mengundurkan diri dari sayembara karena saya tidak bisa melakukan apa yang tuan baginda raja perintahkan,” kata pemuda sambil menundukkan kepala.
“Nanti dahulu anak muda, saya mau bertanya, kenapa kamu tidak menyembelih sementara semua peserta bisa menyembelih?” Tanya sang raja.
“Maaf tuan baginda raja saya berusaha, mendaki gunung, masuk ke hutan, berlayar ke tengah laut dan tempat lainnya, tetapi setiap saya hendak menyembelih selalu saja ada yang melihat. Maka itu, saya tidak bisa menyembelih sesuai persyaratan yang Baginda ajukan,” jawab pemuda.
“Siapa itu yang selalu melihat wahai anak muda?” Tanya sang raja rasa ingin tahu.
“Dialah Tuhan yang maha melihat di mana penglihatannya tidak ada yang mampu dan dapat menghalangi sekalipun berlapis tembok dia tetap melihatnya,” jawab pemuda.
Mendengar jawaban dari pemuda tersebut raja langsung mengumumkan hasil sayembara. Dan hasilnya jatuh kepada sang pemuda yang tidak menyembelih ayamnya.
Cerita di atas tentang mempertahankan sebuah keyakinan bahwa hidup ini tidak lepas dari pengawasan Tuhan bisa dijadikan pembelajaran bagi kita dalam berselancar mengarungi samudera kehidupan ini. Bahwa sekecil apapun yang kita lakukan tidak lepas dari pengawasan Tuhan.
Dari zaman baheula hatta zaman milineal ini karakter manusia sama hanya medianya saja berbeda. Kini banyak kita dapati ketidak jujuran menjangkiti semua lini kehidupan hingga lembaga pendidikan pun yang katanya mencetak karakter-karakter siswa tidak lepas dari serbuan ketidak jujuran, bahkan ketidak jujuran menjadi proyek terselubung para pemegang kepentingan, wajar output pendidikan kita dari tahun-ketahun tidak mengalami kemajuan yang menggembirakan.
Ketika ketidak jujuran menerpa para siswa yang mengakibatkan hilangnya sebuah kepercayaan diri berimbas hilangnya nilai semangat untuk belajar. Hal ini tentunya mempengaruhi kualitas kompetisi siswa secara pribadi dan dunia pendidikan pada umumnya.
Jika kita mempunyai sifat seperti pemuda tersebut setidaknya kita akan selalu berlaku jujur di manapun, kapan pun, dan dalam kondisi apapun. Kenapa begitu? Karena Tuhan Maha Melihat.
Jika sifat jujur itu ada pada diri kita, maka kita akan mengetahui tentang kelebihan dan kekurangan kita. Kita bisa terus mengembangkan kelebihan dan terus menyempurnakan kekurangan diri. Pada akhirnya kita menjadi manusia yang sukses baik dunia dan akhirat.
Jika ketidak jujuran itu ada pada diri kita, maka akan merugikan baik pada diri kita atau pun orang lain. Ingat Tuhan tidak pernah tidur.
“Maha suci Allah SWT yang tidak pernah tidur
dan lupa” doa ketika melakukan sujud sahwi. Firman Tuhan.
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
Artinya:“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula“ (QS. Al Zalzalah :7-8)