Tapera Membawa Rakyat Makin Sengsara

Terbaru70 Dilihat

Pemerintah bakal meluaskan jangkauan pungutan atas nama Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, pemerintah akan melakukan pungutan atas pendapatan masyarakt   Pungutan ini berlaku untuk seluruh pekerja di BUMN, Badan Usaha Milik Desa  dan perusahaan swasta. Tak hanya itu, pemerintah bahkan tengah mengkaji kemungkinan memberlakukan pungutan ini untuk para driver ojek online.

Respon penolakan pun mengemuka. Bukan saja para karyawan, para pengusaha juga menolaknya. Kumpulan perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga merasa keberatan. Pungutan sebesar 3% ini dinilai akan menjadi beban tambahan bagi pekerja dan pengusaha.

Menambah Beban Rakyat

Saat ini terdapat kurang lebih 9,9 juta orang Indonesia yang belum memiliki rumah. Terdapat 14 juta warga berpenghasilan rendah yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. Ada 81 juta penduduk usia milenial (usia 25—40 tahun) kesulitan memiliki hunian. Darq inilqh yang mendasari munculnya kebijakan tapera kembali mengemuka.

Pemerintah membuat analogi perbandingan pungutan Tapera ini dengan kebijakan Iuran BPJS. Iuran BPJS awalnya ramai dikritik. Namun, setelah berjalan, banyak orang merasakan manfaatnya karena mendapatkan perawatan di rumah sakit tanpa dipungut biaya. Meski harus dinafikan adanya kualitas layanan bagi rakyat sebagai nasabah asuransi kesehatan swasta itu.

Komparasi ini juga tidak sesuqi dengan realita. Jika mengikuti perhitungan Bank Dunia, maka ada 40% atau 110 juta penduduk Indonesia yang tergolong miskin. Di sisi lain ada sepuluh juta penduduk generasi Z yang menganggur, tidak bersekolah, tidak ikut pelatihan, dan tidak punya pekerjaan. Iuran BPJS dan pungutan tapera membuat rakyat kian menderita.

Beban hidup masyarakat ditambah dengan berbagai pungutan selain Tapera. Para pekerja sudah dihadapkan pada berbagai pungutan, antara lain Pajak Penghasilan (PPH), pungutan untuk BPJS Ketenagakerjaan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah naik menjadi 11% dan akan kembali naik menjadi 12% pada awal 2025. Sementara itu Presiden RI juga telah menyetujui kenaikan Harga Eceran Tertinggi beras. Semakin sempurnalah penderitan masyarakat dalam sistem yqng ada.

Telah ada sanksi yang disiapkan oleh Pemerintah untuk pekerja maupun pengusaha yang menolak program ini. Mulai dari sanksi administratif, denda, hingga ancaman pencabutan izin usaha untuk para pengusaha. Memungut penghasilan secara paksa dan menyiapkan gebug bagi yang menolaknya. Sungguh!

Pungutan Paksa, Bathil

Pengambilan harta secara paksa atas harta orang lain adalah jalan batil yang dilarang agama. Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka di antara kalian.” (TQS An-Nisa’ [4]: 29).

As-Sa’di menjelaskan maksud QS An-Nisa’ ayat 29 di atas, “Allah Swt. telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil. Ini mencakup gasab (perampasan) dan mencuri. Juga mengambil harta dengan cara berjudi dan berbagai usaha yang tercela.” (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, 1/175).

Pelaku gasab bisa individu, bisa juga para penguasa yang mengambil harta rakyatnya dengan cara yang tidak sesuai syariat Islam, seperti berbagai pungutan atas penghasilan, kendaraan, tanah, rumah, barang belanjaan, dsb.. Inilah yang dimaksud oleh Allah Swt. dengan “memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil”.

Penguasa yang membuat rakyatnya menderita diibaratkan oleh Rasulullah saw. seperti penggembala yang kasar terhadap hewan gembalaannya. Sabda beliau,

إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

“Sungguh penggembala paling jelek adalah yang kasar terhadap hewan gembalaannya. Waspadalah kalian! Jangan sampai kalian menjadi bagian dari mereka.” (HR Muslim).

Rumah, Kebutuhan Mendasar

Dalam Islam, hunian adalah salah satu kebutuhan asasi (primer) selain sandang dan pangan. Setiap kepala rumah tangga wajib menyediakan tempat tinggal bagi keluarga mereka. Allah Swt. berfirman,

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal sesuai dengan kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (TQS Ath-Thalaq [65]: 6).

Kewajiban para suami menyediakan tempat tinggal untuk istri telah disepakati oleh para ulama. Dengan begitu, istri dapat terlindungi dari pandangan orang lain di luar rumah, terjaga dari cuaca panas dan dingin, serta gangguan lainnya seperti binatang buas, dsb.. Kepemilikan rumah tersebut mengikuti kemampuan para suami.

Islam juga menetapkan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki rumah yang layak karena itu salah satu hal yang dapat membahagiakan manusia. Nabi saw. bersabda,

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ.

“Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, [yaitu] istri salihah, tempat tinggal yang lapang, teman atau tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman.” (HR Ibnu Hibban).

Seseorang bisa memiliki tempat tinggal dengan cara membangun rumah sendiri atau dengan bantuan pihak lain, melalui jual-beli, pemberian, ataupun warisan. Menurut Islam, hunian bisa berupa rumah milik pribadi atau bisa juga sekadar hak guna pakai, seperti rumah pinjaman atau rumah kontrakan, samua sah-sah saja.

Seorang kepala rumah tangga yang dengan sengaja tidak menyediakan tempat tinggal untuk keluarganya dianggap telah berdosa. Sabda Nabi saw.,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

“Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa ketika dia menahan nafkah dari orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).

Solusi Islam Tentang Tempat Tinggal

Tapera merupakan bentuk lepas tangan negara dari membantu rakyat mendapatkqn tempat tinggal. Melalui Tapera, rakyat yang mampu maupun yang tidak mampu dipaksa saling menanggung,

Senada dengan BPJS, negara berlepas tangan dari kewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara malah memaksa rakyat saling menanggung pelayanan kesehatan untuk mereka.

Di saat mana, Islam justru mewajibkan negara untuk membantu rakyat agar mudah mendapatkan rumah dengan mekanisme berikut. Pertama, negara harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah, baik rumah pribadi maupun rumah sewaan.

Kedua, negara melarang praktik ribawi dalam jual beli kredit perumahan. Riba untuk tujuan apa pun termasuk dosa besar. Dalam sistem kapitalisme, banyak orang kesulitan memiliki rumah pribadi karena menghindari riba dalam kredit jual beli rumah. Sementara sebagianya lagi terlilit utang cicilan rumah yang mengandung riba.

Ketiga, negara harus menghilangkan penguasaan lahan yang luas oleh sekelompok kecil orang atau korporasi. Sistem yang ada saat ini meniadakan batasan dan kontrol terhadap penguasaan lahan. Akibatnya, banyak pengembang besar menguasai lahan yang amat luas yang itu sangat dibutuhkan rakyat.

Fenomena disebut land banking real ada, dimana terjadi penguasaan atas lahan yang luas yang nganggur alias tidak digarap. Monopoli kepemilikan ini membuat rakyat tidak bisa membeli tanah dan properti, kecuali melalui para pengembang tersebut, tentu dengan harga mahal.

Sistem islam mengendalikan distribusi kekayaan. Syariat Islam mengatur, lahan yang selama tiga tahun ditelantarkan oleh pemiliknya akan disita oleh negara untuk diberikan kepada orang yang sanggup mengelolanya. Hal ini ditetapkan berdasarkan ijmak Sahabat. Dengan cara ini praktik monopoli lahan bisa dihapuskan dan rakyat berkesempatan untuk memiliki lahan dan hunian dengan cara yang mudah.

Keempat, negara dapat memberikan lahan kepada rakyat yang mampu mengelola lahan tersebut dengan cuma-cuma. Negara juga dapat memberikan insentif kepada rakyat untuk kemaslahatan hidup mereka. Nabi saw., selaku kepala negara, pernah memberikan lahan di tanah Al-‘Aqiq kepada Bilal bin Al-Harits; memberikan tanah kepada Wa’il bin Hujr di Hadhramaut; serta memberikan tanah kepada Umar dan Utsman serta para Sahabat yang lain. Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga pernah memberikan bantuan dari baitulmal untuk petani di Irak demi membantu mereka menggarap lahan pertanian, juga untuk hajat hidup mereka. Negara dalam hal ini dapat memberikan insentif atau bantuan kepada rakyat dari pos kepemilikan umum, jizyah, kharaj, atau ganimah.

Demikianlah gambaran solusi Islam atas masalah perumahan bagi rakyat. Syariat Islam telah memiliki solusi kongkrit dalam persoalan ini. Sungguh Islam adalah satu-satunya ideologi yang menjamin keadilan dan menghilangkan kezaliman.

Tinggalkan Balasan